Pendidikan karakter merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan nasional yang termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional. Dalam pasal 3 disebutkan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dari indikator perilaku yang dijabarkan tersebut dapat dipahami bahwa dalam tujuan pendidikan nasional, telah tertanam sosok individu yang diharapkan, yakni individu yang bekarakter. Untuk mewujudkan peserta didik berkarakter, tugas guru adalah sebagai fasilitator yang mengembangkan nilai-nilai karakter positif dalam diri siswa sehingga dapat secara optimal tumbuh sesuai karakteristik yang dimilikinya. Salah satu karakteristik yang dimiliki Siswa SMP Negeri 2 Jaten adalah karakteristik sosial emosional.
Menurut teori perkembangan psikoseksual Freud (dalam Ayriza, 2005) anak usia SMP berada pada fase laten. Pada masa ini, dorongan libido sedang dalam keadaan diam, sehingga emosi anak relatif tenang. Anak pada periode usia ini menjadi lebih mudah untuk dididik dengan cara menirukan, belajar model, dan reinforcement. Penguatan karakter siswa SMP Negeri 2 Jaten melalui penggunaan unggah-ungguh Bahasa Jawa perlu dikaji dari aspek unggah-ungguh Bahasa Jawa itu sendiri dan dari segi pendidikan karakter. Berikut ini penulis paparkan kajian tentang Bahasa Jawa sebagai muatan lokal, pendidikan karakter, dan unggah-ungguh Bahasa Jawa.
Unggah ungguhdalam bahasa Jawa dapat diartikan sebagai sopan santun. Karena sikap sopan santun sangan banyak dicermikan terutama dalam berbicara atau berkomunikasi, maka sopan santun lebih banyak diekspresikan dan tatakrama berbahasa. Sehingga sering juga diartikan unggah ungguhadalah tatakrama bahasaTataberarti adat, aturan, norma, peraturan. Kramaberarti sopan santun, kelakuan, tindakan, perbuatan. Tata kramaberarti adat sopan santun, kebiasaan sopan santun Bahasa cermin diri. Tutur kata dalam berbahasa tidak semata dibatasi oleh nilai komunikasi dari satu orang ke orang lain, tetapi proses komunikasi tersebut mengandung semangat etik. Bobot bahasa dengan begitu dimaknai sebagai bagian dari penilaian pribadi dari penutur bahasa. Dengan begitu bahasa memiliki kekuatan budaya dan etika diri dalam setiap proses komunikasinya.
Ajining Dhiri Saka Lathi, Ajining Raga Saka Busana. Pepatah ini sudah populer di tengah kehidupan masyarakat Jawa. Pepatah ini berarti bahwa tinggi rendahnya derajat diri manusia tergantung dari ucapannya dan pakaian yang dikenakannya. Oleh karena itu, berdasarkan pepatah ini manusia dianjurkan untuk selalu berhati-hati dalam setiap ucapannya. Ia harus selalu berucap yang baik dan dengan cara yang baik pula.
Di samping itu, manusia juga harus selalu berpakaian yang baik dan sopan. Dalam setiap kunjungan sekolah, penulis selalu menanyakan kepada guru hal-hal yang mungkin menjadi kendala dalam melaksanakan tugas sebagai guru. Seringkali guru menjawab tidak ada kendala. Tidak jarang pula guru menyampaikan masalah yang dihadapi di sekolah. Masalahpun beragam dan berbeda antara guru yang satu dengan yang lain.
Pendidikan karakter telah lama didengungkan. Terlebih lagi di era globalisasi, karakter harus menjadi perhatian utama, sehingga pendidikan tidak hanya bertujuan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga membangun karakter peserta didik. ***