Revitalisasi Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam Menjawab Tantangan Pendidikan Masa Kini
Oleh: Yuni Sawitri
Mahasiswa Magister Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Pendidikan bukan sekadar transmisi pengetahuan. Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah proses pemanusiaan yang membentuk pribadi manusia secara utuh baik jasmani, rohani, sosial, dan spiritual. Konsep ini tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari pergulatan panjang Ki Hadjar melawan sistem pendidikan kolonial yang menindas dan mengabaikan potensi asli manusia Indonesia. Maka, tidak heran jika pendidikan dalam pandangan beliau tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di rumah dan masyarakat.
Ki Hadjar merumuskan Pancadharma sebagai asas dasar pendidikan: kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Asas-asas ini menunjukkan bahwa pendidikan seharusnya berpijak pada alam dan kodrat peserta didik, menjunjung kemerdekaan berpikir, menghormati budaya lokal, memperkuat identitas kebangsaan, dan menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Pendidikan harus membebaskan, bukan mengekang.
Sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial yang kaku dan represif, Ki Hadjar memperkenalkan metode Momong, Among, dan Ngemong, yakni mengasuh dengan kasih, membimbing dengan kesadaran, dan mendampingi agar potensi anak berkembang alami. Ia juga merumuskan semboyan yang abadi: Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan). Inilah filosofi pendidikan yang menghidupkan relasi manusiawi antara guru dan murid.
Namun, di Indonesia masa kini, implementasi pemikiran Ki Hadjar Dewantara menghadapi tantangan besar. Tantangan paling nyata adalah reduksi makna pendidikan. Pendidikan dipersempit menjadi pengajaran di sekolah dan diukur dari capaian akademik semata. Aspek-aspek penting lain seperti afeksi, nilai sosial, spiritualitas, dan pengembangan karakter sering kali terabaikan. Pendidikan kehilangan jiwanya, menjadi alat produksi nilai ujian, bukan alat pembebasan manusia.
Disorientasi tujuan pendidikan menjadi masalah serius. Pendidikan cenderung diarahkan semata-mata untuk mempersiapkan tenaga kerja yang siap pakai. Akibatnya, lembaga pendidikan dikelola laiknya perusahaan bisnis. Visi ideal untuk membentuk manusia berkepribadian utuh dikorbankan demi target angka kelulusan dan indeks prestasi. Guru pun terjebak menjadi “penyampai kurikulum”, bukan pendidik yang mengasuh dengan teladan dan kasih.
Dalam proses pembelajaran, dominasi kognisi terlihat begitu kuat. Guru sibuk menyampaikan materi demi memenuhi target kurikulum. Sementara murid duduk, diam, dan mencatat, sering kali tanpa benar-benar memahami atau merasa terhubung dengan apa yang dipelajari. Pendidikan menjadi rutinitas kosong, formalitas belaka. Buku dibuka hanya saat ujian tiba. Bel sekolah justru menjadi momen paling membahagiakan bagi banyak siswa, bukan saat pembelajaran berlangsung. Ini menjadi ironi besar bagi dunia pendidikan kita.
Di sisi lain, materi pelajaran yang disampaikan di sekolah terlalu berat pada aspek teoretis. Baik guru maupun murid terjebak dalam tekanan capaian akademik. Minim ruang untuk refleksi nilai, penghayatan makna, dan pengembangan diri secara menyeluruh. Hasilnya, output pendidikan tidak utuh, anak didik memiliki pengetahuan, tetapi tidak memiliki kepekaan nurani. Mereka cerdas, tapi tak selalu bijak.
Meskipun metode dan semboyan pendidikan Ki Hadjar Dewantara masih relevan hingga kini, pelaksanaannya belum menyentuh akar. Guru lebih banyak berperan sebagai pengajar, bukan pengasuh. Hal ini tak lepas dari tekanan kurikulum, beban administrasi, serta tuntutan ekonomi yang melemahkan idealisme banyak pendidik. Murid pun belum dianggap sebagai subjek aktif dalam pendidikan. Mereka lebih sering diperlakukan sebagai objek yang harus diisi, bukan diajak berdialog.
Lalu, bagaimana solusinya? Ada empat pilar penting yang bisa menjadi jalan keluar dari krisis implementasi konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Pertama, lembaga pendidikan perlu merevitalisasi visi-misi mereka. Pendidikan harus dipahami sebagai proses pemanusiaan peserta didik secara menyeluruh. Potensi kognitif, afektif, sosial, spiritual, dan konatif harus dikembangkan secara terintegrasi. Sarana dan prasarana harus memadai, namun yang lebih penting adalah visi kemanusiaan yang menjiwai seluruh proses pendidikan.
Kedua, guru sebagai teladan harus menjadi pengasuh sejati. Bukan hanya mengajar, tetapi memberi contoh hidup yang layak ditiru. Integritas moral, kesederhanaan, dan ketulusan adalah karakter yang harus dihidupkan kembali dalam tubuh profesi guru. Kehadiran guru harus bisa membangkitkan semangat dan kesadaran murid, bukan hanya memberi tugas dan ulangan.
Ketiga, peserta didik sebagai subjek pendidikan perlu dilibatkan secara aktif. Mereka harus diberi ruang untuk berpikir, berdiskusi, dan menemukan pengetahuan melalui pengalaman, bukan hanya menerima materi secara pasif. Relasi dialogis antara guru dan murid sangat penting dalam membentuk generasi yang kritis, kreatif, dan berkarakter.
Kesetaraan peran antara guru dan murid menjadi aspek penting yang harus dijaga dalam proses pendidikan. Sekolah tidak semestinya menjadi tempat penjinakan yang mengekang kebebasan berpikir dan berekspresi peserta didik, melainkan harus menjadi ruang tumbuh bersama yang memberi ruang bagi interaksi yang sehat dan dialogis. Dalam suasana yang aman, menyenangkan, dan penuh penghargaan terhadap peran masing-masing, peserta didik akan belajar dengan penuh kegembiraan, menemukan makna dalam prosesnya, serta menumbuhkan kecintaan terhadap ilmu dan kehidupan. Untuk mengatasi krisis arah pendidikan yang semakin jauh dari hakikatnya, dibutuhkan rekomendasi strategis yang berpijak pada nilai-nilai luhur Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan harus diarahkan untuk memerdekakan lahir dan batin peserta didik, membangun kesadaran ekologis dan kebudayaan, menanamkan rasa tanggung jawab sosial, menumbuhkan nasionalisme yang sehat, serta menyemai cinta kasih universal antar sesama manusia..
Sudah saatnya pendidikan Indonesia kembali pada ruhnya. Bukan sekadar mengejar nilai ujian, tapi membangun manusia seutuhnya. Sebagaimana dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara: pendidikan yang memerdekakan, menghidupkan, dan membahagiakan. Karena sejatinya, mendidik adalah mencintai, dan mencintai berarti mengasuh dengan hati.**
Editor: Cosmas