Meneropong Fanatisme Vs Rasionalitas Pendukung Capres Cawapres Sambil Wedangan

Spread the love

Solo, Poskita.co
Di media sosial, para pendukung capres dan cawapres tentu akan saling serang, saling memojokkan, dan menganggap pilihannya yang terbaik. Di Solo lain lagi, saat jumpa darat mereka berbicara sambil wedangan. Walau kadang diselengi emosi, suara menggelegar, usai itu ya nyeruput teh yang ada di warung kopi.
Itulah suasana diskusi Pasar Gedhe bertajuk Fanatisme versus Rasionalitas Pendukung Capres Cawapres, Jumat (10/11/2023), yang dimoderatori Guntur WN dan Niken S, di Pasar Gedhe Solo.

Foto bersama usai jagongan


“Saya memilih rasional karena berpikir atau bertindak berdasarkan logika,” ujar Ajiyono, Koordinator Ganjarist Solo Raya. Arijono,sejak Agustus 2021 sudah membuat baliho besar Ganjar Capres 2024.
“Saya di rasional aja. Jempol saya buat Ganjar. Tiga calon semua bagus. Tapi saya pilih yang baik. Karena saya rekam jejaknya baik,” ucapnya gegap gempita.
Imelda, yang kesempatan ini mewakili relawan Gibran, sebagai Kagege Bolone Mase, mengaku pemilu 2024 paling demokratis.
“Saat inilah pemilu paling demokratis yang pernah saya ikuti. Karena sampai hari H sekian sebelum pencoblosan, kita belum tahu siapa yang akan dipilih. Kalau rasional kita semua rasional. Hanya kemudian bisa menjadi fanatis. Saya pribadi tidak canvasing pada yang sudah A atau B, tetapi pada yang swing voters,” kata Imelda.
Baginya, yang dianggap fanatis pendukung PS ya enggak juga. Kita semua ada yang fanatis dan ada yang tidak. Yang sehat banyak kok. Yang ada adalah para swing voters yang salah googling.
Bonie, dari Semarang, mengungkapkan, melihat judul diskusi ini, baginya judulnya salah.
“Benar. pemilihan capres dan cawapres ini bagi saya irasional. Rasional bisa dibikin. Saya tertarik X saya bisa rasionalisasi. Fanatisme bukan kesalahan otak, tetapi penyimpangan konstruksi berpikir. Mengenal rasional, apa benar politik di Indonesia itu rasional. Gimana rasionalitas PKB gabung PKS. Kita anggap Indonesia masih muda. Kita lihat Amerika, Partai Republik dan Demokrat itu irasional. Tetap patron klien,” ucap Bonie.
Salah seorang dosen dari Jogjakarta, Potan Rambe, membahas dari pengalamannya di Kampus.
“Kebetulan saya mengajar Pancasila, Anti Korupsi dan Komunikasi Politik. Apa yang ada di textbook sangat berbeda dengan yang terjadi saat ini. Saya ingin mahasiswa saya rasional. Sebagai dosen saya harus berdiri di atas semuanya. Tapi saya telah punya pilihan,” ujar Potan Rambe.
Tugasnya sebagai dosen adalah membuat anak rajin membaca.
“Sebagai aktivis UNS 83, sebelum bicara kami membaca. Baik buku Sukarno dan lainnya. Anak sekarang beda. Otaknya sudah templates dari siapa yang mencuci otaknya. Mereka tidak lagi bisa berpikir rasionalitas,” kata Potan Rambe.
Guntur, selaku moderator, memaparkan dulu memang dibiasakan berpikir kritis, sekarang cangkokan. Mengapa para pendukung-pendukung itu bertengkar.
“Lebih baik yang bertengkar di atas. Elitis. Konflik horisontal biar di atas aja. Antara elit. Bukan masyarakat. Pendukung di grass root melihat dengan tanpa baper. Ngopi bareng,” ujar Guntur memancing diskusi lebih gayeng.
Dosen FE UNS, Zaga, mewakili pemuda, menurutnya judul diskusi salah. Lawan rasionalitas itu emosionalisme, dari emosional itu menuju fanatisme.
“Menurut saya emosional pendukung PS, rasional pendukung GP. Emosisonal akan berujung pada fanatisme. Apakah saya rasional atau emosional. Saya rasional, sampai ini saya belum bergabung dengan relawan manapun. Belum bergabung dengan manapun,” ucap Zaga.
Teddy, relawan pendukung Gama, soal rasionalisme dan irasionalitas. Irasional memang bisa dirasionalisasi. Keduanya rasional dan fanatisme tidak bisa. Fanatisme saat ini cenderung tidak ada. Karena kita semakin moderat. Semakin terbuka dan mengadaptasi dengan perkembangan situasi yang terjadi. Rationalitas tidak perlu lagi. Karena politik membutuhkan kedalaman rasa.
