Param Kotjak dan Joko Galon, Potret Jakarta Kini dan Kehidupan Nyata

Spread the love

SOLO, POSKITA.co – Pertunjukan malam ke-4 Parade Teater Kampus Seni Indonesia (PTKSI) ke-8 dengan pementasan pertama IK Jakarta dilanjutkan STKSW Surabaya Rabu (27/11) di di Gedung Teater Besar ISI Surakarta sebagai penutup pertunjukan.

Dalam pementasan pengunjung dibikin terpingkal-pingkal dengan aksi kocaknya para pemain dari IK Jakarta dan STKSW Surabaya. Dalam pementasan hari pertama dan hari terakhir selalu dipadati pengunjung.

IK Jakarta dengan Sutradara Madi Adryanata, membawakan repertoar Param Kotjak. Ini kisahnya. Lima orang masyarakat Jakarta, terlibat dalam satu diskusi untuk memecahkan masalah-masalah yang dialami Jakarta, masalah dibahas untuk mencari solusi menyelesaikannya, namun saking banyak dan ribetnya masalah membuat mereka sulit menemukan solusinya. Kehidupan masyarakat Jakarta yang beranekaragam, perilaku masyarakat, status sosial, kebudayaan dan tradisi Jakarta yang beranekaragam, kepentingan setiap masyarakatnya yang berbeda-beda pun menjadi alasan yang menyulitkan mereka untuk mencari solusi permasalahannya.

“Kami mempersiapkan untuk pementasan PTKSI di ISI Surakarta ini hanya tiga minggu. Sebelumnya kami biasanya ngumpul-ngumpul dan membahas konsepnya lalu latihan. Dalam proses latihan, kadang-kadang ada ide yang mendadak terus dicoba, masing-masing pemain punya penawaran dan disatukan, akhirnya jadilah dengan judul Param Kotjak,” ungkap Madi Adryanata.

Dalam pementasan berikutnya dari STKSW Surabaya  disutradarai oleh Arief, membawakan Joko Galon yang super kocak.

Dalam penggalan ceritanya; tradisi dan modernisasi hakikatnya adalah keniscayaan perubahan hidup. Kekeliruan kita selama ini adalah membenturkan tradisi dengan modernisasi. Kalau tradisi dianggap masa lalu, kemudian terjadi perubahan, kemudian atau terjadi modifikasi terhadap yang masa lalu itu, itu keniscayaan. Bukan benturan antara yang dulu dengan yang. Kalau “sekarang” dianggap modern, apakah dua puluh tahun “yang akan datang” sudah tak ketinggalan?

Jangan menolak perubahan, juga jangan membuang masa lalu, keduanya adalah keniscayaan hidup, keniscayaan ruang dan waktu. Jangan mempertahankan masa lalu secara keras kepala dengan perubahan. Karena kita akan digilas oleh kenyataan.

Arief sebagai sutradara menjelaskan, dalam mempersiapkan pertunjukan latihan selama dua bulan lebih.

“Kendala kami adalah waktu yang berbenturan dengan ujian kampus,  juga proses di luar akhirnya kadang  tidak mampu membagi waktu. Dengan diadakan pertunjukan PTKSI saya pribadi merasa senang. Ada ladang yang bisa kita gunakan untuk mengais pengetahuan juga sebuah keberuntungan bisa mengenal banyak saudara, maka acara PTKSI sangatlah penting,” ucap Arief.

Dikatakannya,  ia berharap kedepannya akan lebih memberikan sebuah penawaran terhadap mahasiswa sendiri untuk bisa berfikir ke mana tujuan pertunjukan.

Agussalim Bureg Umar, mahasiwa dari Akademi Seni Mangkunegaran yang selalu aktif melihat pertunjukan PTKSI ini berharap  semoga teman-teman mahasiswa jurusan teater se-Indonesia ini bisa lebih menggali lagi lebih dalam mencari ide, wacana.

“Bahkan seni pertunjukan tradisi itu pun sangat banyak wacana yang bisa digali. Seperti pertunjukan hari keempat ini walaupun ada dari IKJ betul-betul tidak bergaya seperti tradisi tetapi tetap mengambil spirit tradisi gaya betawi,” katanya.

Akhirnya, inovasi-inovasi mahasiswa jurusan teater ini yang dibutuhkan sekarang ini, cuma sayangnya beberapa kali pelaksanaan PTKSI ini sangat jarang dituliskan, resensi hasil diskusi terus catatan-catatan dari penonton jarang dikumpulkan, sebenarnya bisa menjadi rujukan untuk pertunjukan berikutnya.

Dengan beragamnya pertunjukan justru menarik, karena pertunjukan di Indonesia punya banyak warna tidak seragam jadi tiap daerah punya karakter masing-masing, jadi bisa saling mengisi. Akhirnya perkembangan teater sebagai ilmu pengetahuan tidak berhenti dan selalu dinamis dan berkembang.

Penulis: Aryadi

Editor: Cosmas