Memahami 5 Posisi Kontrol Guru untuk Mewujudkan Budaya Positif di Sekolah
Oleh: Mulyani, S.Pd
SDN 01 Tlobo, Kecamatan Jatiyoso, Kabupaten Karanganyar
Terengah-engah Ani berlari menuju gerbang sekolah karena dia terlambat masuk sekolah. Seperti biasa, guru BK sudah berdiri di depan gerbang sekolah dan saat melihat Ani terlambat mengikuti upacara bendera, maka sebagai hukuman untuk keterlambatannya guru BK menyuruh Ani berdiri di bawah tiang bendera selama 30 menit. Itu adalah gambaran realita yang ada di sekolah yang sering terjadi. Saat ada seorang murid tidak menaati peraturan atau tata tertib sekolah, maka murid tersebut mendapat hukuman dari guru, dengan tujuan untuk mendisiplinkan murid.
Selama ini hukuman adalah cara yang dipandang ampuh dann efektif untuk mendisiplinkan murid yang melanggar aturan. Hukuman (punishment) maupun penghargaan (reward) keduanya adalah hal yang wajar terjadi di dunia pendidikan. Dimana pada saat murid melakukan pelanggaran dia akan kena hukuman, dan saat murid mencapai sesuatu mereka mendapatkan penghargaan atau reward.
Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas mereka selama ini. Apakah telah efektif, apakah berpusat, memerdekakan, dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa? Melalui serangkaian riset dan berdasarkan pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol.
Kelima posisi kontrol tersebut antara lain:
1.Penghukum
Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Ciri khas penghukum adalah nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-nunjuk menghardik. Konsekuensi logis dari akibat penerapan peran kontrol penghukum adalah kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif.
2.Pembuat Rasa Bersalah
Pada posisi ini biasanya guru atau orang tua akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya. Ciri khas pembuat merasa bersalah adalah nada suara memelas/halus/sedih, bahasa tubuh: merapat pada anak dan lesu. Konsekuensi logis dari akibat penerapan peran kontrol pembuat rasa bersalah adalah murid akan merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu atau bapak gurunya. Murid akan merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang lain. Kadangkala sikap seperti ini lebih berbahaya dari sikap penghukum, karena emosi akan tertanam rapat di dalam, murid menahan perasaan. Tidak seperti murid dalam dengan guru penghukum, di mana murid bisa menumpahkan amarahnya walaupun dengan cara negatif. Murid tertekan seperti inilah yang tiba-tiba bisa meletus amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.
3.Teman
Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui pendekatan persuasif. Posisi teman pada guru bisa berdampak negatif atau berdampak positif. Berdampak positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Ciri khas posisi kontrol teman adalah nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada murid, mata dan senyum jenaka. Dampak negatif dari posisi kontrol teman adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.
4.Pemantau
Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi pemantau sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid. Konsekuensi logis dari penerapan posisi kontrol pemantau adalah murid memahami konsekuensi yang harus dijalankan karena telah melanggar salah satu peraturan sekolah.
5.Manajer
Posisi kontrol guru yang terbaik adalah posisi seorang manajer. Sikap guru ketika melihat murid melakukan kesalahan tidak langsung menghukum atau menasehati akan tetapi diawali dengan sikap memahami tindakan murid bahwa saat murid bersalah itu biasa karena setiap manusia pasti pernah berbuat salah (menstabilkan identitas). Selanjutnya guru juga mencoba memahami alasan atau kebutuhan dasar apa yang ingin dipenuhi oleh murid dengan perilaku tersebut (validasi tindakan yang salah). Selanjutnya murid diingatkan tentang keyakinan kelas dan dipancing dengan pertanyaan tentang bagaimana seharusnya sikap mereka menurut keyakinan kelas dan jawabannya dating dari murid sendiri. Selanjutnya baru ditanya solusi terbaik menurut murid tersebut berdasarkan keyakinan tadi.
Restitusi adalah sebuah upaya untuk membuat murid mampu mengevaluasi diri mereka sendiri agar menjadi manusia yang baik sesuai dengan nilai-nilai kebajikan universal dan sebuah upaya agar setiap kesalahan yang dilakukan menjadi bahan pembelajaran agar dirinya lebih baik, menjadi lebih kuat karakternya dan penghargaan pada diri mereka sendiri juga bertambah. Dengan demikian diharapkan budaya positif di sekolah dapat terwujud.**
Editor: Cosmas