Menepis Bias Gender Dalam Kepemimpinan Politik Lokal

Spread the love

Setyasih Harini, S.I.P., M.Si

Dosen Fisip Unisri, Pemerhati Isu Gender

Surakarta atau yang dikenal dengan Solo memiliki kharakteristik politik tersendiri. Dimensi politik yang merambah kota ini disinyalir memiliki sumbu pendek mengingat keberagaman latar belakang yang ada. Keberagaman itulah yang menjadi pupuk bagi bangunan masyarakat Solo untuk dapat berkembang dan maju. Bangunan tersebut dapat dilihat pada praktek demokrasi yang tumbuh dalam masyarakat. Suburnya demokrasi salah satunya dengan kemauan dan kemampuan masyarakat untuk menggunakan hak politiknya sehingga bisa menemukan dan memilih orang-orang yang duduk dalam pemerintahan.

Pemerintahan yang baik dan kepercayaan masayarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam dunia politik. Kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada pemerintah bisa dikatakan sebagai  sine qua non (Blind, 2007). Bangunan pemerintahan yang dibentuk berdasarkan pada pilihan mengindikasikan harapan besar kepada orang-orang yang duduk di dalamnya untuk menjadi pemimpin yang sebenarnya, dengan memihak pada rakyat. Pemimpin yanag diharapkan rakyat bukan hanya duduk di belakang meja dan memberi perintah namun justru yang turun ke bawah, melihat kondisi masyarakat secara langsung dan menyapanya. Sehingga ada kedekatan diantara keduanya bukan sekadar dekat ketika membutuhkan suara rakyat.

Ironisnya, Surakarta atau yang dikenal dengan Solo memberikan gambaran bahwa masyarakat masih tertutup oleh tradisi patriarki walaupun lambat laun kabut tebal itu telah menipis. Pandangan miring terhadap perempuan yang berpolitik lebih dikaitkan dengan kodrat dan kondisi biologis yang melekat sejak lahir yakni kurang rasional, emosional, dan banyak pertimbangan. Beberapa penelitian lain juga menyebutkan adanya prasangka negatif, stereotip, diskriminasi terhadap kepemimpinan perempuan dalam politik (Heilman, 1983; Rudman & Glick 2001; Eagly & Karau, 2002). Dari beberapa gagasan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa perempuan lebih baik menjauhkan diri dari dunia politik.

Realita bicara lain. Semakin tingginya pendidikan dan dorongan keluarga menjadikan perempuan semakin berani untuk tampil dalam politik. Hal ini bisa terlihat dengan semakin banyaknya perempuan yang berhasil menerobos kungkungan tradisi dan menduduki jabatan bergengsi dalam berbagai instansi. Salah satu instansi yang menarik dalam telaah penulis kali ini adalah birokrasi. Sebagai sebuah lembaga penting dalam politik pemerintahan harapan rakyat yang dipercayakan kepada institusi yang diberi nama birokrasi adalah adanya pelayanan yang humanistik yang diberikan oleh para birokrat kepada masyarakat. Di sinilah pentingnya hadirnya perempuan untuk memberi warna tersediri dalam birokrasi.

Banyak ahli menyampaikan bahwa perempuan yang hadir dalam lembaga pemerintahan mampu memberi nuansa tersendiri.  Tampilnya perempuan tersebut telah sesuai dengan demokrasi yang mengamanatkan adanya persamaan dan keseimbangan akses dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam politik yang didasarkan persamaan derajat dalam semua lini maupun wilayah. Tinjauan perempuan yang hadir dalam panggung politik berkaitan dengan perspektif gender. Wacana kepemimpinan perempuan dalam bidang politik pada mulanya diinisiasi sebagai wujud kegelisahan subyektif yang disuarakan oleh aktivis perempuan. Dalam konteks ini feminisme dimaknai sebagai kesadaran akan posisi dan peran perempuan yang masih rendah atau minim dibanding laki-laki sehingga berakibat pada ketimpangan gender, subordinasi dan kekerasan.

Dengan menggunakan konsep gender, para feminis hendak menyampaikan adanya hubungan kekuasaan yang dibangun antara laki-laki dan perempuan, bagaimana relasi tersebut terbentuk dan berjalan. Perbincangan perempuan sebagai pemimpin politik yang semakin marak tidak terlepas dari pandangan kaum feminis. Feminisme yang perkembangannya terbagi menjadi tiga gelombang pada dasarnya hendak menyuarakan hak politik yang hendaknya dimiliki seorang perempuan (gelombang pertama), memperjuangkan kesamaan atas akses pekerjaan dan pendidikan (gelombang kedua), dan pencapaian posisi dalam panggung politik bagi perempuan (gelombang ketiga). Melalui ketiga gelombang tersebut feminisme hadir untuk mengkonstruksi ulang tatanan sosial masyarakat yang selama ini membelenggu perempuan untuk berpartisipasi dalam politik.

Ketika hubungan kekuasaan itu dilekatkan pada sosok perempuan maka harapannya gaya kepemimpinan dan kebijakan yang dikeluarkan benar-benar berpihak pada kaum hawa bukan sebaliknya. Tantangan kepada kepemimpinan perempuan muncul ketika ketika kebijakan yang diambil masih netral atau bahkan buta gender yang mengarah pada minimnya pembangunan manusia (baca: perempuan) seutuhnya. Untuk itulah kepemimpinan perempuan yang diharapkan hendaknya memberikan porsi yang lebih tinggi kepada kaumnya atau setidaknya seimbang dengan laki-laki. Kebijakan tersebut dapat diperkuat dengan penambahan pada pemberdayaan perempuan dari berbagai lini dan latar belakang yang ada baik dalam internal instansi birokrasi maupun masyarakat pada umumnya sehingga pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada kesetaraan gender dapat terwujud. ***