Dunia Bisnis Masih Marak “Gender-Based Marketing’’

Spread the love

SOLO, POSKITA.CO

Dalam dunia bisnis, kata Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta Yokhebed Arumdika Probosambodo, masih marak dengan ‘’gender-based marketing’’.

Karena itu dibutuhkan peran penting pemerintah untuk membuat kebijakan bagi perusahaan perusahaan agar termotivasi untuk memproduksi gender-neutral products. Sebagai contoh, tidak lagi memisahkan mainan-mainan untuk anak laki-laki dan anak perempuan pada etalase toko mainan, seperti yang sudah berhasil dilakukan oleh pemerintah Inggris.

“Tidak lagi menerapkan stigma bahwa blue are for boys dan ‘pink are for girls,” kata Yokhebed ketika menjawab pertanyaan dari peserta dalam internationsl webminar yang digelar Universitas Internasional Batam.

Dalam seminar online bertajuk “SDG’s For Better World and Humanity, Pillar of Social Development Goal: 01, 02, 03, 04, 05” itu menghadirkan pembicara dari perguruan tinggi berbagai negara. Seperti, Dr. Jau-Rong Chen dari Taiwan, ), Osei Enoch Aboagye dari Ghana, Pachara Chaicharoendari Thailand, ), Manuel Fernando Rios dan Yokhebed Arumdika Probosambodo dari Indonesia. Webminar yang digelar Senin (29/6) itu di diikuti 500 peserta.

Kegiatan tersebut membahas arti penting dari Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan tujuh belas (17) tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan PBB sebagai agenda dunia dalam membangun, demi kemaslahatan manusia dan planet bumi.

Dalam paparannya, Yokhebed membahas gender equality atau kesetaraan gender dengan tema Gender Equality dari perspektif Indonesia. Menurut dia, meski sudah ada International Law (Hukum Internasional), Regional Law (peraturan-peraturan ASEAN), dan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mendukung adanya kesetaraan gender, namun dalam implementasinya di Indonesia masih jauh dari harapan.

Kenyataannya, kata dia, di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan terkait kesetaraan gender. Seperti, ‘’woman as object’’ yakni wanita sebagai obyek yang seringkali justru disalahkan ketika menjadi korban pelecehan. Kemudian, ‘’cultural issues’’, dimana mayoritas suku di Indonesia masih berpandangan bahwa pria lebih unggul dibanding perempuan. Dalam Bahasa Jawa, perempuan hanya sebagai ‘’kanca wingking’’.

“Kasus “woman-shaming’’ atau perundungan terhadap wanita oleh sesama wanita juga masih marak terjadi di Indonesia, khususnya melalui sosial media. Rata-rata terkait pola pengasuhan anak, perubahan fisik perempuan setelah melahirkan, dan lainnya.”

COSMAS