MTM: Solusi Belajar Saat Pandemi di Daerah 3 T
Sapto Widodo, S. Pd.
Guru Bahasa Inggris
SMP Negeri 7 Teupah Selatan, Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh
Permasalahan mengajar di daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) cukup beragam. Mulai dari kualitas pendidik dimana banyak sekolah yang kualifikasi gurunya tidak sesuai dangan mata pelajaran yang diampu. Kondisi tersebut ditambah dengan terbatasnya sarana dan sumber belajar. Banyak sekolah yang kondisinya tidak layak untuk belajar dan minimnya buku sebagai sumber belajar utama.
Di banyak daerah 3T juga dihadapkan dengan pola pikir masyarakat yang masih menganggap sekolah bukanlah hal yang penting, sehingga memengaruhi semangat mereka untuk belajar. Banyak anak usia sekolah yang lebih memilih untuk bekerja daripada menuntut ilmu.
Di zaman canggih saat ini, dimana banyak sekolah diperkotaan bisa dengan mudah mengakses internet dan bisa dengan mudah memilih sumber dan media belajar di internet. Tetapi berbeda di daerah 3 T jangankan akses internet, banyak daerah yang belum teraliri listrik. Terkadang listrik dan sinyal internet ada, namun hanya sedikit dari peserta didik yang memiliki gawai. Ditambah dengan saat ini sedang terjadi wabah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang tak luput berdampak juga terhadap dunia pendidikan.
Kegiatan belajar mengajar pada masa normal didaerah 3T biasanya dengan sistem tatap muka, guru sebagai sumber belajar utama dengan buku yang terbatas jumlahnya sebagai pendamping. Namun kondisi pandemi saat ini juga berdampak terhadap pendidikan di daerah 3 T. Walaupun termasuk dalam zona orange, namun pihak pemerintah daerah melarang tatap muka dengan siswa. Sehingga memunculkan tantangan tersendiri bagi guru agar siswa tetap belajar dari rumah.
Dengan beban banyak mata pelajaran yang harus dikuasai, salah satunya bahasa Inggris yang saya ampu. Salah satu bahasa Internasional yang cukup penting untuk masa depan mereka terlebih kabupaten Simeuleu merupakan salah satu destinasi wisata surfing favorit untuk pelancong dari berbagai belahan negara. Sehingga kemampuan bahasa Inggris masyarakatnya harus ditingkatkan terlebih untuk anak – anak usia sekolah harus dididik sedini mungkin agar terbiasa dengan bahasa Inggris. Tingkat sekolah menengah pertama baru diajarkan bahasa Inggris di sini, sehingga muncul beberapa permasalahan kaitannya dengan mengajar bahasa Inggris. Sementara harus mengenalkan konsep dasar bahasa Inggris dan juga harus mengejar kurikulum 2013 sebagai acuan secara nasional.
Buku panduan kurikulum 2013 yang seluruhnya berbahasa Inggris juga menjadikan tantangan berat bagi anak anak untuk belajar. Seperti yang kita ketahui dalam bahasa Inggris sering antara tulisan dan membacanya sangat berbeda, hal ini mengakibatkan siswa cepat beranggapan bahwa bahasa Inggris sulit dan akhirnya mereka malas belajar, dan bahkan ada beberapa siswa yang enggan datang ke sekolah karena sulitnya bahasa Inggris. Mereka beranggapan bahwa bahasa Inggris kurang penting.
Pada kondisi normal biasanya saya mengajar bahasa Inggris dengan tatap muka dengan didampingi buku kurikulum 2013 yang jumlahnya terbatas. Setiap dua anak ada satu buku, itu pun harus dijelaskan dalam bahasa Indonesia, karena di dalam buku tersebut menggunakan bahasa Inggris. Setelah dijelaskan dan dengan beragam aktifitas menyenangkan, misalnya menyanyi, quiz, dan game, mereka memang terlihat senang. Namun ketika disuruh mengerjakan tugas di buku latihan, banyak anak yang malas menulis. Dengan alasan susah menulisnya dan juga karena jadwal mengajar yang singkat, sementara buku pendamping hanya bisa dipakai di sekolah dan tidak bisa dibawa ke rumah. Sehingga menyebabkan pemahaman mereka semakin kurang dan berdampak pada menurunnya semangat untuk belajar bahasa Inggris.
