Bersama Pancasila Melawan Hoax

Spread the love

OPINI

Oleh: A. Darmawan
Alumnus UNS Solo

Ibarat pendekar bela diri, Pancasila sekarang menemui lawan baru, hoax. Sebelumnya kesaktian Pancasila telah teruji. Melalui serangkaian peristiwa bersejarah nasional. Diantaranya, pemberontakan PKI dan pemberontakan DI/TII.

Hoax atau pengertian umumnya adalah berita atau informasi bohong, saat ini sudah menjadi diksi lumrah. Tidak jarang dalam percakapan sehari-hari, ditemukan tulisan atau ucapan, no pic = hoax.

Alih-alih foto adalah bukti bahwa sebuah peristiwa bukan hoax, banyak hoax yang beredar justru adalah foto atau video yang direkayasa. Yang ditambahkan kalimat atau narasi yang bersifat provokatif.

Peredaran hoax meresahkan dan mengganggu kerukunan masyarakat. Ada contoh yang masih segar dalam ingatan. Hoax pemukulan Ratna Sarumpaet,  hoax penculikan anak, hoax telur plastik, dan lain-lain. Belum lagi hoax tentang tips kesehatan. Dengan mengutip hasil riset kesehatan atau ucapan dokter.

Yang mengkhawatirkan adalah ketika hoax sudah menimbulkan benturan di masyarakat. Contohnya, kasus pembakaran kantor ormas oleh ormas lainnya, di Bogor tahun 2017 lalu. Dan beberapa kasus kekerasan lainnya di masyarakat. Disebabkan oleh hoax.

Menurut survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) yang dirilis pada Maret 2019, penyebaran hoax mayoritas dilakukan melalui media sosial yaitu 87.5%, aplikasi chatting 67%, dan internet (website) 28.2%.

Bahkan media cetak, radio dan televisi juga tak luput melakukan hoax dengan persentase lebih kecil. Survei  yang sama mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat menerima hoax hampir setiap hari. Isinya terkait isu sosial, politik, SARA, dan pemerintahan.

Di sisi lain, data Kemenkominfo menyebutkan di tahun 2018 ada sekitar 900 ribu situs menyebar hoax. Yang meningkat dari tahun sebelumnya, yang berjumlah 800 ribu situs. Termasuk situs perjudian, pornografi, dan lain-lain.

Tak heran, penyebaran hoax semakin meningkat di masyarakat. Dari satu sampai dua hoax menjadi dua sampai lima hoax tiap hari.

Fakta ini berkelindan dengan jumlah pengguna internet dan media sosial di Indonesia. Dalam data Hootsuite 2019, di tahun 2018 dari total populasi sekitar 268 juta orang, pengguna internet mencapai 150 juta orang dan pengguna media sosial melalui mobile gadget sebanyak 130 juta orang.

Alhasil, penyebaran hoax berbanding lurus dengan tren penggunaan internet dan media sosial yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Musuh Baru Pancasila

Musuh Pancasila kali ini bertransformasi dalam bentuk ekses negatif teknologi informasi dan produknya, yaitu hoax.  Musuh baru Pancasila ini juga mendapat bala bantuan dari para sekondannya. Yaitu hate speech, post-truth, dan eco chamber. Akibatnya, kekuatan hoax semakin besar.

Hate speech atau ujaran kebencian menjadi jurus andalan hoax untuk merusak kedamaian masyarakat. Yang disemburkan di era post-truth sekarang. Masa dimana masyarakat lebih cenderung mencari pembenaran. Bukan mencari kebenaran. Dari informasi yang diterima.

Ditambah lagi dengan konsep echo chamber. Ketika anggota masyarakat bertukar informasi hanya dengan yang satu pemahaman. Di ruang yang sama. Akibatnya, masyarakat bisa semakin tersekat menurut kepentingannya. Yang terbentuk karena hoax.

Hal ini dijelaskan oleh Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise (2017). Yaitu, banyak orang saat ini hanya memercayai informasi yang mereka suka. Dan kritis bukan pada fakta. Namun sekedar mempertahankan keyakinannya.

Bahkan, internet bukan lagi dianggap sarana demokrasi informasi. Tapi malah membutakan penggunanya. Ujungnya, media konvensional akan dianggap musuh. Sebagai strategi untuk membuat sekat komunikasi bagi kelompoknya.

Ini juga yang kemudian membuat ucapan propagandis Nazi dahulu, Joseph Goebels, semakin menemukan relevansinya. Kebohongan yang terus menerus disampaikan maka akan menjadi kebenaran.

