Bimbingan dan Konseling dengan Restitusi
Oleh: Yayuk Indarwati,S.Pd
Guru Kelas 6 SDN 03 Jatisuko
Orang dewasa tentu menginginkan anak-anak tumbuh dan berkembang secara baik, normal, aman, nyaman dan bahagia. Mereka bisa belajar, bermain dan bergaul dengan siapa saja secara baik. Apalagi seorang guru yang mebawa misi pendidikan bagi anak-anak. Membangun budaya positif anak-anak sebagai murid di sekolah merupakan tanggung jawab yang secara otomatis melekat pada guru.
Guru sangat perlu membangkitkan motivasi intrinsik perilaku murid, memposisi diri sebagai kontrol manajer, memberikan bimbingan dan konseling dalam menghadapi berbagai persoalan disiplin positif baik berupa peraturan formal sekolah maupun keyakinan kelas, merupakan praktek praktek yang dapat menciptakan budaya positif dalam komunitas sekolah dalam rangka mencapai visi sekolah. Visi sekolah masa sekarang mengacu pada pencapaian tujuan pendidikan yang mencerminkan pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara mewujudkan anak-anak Indonesia yang memiliki profil pelajar Pancasila. Profil pelajar yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, mandiri, kreatif, berkebhinekaan global, mampu hidup bergotong-royong, serta mampu bernalar kritis.
Wawasan pendidikan masa sekarang anti kekerasan dan anti perundungan, baik kekerasan secara fisik maupun secara verbal mesti dipahami secara sadar dan mendalam oleh guru dalam menghadapi anak didik. Sementara itu, guru tidak jarang dihadapkan pada perilaku-perilaku murid tidak sesuai dengan harapan. Pelanggaran aturan, usil, nakal dan penyimpangan perilaku lainnya yang menimbulkan masalah dan ketidaknyamanan bagi diri sendiri maupun orang lain. Penanganan masalah seperti ini di sekolah berupa bimbingan dan konseling. Dalam sistem managemen sekolah menengah sudah ada divisi dalam struktur sekolah tertentu yang bertugas menangani masalah seperti ini, yaitu guru BP. Sedangkan di tingkat sekolah dasar guru kelas yang mengambil tanggung jawab ini.
Bimbingan konseling menurut Walgino (2010) adalah rangkaian proses kegiatan yang fokus utamanya dalam memberikan bantuan yang diberikan oleh seorang ahli dalam bidang konseling melalui tatap muka, baik secara individu atau kelompok dengan memberikan pengetahuan dalam mengatasi suatu permasalahan yang tengah dialami oleh konseli secara berkala dan sistematis.
Asumsi atau pandangan seorang murid kepada profesi seorang guru Bimbingan dan Konseling (BK) terkadang negatif, atau bahkan tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya dari murid. Di mata murid, dipanggil menghadap guru BP adalah aib, takut dan gelisah. Yang ada dalam pikiran mereka adalah kemarahan dan hukuman. Paradigma ini harus segera dihilangkan dari pemikiran murid dan dikembalikan pada konsep Bimbingan dan Konseling. Guru pun mesti dibekali dengan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan yang dapat mengondisikan situasi Bimbingan dan Konseling yang lebih humanis, kekeluargaan, bersahabat dan berpihak pada murid.
Guru hendaknya mengerti dan menyadari bahwa penyimpangan perilaku, pelanggaran disiplin, kesalahan yang terjadi pada murid merupakan cara mereka dalam mengekspresikan keinginan, protes dan mencari perhatian. Bisa jadi hal itu merupakan cara mereka memenuhi kebutuhan yang terabaikan baik yang berkepentingan dengan masyarakat, orang tua, guru ataupun teman sekolahnya. Tindakan yang negatif dari murid mungkin adalah bentuk kegagalan mereka dalam memenuhi kebutuhan dasarnya secara positif. Untuk menghadapi murid yang melakukan hal negatif demi memenuhi kebutuhan dasar mereka, guru perlu memahami posisi kontrol yang akan digunakan.
Diane Gossen, dalam bukunya Restitution-Restructuring school diciplline (1998) guru hendaknya memposisikan diri sebagai seorang manajer hendaknya mengerti bahwa fokus masalah ada pada murid itu sendiri. Peran guru membuat murid bertanggung jawab dan mencari solusi atas masalah yang mereka lakukan. Tujuannya adalah untuk menuntun murid mengevaluasi tindakan mereka agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi dengan restitusi.
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain. Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali harga dirinya.
(Simak videonya di link berikut: https://youtu.be/GkzJ3CsxUvo)
Restitusi menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama segitiga restitusi/restitution triangle. Proses ini meliputi tiga tahap dan setiap tahapnya berdasarkan pada prinsip penting dari Teori Kontrol, yaitu
- Menstabilkan identitas/stabilize the identity (mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses).
- Validasi tindakan yang salah/validate the misbehavior (memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut).
- Menanyakan keyakinan/seek the belief (motivasi secara internal sehubungan dengan nilai-nilai yang dia percaya).
(Simak videonya di link berikut: https://youtu.be/WNwoP1ZNAN0)
Restitusi tidak menyarankan guru bicara ke murid bahwa melanggar aturan adalah sikap yang baik, tapi dalam restitusi guru harus memahami alasannya, dan paham bahwa setiap orang pasti akan melakukan yang terbaik di waktu tertentu. Sebuah pelanggaran aturan seringkali memenuhi kebutuhan anak akan kekuasaan/power walaupun seringkali bertabrakan dengan kebutuhan yang lain, yaitu kebutuhan akan cinta dan kasih sayang/love and belonging. Kalau kita tolak anak yang sedang berbuat salah, dia akan tetap menjadi bagian dari masalah. namun bila kita memahami alasannya melakukan sesuatu, maka dia akan merasa dipahami. Para guru yang telah menerapkan strategi ini mengatakan bahwa anak-anak yang tadinya tidak terjangkau, menjadi lebih terbuka pada mereka. Strategi ini menguntungkan bagi murid dan guru karena guru akan berada dalam posisi siswa, dan karena itu akan memiliki perspektif yang berbeda.
Berdasarkan penegertian dan tujuan Bimbingan Konseling dan restitusi serta pengalaman penerapannya maka dapat disimpulkan bahwa restitusi dapat dijadikan sebagai strategi dan metode dalam melaksanakan kegiatan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Praktek restitusi juga dapat dilakukan oleh orang tua dalam membantu mengatasi masalah perilaku anak yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, sehingga menemukan titik temu antara orang tua dan anak dan mengembalikan keharmonisan hubungan kedua pihak. **
Editor: Cosmas