Pentingnya Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Gender di Lingkungan Perguruan Tinggi
Setyasih Harini, Anita Trisiana, Muadz
Universitas Slamet Riyadi Surakarta
Akhir-akhir ini kekerasan seksual yang melibatkan mahasiswa semakin terbuka. Mahasiswa perempuan yang menjadi korban mulai ada keberanian untuk membuka mulut. Semangat “speak up” para korban bukan semata-mata pengaruh media sosial namun juga kehendak untuk mempercepat penyelesaian agar terbongkar pelakunya. Mahasiswa berani untuk membuka tabir kelakuan pelaku sedikit demi sedikit meningkat meskipun terkadang masa depannya masih menjadi teka-teki. Sebab, pelaku tidak hanya berasal dari mahasiswa namun juga alumni, tenaga kependidikan bahkan dosen, sosok akademis dan professional.
Mengapa semua ini bisa terjadi pada mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi, sebuah menara gading sekaligus pabrik yang memproduksi kaum intelektual. Jawaban atas pertanyaan itu membutuhkan sebuah proses yang panjang, melibatkan tidak sedikit elemen dalam masyarakat umum dan masyarakat kampus. Padahal, dalam wilayah pendidikan, pelaku maupun korban sebelumnya atau sampai waktu kejadian memiliki relasi dan komunikasi.
Jika dirunut ke belakang, kekerasan seksual yang melibatkan mahasiswa perempuan sebagai korban bukan hanya terjadi di negara kita. Secara global, UN Women melaporkan bahwa sejumlah 736 juta perempuan mengalami kekerasan seksual pada tahun 2021. Penelitian yang dilakukan oleh Tina Nadeem (2021) dan Donne (2018) menyatakan bahwa seperempat dari jumlah keseluruhan penduduk perempuan dunia pernah mengalami kekerasan seksual ketika masih menempuh pendidikan formal. Laki-laki hampir tidak pernah membicarakan pengalaman pribadinya terkait kekerasan seksual yang mungkin dialaminya selama mengikuti pembelajaran di lingkungan pendidikan formal karena takut dianggap lemah.
Di sisi lain, pihak lembaga pendidikan (perguruan tinggi) umumnya lebih memilih diam seakan tutup mata terhadap kasus yang terjadi. Pemimpin perguruan tinggi bahkan tidak segan-segan memberikan konsekuensi terhadap civitas akademika yang berani buka suara atau melaporkan pada pihak yang berwajib. Masih ada perguruan tinggi yang kurang cepat responnya dalam mengungkap kekerasan seksual misalnya dengan kebijakan yang belum jelas karena dianggap sebagai masalah pribadi, investigasi yang dilakukan panjang dan berbelit, kurang melindungi kerahasiaan korban, gagal dalam menghadirkan sanksi, atau tidak mempercayai pelapor.
Data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan pada tahun 2020 juga menyebutkan bahwa kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkungan pendidikan jenjang universitas menempati urutan tertinggi seperti pada gambar berikut ini:

Sumber. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 27 Oktober 2020
Ketiadaan literasi moral dalam bentuk pendidikan karakter yang berujung pada kekerasan seksual bukan hanya menjadi masalah pendidikan. Ketidadaan literasi moral dapat meretas munculnya masalah ekonomi, sosial dan keamanan nasional. Literasi moral mencakup keterampilan untuk memahami kebajikan. Seperti halnya dengan keterampilan matematika atau membaca, literasi moral perlu diasah dan dikembangkan agar dapat melampaui dasar-dasar pemahaman tentang kebajikan dalam hidup. Literasi moral meliputi kemampuan yang perlu dikembangkan melalui instruksi, latihan, dan praktek. Dukungan keluarga, lembaga keagamaan, dan masyarakat sangat diperlukan dalam mendukung literasi moral yang dilakukan oleh lembaga pendidikan. Melalui literasi moral seseorang dapat lebih bijaksana dalam membuat keputusan yang didasarkan pada nilai-nilai kebajikan sebagai individu, kelompok professional, dan warga negara.
Meskipun dikatakan terlambat, masyarakat perguruan tinggi masih membutuhkan literasi moral. Seiring dengan kemajuan teknologi, mahasiswa mulai meninggalkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam budaya lokal. Merujuk pada anatomi moral yang digagas oleh Berkowitz dan Bier (2004) terdapat tujuh aspek karakter yang teridentifikasi yakni tindakan moral, nilai moral, kepribadian moral, emosi moral, penalaran moral, identitas moral, dan karakteristik dasar. Melalui ketujuh aspek tersebut, literasi moral melalui pendidikan karakter dalam perspektif gender dapat membentuk kepribadian dan perilaku masyarakat kampus yang berbasis pada nilai-nilai universal seperti tanggung jawab, rasa hormat pada orang lain, harga diri, percaya diri, dan pengendalian diri.
Ada tiga aspek yang dapat dikembangkan dalam pendidikan karakter berperspektif gender yakni: 1) program yang terbiasakan dan berkelanjutan; 2) program terintegrasi dimasukkan dalam mata kuliah; 3) imitasi dengan mempersiapkan tenaga kependidikan dan professional agar dapat menjadi teladan etika profesi minimal memenuhi nurani moral atau karakter moral. Untuk itu perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan hendaknya menyelenggarakan pendidikan karakter dengan perspektif gender yang disisipkan pada mata kuliah. Pendidikan karakter tepatnya diselenggarakan secara holistik dan selaras antara pengetahuan (teori) dan praktek dengan berdasarkan pada kasih (dalam konteks universal) yang terintegrasi dalam ruang kelas dan lingkungan universitas agar tumbuh sebagai habitus dan etos baru. Diantaranya melalui 4A (Anti korupsi, Anti kekerasan seksual, Anti perundungan, dan Anti Intoleransi) yang disisipkan pada mata kuliah umum bagi mahasiswa baru, menyelenggarakan lomba debat terkait 4A yang diikuti oleh mahasiswa dan akademisi, melakukan diskusi dan ceramah tentang perspektif gender bagi semua akademisi. Proses ini akan berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seseorang dalam berbagai dimensi agar lebih bermanfaat dalam menjalin interaksi sosial.