Masker, Sarung Tangan, Limbah Medis Cemari Lingkungan, Pakar: Ini “Suatu Kesalahan Besar”

Spread the love
Anggota kelompok lingkungan Bank Sampah Sungai Cisadane (Banksa Suci) mengumpulkan sampah medis di Sungai Cisadane di Tangerang, Provinsi Banten, 2 Agustus 2020. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)
 Tangerang, Poskita.co

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia menunjukkan jumlah sampah nasional tahun 2020 mencapai 67,8 juta ton, naik lebih dari 3 ton jika dibandingkan tahun lalu.

Limbah medis, khususnya, mengalami peningkatan di tengah pandemi. Data yang diperoleh dari Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan, jumlah limbah medis, yang termasuk sampah medis seperti masker, alat pelindung diri, selang infus, botol, serta kemasan obat dan sebagainya, mencapai hampir 1663 ton.

Melalui sebuah diskusi virtual bertajuk “Diskusi Umum Limbah Masker di Teluk Jakarta: Sebuah Dilema Kesehatan, Lingkungan Hidup, dan Kehidupan Ekonomi Masyarakat,” yang diselenggarakan oleh Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat tingkat Nasional, belum lama ini, Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, menjelaskan kenaikan tersebut.

“Memang dengan berlangsungnya masa pandemi COVID-19 ini, limbah medis itu naik 30 persen. Limbah medis itu sekarang adalah tidak hanya dari fasilitas layanan kesehatan, tapi juga dari hotel-hotel,” jelasnya.

Rosa Vivien Ratnawati menambahkan, beberapa hotel yang dijadikan tempat untuk isolasi mandiri diketahui membuang sampah medis, seperti APD dan masker, dengan proses yang tidak semestinya.

“Kalau di hotel dia isolasi mandiri, itu artinya dia penderita positif COVID-19 jadi bukan dari rumah atau rumah tangga seperti kita pakai masker ya. Nah, itu yang memang harus dikendalikan,” ujar Rosa Vivien Ratnawati dalam diskusi virtual tersebut.

Padahal, Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, “limbah medis yang berasal dari pasien positif COVID itu harus dibakar di insinerator 800 derajat Celsius.”

Limbah Medis Cemarkan Muara Sungai

Limbah dan sampah medis yang dibuang tidak sesuai aturan, kerap berakhir di tempat pembuangan akhir dan di muara sungai. Selain berdampak buruk bagi lingkungan, hal ini menimbulkan risiko penyebaran penyaki yang tinggi diantara para pemulung.

Hasil temuan LIPI bahkan mengatakan, sekitar 46-57 persen sampah plastik pada masa pandemi ditemukan berakhir di muara sungai.

“Ditemukan sampah-sampah seperti masker atau sarung tangan, itu di pantai, di laut, di tempat-tempat yang tidak semestinya. Dan itu sendiri merupakan suatu kesalahan besar, karena sampah medis itu harus dibuang di tempat yang sesuai dan apabila sudah dipakai sekali, itu harus dibuang. Tidak boleh digunakan kembali atau di-recycle,” kata Dr. Denita Utami yang juga adalah mahasiswi S2 jurusan kesehatan masyarakat di Columbia University, New York, kepada VOA Indonesia.

Gondan Puti Renosari, pakar lingkungan di perusahaan lingkungan, the Nature Conservancy, di Virginia, AS (dok: pribadi)

Pakar lingkungan, Gondan Puti Renosari, yang bekerja untuk organisasi nirlaba the Nature Conservancy di Virginia, Amerika Serikat menambahkan, sampah medis yang dibuang secara sembarangan juga dapat merusak ekosistem.

“Selain bahaya bagi lingkungannya, ini bahaya juga bagi fauna. Kalau marine life itu, burungnya itu bisa makanin, bisa mengira limbah ini adalah makanan, terus dia makan. Binatang-binatang bawah air juga bisa mengira itu makanan. Jangan heran kalau sekarang mungkin kita temuin di binatang-binatang itu banyak yang menyangkut masker. Yang mati di dalam perutnya ditemukan karet masker,” ujar Gondan Puti Renosari kepada VOA Indonesia.