“Ada malin kundang, pengkhiatan. karma politik itu ada. Hati-hati dengan itu. Bila ingin main-main nggak apa. Tapi kita lihat sampai mana kekuatannya. Tapi berdasarkan proses kita akan melihat konsistensi seseorang membangun bangsa ini dengan mengutamakan kepentingan bangsa, bukan keluarga atau golongan,” ucap Teddy.
Ajiyono, bila dilihat visi misi calon. Tidak ada yang bicara jelek.
“Saya melihat rasionalitas dari kejadian dan rekam jejak per kejadian,” ujar Ajiyono.
Ririn Suhanti, mahasiswa Pucangan, Kartasura bertanya tentang kriteria pemimpin Indonesia, Prsiden itu idealnya seperti apa. Yang membuat Indonesia maju itu yang seperti apa.
Potan Rambe menjawab singkat;
“Kalo dari saya dosen. Cuma satu: punya etika dan beradab. Itu saja,” ujar Potan Rambe.
Pada kesempatan tersebut, Edward Flavianus melihat di sini bukan fanatisme dan rasional. Tapi pertarungan siapa yang menang. Saya melihat Capres dan Cawapres yang sudah ditetapkan.
“Kita melihat track record nya. Tidak jauh sampai jauh ke 98. Saya melihatnya tidak sejauh itu. Saya memilah begitu banyak informasi. GRR dari organisasi dan kaderisasi sangat minim. Masa langsung jadi wapres dari jalur mahkamah keluarga. Saya bicara di sini tentang etika politik. Kalau seperti ini etika politik kita, gimana masa depan pemuda kita,” ujarnya.
“Belum lagi politik dinasti. Anies selalu terikat politik identitas. Pak Muhaimin, saya kurang tahu. Tapi saya kurang simpatik melihat hubungannya dengan Gus Dur. Pak Ganjar punya kasus Wadas dan kendeng. Tapi saya lihat ada peningkatan. Bisa kerja. Pak Mahfud saya nyaris tidak melihat sisi negatifnya. Harapan saya ketiga pasangan calon ini memberikan pendidikan politik yang bagus juga etika politik. Jangan lompat sana sini,” ucap Edward.
Sonny, dari PSI secara pribadi fanatik memang mengalahkan rasional kita. Logika dikalahkan. Terutama tiap 5 tahun. Tiga pasangan yg terpilih saat ini adalah putraputri terbaik Indonesia.
“PSI mendudkung anak muda maju. Karena memang ada perbedaan. Semangat dan pola pikir anak muda. Eksekusi lebih cepat. Karena sekarang yang diperlukan bukan Cuma pemikiran tapi pengambilan tindakan. Jadi tidak peragu,” ucap Sonny.
“Saya pribadi melihat para capres ini adalahnya wayang. Dalangnya adalah Jokowi, Megawati dan Surya Paloh. Bagaimana mesin politik bisa bergerak tergantung partai partai yang ada di belakangnya. Kami di PSI melihat patokan kami PSI. terlepas tindakan-tindakan miring yang dicapkan ke Jokowi,” ujar Sonny.
Gunharjo, aktivis anti hoaks, menyoroti fanatisme dan rasionalisme. Relawan selama ini terfokus pada capres dan cawapres kadang sampai melupakan masyarakat awam dan terpelajar belum tahu besok mau coblos apa.
“Ini jangan sampai pendukung yang fanatik, tapi tidak tahu akan tugas ikut menyosialisasikan pada masyarakat. Jangan sampai kita bertengkar di medsos atau di dunia nyata. Tetapi lupa memberi sosialisasi pada masyarakat.Semoga ini menghapus istilah seperti cebong, kampret, kadrun. Sekarang sudah sekolam semua,” ujar Gunharjo.
Cak Su, aktivis 96 menuturkan jangan melupakan sejarah. Apalagi sejarah kelam. Esensinya, ketika memilih pemimpin kita tidak melihat sejarahnya, tetapi kita wajib memfilter. Harus berpegang pada etika, kultur dan konstitusi.
“Saya tidak membicarakan pelanggar konstitusi. Tetapi MK saja belum mampu. Kita harus bersatu. Tetapi memilih pemimpin harus memilih rasio. Integritas harus nomor satu. Sebelum kapasitasnya. Memilih pemimpin dikatakan jangan melihat sejarahnya. Tetapi sejarah itu diperjuangkan dengan berdarah-darah. Kita harus menghargai itu,” ucap Cak Su.
Wenny, Ganjarist, tidak mempermasalahkan menjadi ketua dalam sehari atau sejam. Yang harus dipikirakan ada apa di belakangnya. Campur tangan siapa. Siapa yang cawe-cawe. Apakah itu pantas.
“Kami melihat prosesnya. Apakah adil. Untuk siapa pemimpin itu. Apakah benar-benar untuk masyarakat? Jangan-jangan hanya untuk keleompok tertentu atau keluarga,” ujar Wenny.
(Red/Tim)