Jadi, solusi seperti apa untuk mengatasi pembelajaran di daerah 3 T pada masa pandemi covid 19 ? Yang jelas kalau sistem daring tidak bisa dilakukan, Karena hanya sedikit sekali siswa yang mempunyai gawai. Pada awalnya guru memberikan foto kopi materi mingguan dan meminta siswa belajar secara mandiri kemudian dikumpulkan tugasnya ke sekolah tanpa adanya penjelasan materi dari guru. Ketika deadline pengumpulan tugas, terdapat banyak siswa yang tidak mengerjakan dengan alasan tidak paham bagaimana mengerjakan tugas tersebut, lupa, dan bahkan ada fotokopi materi yang diberikan oleh guru hilang. Setelah dievaluasi ternyata sistem tersebut kurang efektif. Akhirnya kami mencoba dengan cara yang lain yaitu dengan menggunakan tehnik Modul Tatap Muka (MTM).
Teknik MTM adalah tehnik menggabungkan antara modul dengan tatap muka. Kenapa harus modul? Sebelumnya melihat kondisi siswa yang banyak tercecer lembaran materi yang diberikan guru dan bahkan hilang. Pada awalnya guru menyusun modul untuk satu semester menggunakan penjelasan yang lebih mudah dimengerti anak, tentunya kombinasi menggunakan bahasa Indonesia. Modul dibuat menyesuaikan karakteristik peserta didik, dengan tahapan materi yang jelas dan ringkas, lengkap dengan latihan soal, dan catatan refleksi dari guru untuk siswa.
Untuk mempermudah belajar, setiap anak mendapatkan satu modul untuk setiap mata pelajaran. Sehingga anak leluasa untuk belajar mandiri di rumah. Di dalam modul juga sudah tercantum petunjuk pemakaian modul sehingga siswa akan lebih mudah untuk menggunakan modul. Dengan bentuk menyerupai buku sehingga siswa akan dengan mudah menyimpan seluruh materi.
Karena kondisi wilayah masuk zona orange dan pemahaman siswa kurang mendalam jika hanya diberikan modul. Maka dilakukan kegiatan tatap muka 2 minggu sekali berjumpa dengan anak–anak tetap menggunakan protokol kesehatan. Ketika tatap muka guru membahas latihan soal yang sudah dikerjakan dan diskusi untuk materi berikutnya. Kegiatan tatap muka juga dimanfaatkan untuk mengetahui perkembangan siswa secara berkala. Bisa sebagai kesempatan untuk diskusi antara guru dan siswa mengenai materi yang belum dipahami. Ketika menilai tugas yang sudah dikerjakan siswa, guru tidak lupa untuk menuliskan saran dan komentar yang menyemangati siswa yang dituliskan dimodul tersebut.
Menurut pengamatan yang terjadi ternyata dengan tehnik MTM ini lebih banyak siswa yang mengumpulkan dan mengerjakan tugas dengan benar. Terlihat ketika kegiatan tatap muka, mereka semangat untuk datang ke sekolah, karena selain bisa mendengarkan penjelasan guru, mereka juga bisa menghilangkan kebosanan belajar di rumah karena bertemu dengan kawan–kawannya. Perpaduan modul dengan tatap muka ternyata bisa mengatasi belajar bahasa Inggris anak–anak di daerah 3 T pada saat pandemi.
Satu lagi yang menarik, dibalik pandemi ini ternyata memantik semangat guru di daerah 3 T untuk membuat karya, diantaranya guru bisa membuat modul hasil karyanya sendiri yang biasanya hanya bergantung pada buku K 13. Siswa mendapatkan materi yang lebih rinci dengan tersimpan rapi di modul. ***