Insinerator Penting Untuk Tangani Limbah Medis

Limbah dan sampah medis memerlukan penanganan khusus, mengingat dapat menyebarkan penyakit dan mencemarkan lingkungan. Salah satunya seperti yang dikatakan oleh Rosa Vivien Ratnawati, yaitu melalui proses pembakaran dengan mesin insinerator, dengan suhu 800 derajat Celsius. Proses pembakarannya pun terkontrol dan tidak mengganggu lingkungan.
Sayangnya, dari sekitar 2000 rumah sakit di seluruh Indonesia, hanya terdapat 119 insinerator yang berizin resmi. Hal ini dikarenakan banyaknya rumah sakit yang mengurus izin melalui jalur yang tidak seharusnya, melalui calo atau konsultan.

“Jadi kalau calo atau konsultan-lah ya, itu dia ngurus izin misalnya ke tempat pelayanan terpadunya KLHK, itu kalau kurang administrasi dan sebagainya, terus dia bawa pulang enggak diurus lagi, enggak dilengkapi. Nah, mereka akan klaim statusnya ada di tempat saya,” tegasnya.

Insinerator sangatlah penting dimiliki oleh fasilitas kesehatan, sebagai cara untuk menangani limbah dan sampah medis, karena sudah memiliki standar kualitas medis yang diperlukan dan selalu di cek secara berkala.

“Insinerator sendiri itu juga sudah ada standar kualitas medisnya, pokoknya selalu di cek secara berkala. Jadi, inilah yang membuat apabila, misalnya ada virus-virus, atau bakteri yang terdapat dalam alat medis tersebut atau misalnya masker, dia akan hangus atau akan habis. Jadi benar-benar dibikin sedemikian rupa, hingga dia tidak ada mengandung virus-virus dan bakteri yang berbahaya,” jelas dr. Denita.

Yang juga menjadi permasalahan adalah limbah dan sampah medis yang berasal dari rumah tangga, yang dibuang tercampur dengan sampah harian. Perlu diketahui bahwa membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang (UU) No 18 Tahun 2018 tentang “Pengelolaan Sampah.”

Denita Utami, mahasiswi S2 jurusan Kesehatan Masyarakat di Columbia University, NY (dok: Denita Utami)

Maka dari itu, dr. Denita menganjurkan masyarakat agar membuang limbah dan sampah medis ini di tempat yang benar, seperti di puskesmas.

“Kalau di Indonesia sendiri, puskesmas itu bisa menyalurkan sampah medis atau sampah masker. Ada juga saran di mana, agar tidak didaur ulang, maskernya dipotong-potong. Jadi digunting, baru dibuang. Kalau kita buang sampahnya ke puskesmas atau pusat kesehatan, mereka punya fasilitas yang sesuai untuk membuang sampah tersebut.”

Sampah Belanja Online Meningkat

Tidak hanya limbah dan sampah medis, kegiatan dalam era kelaziman baru yang lebih banyak dilakukan di rumah, ternyata juga meningkatkan belanja online.

Hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menunjukkan peningkatan frekuensi belanja online yang naik menjadi 1-10 kali dari 1-5 kali per bulan. Pasalnya, data tersebut juga menyatakan, 96 persen belanja online bulan April hingga Mei 2020, menggunakan kemasan plastik.
Gondan melihat adanya perubahan perilaku belanja masyarakat dalam masa pandemi ini, khususnya ketika lebih banyak berada di rumah.

“Dengan kita harus stay at home, perilaku kita berubah. Yang biasanya cuci mata ke mall, sekarang di rumah aja, browsing barang-barang yang mau dibelanja. Kan lebih gampang. Jadi, banyak banget belanjaan online, barang-barang yang kita beli secara online. Karena dikirim, kardus barangnya, dari kardus itu dimasukin plastik, terus dikasih packaging bean, dimasukin kardus lagi, dan itu dimasukin ke kardus lagi,” tambahnya.

Tidak hanya itu, layanan pesan antar makanan lewat berbagai aplikasi di era pandemi ini juga semakin kompetitif dan meningkat. Tidak sedikit restoran-restoran ini yang menggunakan alat makan sekali pakai.

“Pakai piring plastik, gelas plastik yang langsung buang. Jadi produksi limbahnya balik lagi meningkat. Yang di awal-awal sempat berkurang, sekarang meningkat lagi,” jelas Gondan.

Sehubungan hari peduli sampah nasional 2021 yang jatuh tanggal 21 Februari di Indonesia, pemerintah berharap momen ini bisa meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai peningkatan limbah medis dan sampah di tengah pandemi. [di]

Sumber: voaindonesia.com