Model Blended Learning dalam Pembelajaran PJOK

Spread the love

Oleh: I Putu Gede Sukayasa, S.Pd.
Guru SD Negeri 6 Yehembang, Jembrana, Bali

Pada hakikatnya Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) diberikan di sekolah untuk membentuk “insan yang berpendidikan secara jasmani (physically educated person)”.
National Standards for Physical Education (NASPE) sebagaimana yang dikutip oleh Michel W. Metzler (2005:14) menggambarkan sosok ini dengan syarat dapat memenuhi 6 standar, yaitu: (1) mendemonstrasikan kemampuan keterampilan motorik dan pola gerak yang diperlukan untuk menampilkan berbagai aktivitas fisik, (2) mendemonstrasikan pemahaman akan konsep gerak, prinsip-prinsip, strategi, dan taktik sebagaimana yang mereka terapkan dalam pembelajaran dan kinerja berbagai aktivitas fisik, (3) berpartisipasi secara regular dalam aktivitas fisik, (4) mencapai dan memelihara peningkatan kesehatan dan derajat kebugaran, (5) menunjukkan tanggung jawab personal dan sosial berupa respek terhadap diri sendiri dan orang lain dalam suasana aktivitas fisik, dan 6) menghargai aktivitas fisik untuk kesehatan, kesenangan, tantangan, ekspresi diri, dan/atau interaksi sosial.
Jadi, muatan pelajaran PJOK di sekolah dasar memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat langsung dalam berbagai pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, olahraga, dan kesehatan. Dengan demikian, muatan pelajaran PJOK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan secara keseluruhan serta memiliki peran sebagai pondasi bagi tumbuh kembang potensi yang dimiliki oleh peserta didik.
Pandemi yang terjadi saat ini mengharuskan peserta didik untuk belajar secara mandiri melalui pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang dilakukan oleh satuan pendidikan masing-masing. Adanya kebijakan ini tentunya diharapkan dapat membantu peserta didik dalam menghadapi ketidakpastian proses pembelajaran khususnya dalam pembelajaran muatan pelajaran PJOK dengan tetap melibatkan peserta didik untuk terus belajar secara aktif meskipun kegiatan sekolah normal terganggu.
Harapan terkadang tidak selalu sama dengan kenyataan yang terjadi di lapangan karena dalam pelaksanaannya masih banyak kendala yang ditimbulkan dari pelaksanaan PJJ, diantaranya kesulitan guru dalam mengelola PJJ karena hal ini adalah sesuatu yang baru bagi guru. Selain itu, proses pembelajaran yang dilakukan masih terfokus dalam penuntasan kurikulum. Kendala lainnya yang muncul yaitu tidak semua orang tua mampu mendampingi anak-anak belajar di rumah dengan optimal karena harus bekerja ataupun tidak mempunyai kemampuan sebagai pendamping belajar anak. Disamping itu, kendala kepemilikan gadget atau gawai juga menjadi kendala dalam pelaksanaan program pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Permasalahan ini juga terjadi di SD Negeri 6 Yehembang. Proses pembelajaran secara daring melalui group WhatsApp (WA) masih terkendala pada rendahnya partisipasi siswa selama mengikuti pembelajaran. Dari 10 siswa di kelas V, hanya 3 (30%) siswa yang aktif mengikuti pembelajaran melalui WA sedangkan 7 (70%) siswa masih belum aktif mengikuti pembelajaran. Hal ini disebabkan karena tidak semua siswa mempunyai gawai dan ada siswa yang gawainya masih jadi satu dengan orang tuanya. Rendahnya pendampingan orang tua pada saat anaknya belajar di rumah menyebabkan juga rendahnya partisipasi siswa. Kendala lainnya juga karena susahnya sinyal.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka penerapan blended learning dilakukan dengan mengombinasi atau mencampur antara pembelajaran tatap muka (face to face) dan pembelajaran berbasis teknologi (gawai). Menurut Dwiyogo (2014:51), “model blended learning adalah pembelajaran yang berlandaskan pada perkembangan teknologi saat ini dengan menggabungkan tatap muka (face to face), offline, online dan mobile”. Model blended learning dalam muatan pelajaran PJOK di sekolah merupakan hal yang mungkin baru, tetapi bukan berarti tidak dapat digunakan. Dalam artikelnya dinyatakan bahwa pembelajaran berbasis blended learning akan memudahkan bagi pebelajar (learner) untuk mengakses pembelajaran PJOK dengan menggunakan berbagai modul belajar. Melalui pembelajaran berbasis blended learning juga akan meningkatkan keterampilan soft skill (keterampilan memanfaatkan teknologi informasi) serta mempengaruhi keaktifan belajar bagi peserta didik.
Keaktifan secara bahasa berasal dari kata “aktif” yang berarti selalu berusaha, bekerja dan bersungguh agar dapat menciptakan kemajuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aktif diartikan “giat”. Keaktifan belajar berarti suatu usaha yang dilakukan oleh siswa dengan sungguh-sungguh atau dengan giat dalam proses belajar dan mengajar sehingga mendapatkan prestasi yang lebih maju. Menurut Sardiman (2011) “keaktifan adalah kegiatan yang bersifat fisik maupun mental, yaitu berbuat dan berfikir sebagai suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan”. Adapun indikator keaktifan belajar yang dimaksud meliputi (1) mampu menampilkan keberanian dalam mengungkapkan permasalahan yang ditemukan melalui belajar sendiri maupun melalui mengajar yang dilaksanakan guru; (2) mampu menampilkan berbagai usaha dalam proses belajar dan mengajar sehingga mendapatkan hasil; (3) mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan; (4) mengomunikasikan hasil pikiran, penilaian, dan penemuannya secara lisan maupun secara tulisan; serta (5) berusaha mencari berbagai informasi untuk memecahkan persoalan.
Dengan upaya-upaya tersebut, ternyata dapat mengoptimalkan peran siswa dalam mengikuti pembelajaran. Terjadi peningkatan keaktifan siswa dari sebelumnya hanya 3 siswa (30%) yang aktif mengikuti pembelajaran, tetapi setelah penerapan pembelajaran dengan menggunakan model blended learning sebesar 10 siswa (100%) turut terlibat dalam pembelajaran secara optimal. Dilihat dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan model blended learning dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa pada muatan pelajaran PJOK khususnya pada materi gerak berirama di SD Negeri 6 Yehembang. ***

Editor: Cosmas