Program Mirror Mirror on the Screen, Peran Orang Tua dalam Setiap Konflik Manusia
Surakarta, Poskita.co – Sinema Akhir Tahun #8 atau yang dikenal dengan sebutan SAT merupakan acara rutin tahunan mahasiswa Film dan Televisi Institut Seni Indonesia Surakarta yanga diadakan setiap tahunnya. Pada Tahun 2023 ini SAT mengambil tema utak utik dari zaman purbakala. SAT tahun ini menghadirkan 200+ submissions film dari seluruh Indonesia yang telah dikurasi oleh para kurator-kurator yaitu Dwi Putri S.Sn., M.Sn., Dara Bunga Rembulan, Sito Fossy Biosa, Bani Nasution.
Main Event SAT diadakan di Teater Besar Institut Seni Indonesia Surakarta pada tanggal 9-12 November 2023. Dalam rangkaian program-program SAT terdapat satu program yang menarik yang menayangkan film-film dari berbagai sineas yang ada di Indonesia. Program tersebut diberi nama Program Layar umum.
Pada hari pertama Main Event SAT yaitu hari Kamis, 9 November 2023. Terdapat program Layar Umum 1 dengan judul program “ Mirror Mirror on the Screen” yang diprogramkan oleh Prajna Paramitha. Menayangkan 4 film yaitu, Burning Blue, The Boy Who Dreamed of Lighting, Make a Wish, dan Nalika Maranehna Ngomongkeun Bobogaan Urang. Sesuai dengan catatan program, keempat film ini menceritakan tentang manusia dan permasalahan yang dihadapi.
Film Burning Blue yang disutradarai oleh Ezra Cecio menceritakan tentang Gita seorang gadis remaja yang kesal karena diproyeksikan ayahnya untuk menjadi atlet badminton, Gita pergi menghabiskan waktu bersama kekasihnya di pantai sebelum kembali ke asrama namun dia berkeinginan untuk tidak kembali ke asrama.
Film The Boy Who Dreamed Of Lighting yang disutradarai oleh mahasiswa ISI Yogyakarta, Muhammad Raflie Maulana menceritakan seorang anak pendiam yang terus menerus mendapatkan mimpi dimana dia menjadi pohon dan tersambar petir. Daru yang kian merasa dekat dengan mimpinya kini juga harus menghadapi berbagai konflik di kehidupan nyata yang berujung pada jawaban atas mimpi misteriusnya tersebut.
Film Make a Wish oleh Adventio Diyar adalah film yang menceritakan tentang Widarto seorang buruh pabrik yang terkena PHK massal di penghujung tahun, mendengar sebuah mitos tentang domba tahun baru di kampungnya. Konon kabarnya, siapapun yang bisa mendengar domba ternaknya berbicara akan mendapatkan keajaiban ditahun berikutnya. Penasaran akan hal itu, Widarto akhirnya mencoba mengajak ngobrol arum domba ternaknya. Segala macam permasalahan hidupnya, dia ceritakan pada arum Hingga tepat di detik detik terakhir pergantian tahun sesuatu terjadi pada mereka.
Film Nalika Maranehna Ngomongkeun “Bobogaan” Urang karya Wiki merupakan sebuah film yang menceritakan putra anak berusia 5 tahun menjalankan sunat untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Suatu hari ketika Yeni (Ibu Putra) tengah mempersiapkan pesta untuk sang anak, Putra tiba tiba pingsan dan terjadi keanehan pada kelaminnya.
Meski disajikan dengan cerita dan tema yang berbeda, keempat film ini memiliki kesamaan dalam menghadapi masalahnya sendiri yaitu dengan melibatkan peran “orang tua” didalamnya. Orang tua disini tidak selamanya berarti orang tua kandung. Orang tua dalam salah satu film, The Boy Who Dreamed of Lightning, menggambarkan bahwa orang tua bisa merupakan orang terdekat kita seperti bibi ataupun guru sekolah. Peran orang tua dari keempat film ini tentu memiliki perbedaannya.
Dalam film Burning Blue, orang tua merupakan sebagai sosok yang egois dan terobsesi dengan karir dan masa depan anaknya tanpa mempertimbangkan keinginan seorang anak. Mengambil cerita tentang atlet badminton sendiri merupakan keputusan sutradara karena ia merasa dekat dengan olahraga tersebut. Film ini menghadirkan visual kebimbangan dan amarah dari seorang anak dengan warna dominasi biru.
“Warna biru sendiri menjadi warna yang menggambarkan tokoh karakter utama yang sedang dihapi dilema dan bimbang,” begitu kata Ezra Cecio selaku sutradara via Zoom Meeting saat sesi diskusi program.
Dalam film The Boy Who Dreamed of Lightning, orang tua kandung sang tokoh utama diceritakan telah tiada. Sehingga bibi dan gurunya lah yang menjadi orang tua pengganti dan berusaha menjadi orang yang bisa diandalkan. Film ini dihadirkan dengan visual yang memanjakan mata dengan warna-warna yang menyenangkan serta memberi kesan hangat akan kasih sayang orang tua pada akhir cerita.
Lalu, film Make A Wish menghadirkan orang tua sebagai seorang single parents yang menjadi pecandu judi dan hidupnya berantakan setelah ditinggal mati sang istri. Selain orang tua, film ini menghadirkan foklore dari Romania yaitu mitos apabila mendengar hewan yang berbicara saat malam tahun maka akan mendatangkan keajaiban dalam hidupnya. Film ini menghadirkan menampilkan visual keputusasaan tokoh utama dalam menjalani hidup dan herapan tokoh agar mitos tersebut dapat membawa keajaiban dalam hidupnya. Fakta unik, sutradara menyatakan bahwa film ini berawal dari keresahannya akan sebuah kehidupan.
“Film ini memiliki latar belakang dari keresahan sutradaranya sendiri akan ketakutannya dalam menghadapi quarter life crisis,” ungkap Dionisius Sandro selaku Produser film Make A Wish.
Sedangkan pada film Maranehna Ngomongkeun “Bobogaan” Urang yang berarti ketika orang-orang membicarakan “kepunyaan saya” dalam bahasa sunda menghadirkan kisah seorang single mother yang mengadakan hajatan demi anaknya dan bergantung kepada keluarga dan masyarakatnya disaat anaknya mendapat sebuah masalah. Film ini dibuat dengan satu jenis shot dan direkam secara one take dan shot dibuat seakan-akan merupakan point of view dari alat kelamin sang anak yang akan disunat. Sutradara sengaja mengangkat film ini karena ia rasa ia dekat dengan hal ini mengingat topik utamanya ialaha alat kelamin pria.
Dalam film-film di program ini, kita belajar banyak mengenai arti dari sebuah kehidupan, mimpi dan tantangannya. Manusia tidak pernah bisa sendiri dan tentu selalu ada kehadiran orang-orang yang bisa menjadi sebuah konflik itu sendiri maupun sebagai penerang jalan kehidupan. Manusia punya caranya untuk mengikhlaskan, punya caranya untuk mengatasi dan punya caranya untuk menghindari. Semua adalah pilihan. “Mirror Mirror on the Screen” sendiri merupakan program yang mencerminkan sosok manusia seutuhnya yang dibungkus dengan karya-karya sineas muda yang berbakat.***
Penulis: Theresia Abigail Tatontos dan Gery Cahya Nugraha, Mahasiswa Film dan Televisi ISI Surakarta.
Editor: Cosmas