Demikian pula dengan ucapan Bung Karno. Perjuangannya dulu lebih mudah karena mengusir penjajah, namun perjuangan saat ini akan lebih sulit karena melawan anak bangsa sendiri.

Kondisi ini yang membuat para pendukung Pancasila harus bekerja lebih keras. Dan, pertanyaannya, apakah Pancasila bisa kembali membuktikan kesaktiannya? Bagaimana Pancasila mampu mengatasi hoax dan dampaknya sehingga bisa terus mempersatukan seluruh anak bangsa?

Jurus Sakti Pancasila

Tugas terberat adalah memahamkan dan menerapkan nilai Pancasila kepada warga negara. Terutama untuk generasi muda sebagai pemakai terbesar internet dan media sosial. Dan pewaris masa depan bangsa.

Cara indoktrinasi mungkin masih bisa dipakai, tapi mungkin tidak sepenuhnya efektif. Apalagi dengan melihat dinamika masyarakat saat ini yang lebih terpolarisasi. Masyarakat lebih butuh aktualisasi.

Sesuai tantangan zamannya, cara kreatif melalui aktifitas seni dan kebudayaan dengan menggunakan internet dan media sosial akan menjadi jurus yang lebih baik. Lebih sakti. Untuk mengimplementasikan Pancasila.

Salah satunya dengan mengajak para youtuber, selegram, dan pegiat media sosial lainnya. Untuk membuat konten, menggunakan intisari yang terkandung dalam 45 butir-butir Pancasila. Dikemas dengan bahasa sesuai dengan penontonnya.

Seperti membuat vlog atau meme, tentang contoh-contoh positif kebajikan dan pelopor nilai-nilai Pancasila. Yang bisa diambil dari kejadian atau tokoh di masyarakat. Sehingga menjadi inspirasi bagi kemajuan prestasi bangsa.

Yang disampaikan secara simultan. Dan berjumlah lebih banyak dibanding semburan hoax. Melalui berbagai media komunikasi, terutama internet dan media sosial. Sehingga memenuhi ruang komunikasi publik. Untuk mengubah pola pikir masyarakat, khususnya generasi muda.

Harapannya, Pancasila tidak berhenti sebagai butir-butir hafalan, tetapi menjelma menjadi karakter yang mendarah daging dan menginspirasi dalam berperilaku sehari-hari.

Kisah Iwan Dalauk, penemu ikan Mujair dan satu kelompok tani di Blitar penemu padi PIM (Petani Indonesia Menggugat) adalah contohnya.

Kerja keras dan pengorbanan Iwan Dalauk akhirnya bisa mengubah ikan Mujair yang tadinya ikan air asin menjadi ikan air tawar.

Caranya, dengan mengurangi komposisi air asin dan memperbanyak air tawar sebanyak 11 kali. Air asinnya dibawa langsung dari pantai terdekat yang jaraknya puluhan kilometer. Beberapa kali balikan dari desanya di Kanigoro, Blitar. Sampai ikan Mujair akhirnya bisa hidup di air tawar.

Adapun padi PIM adalah varietas baru yang lebih tahan hama dan memiliki tinggi sekitar 2 meter. Menghasilkan panen 2 kali lipat dengan masa tanam sekitar 120 hari dan rasa lebih pulen.

Padi PIM merupakan buah ketekunan dan kekompakan para petani (juga) di Blitar yang dimulai sejak tahun 2002. Diawali dengan pemisahan DNA padi (secara manual) yang ingin digabungkan. Dan serangkaian diskusi dengan sesama petani dan ujicoba tanam. Sehingga akhirnya baru ditanam dan dipanen di tahun 2018.

Ini adalah nilai-nilai Pancasila. Kerja keras, pengorbanan, ketekunan, dan kekompakan. Yang ditunjukkan oleh Iwan Dalauk dan petani di Blitar. Yang bisa menjadi inspirasi di seantero negeri.

Contoh lain juga ditunjukkan warga Kampung Markisa, Tangerang. Ketika banjir dan kekumuhan menjadi rutinitas. Warga bermusyawarah, bersepakat, bertoleransi, dan bekerjasama untuk menyelesaikannya.

Walaupun berbeda latar belakang SARA. Namun mereka fokus pada penuntasan masalah. Hasilnya, Kampung Markisa menjadi indah dan asri serta terbebas dari banjir.

Ini adalah salah satu pokok ajaran Pancasila, gotong royong. Atau bahasa kekiniannya, kolaborasi. Yang kerap dijalankan oleh masyarakat. Untuk mengatasi problem yang ada di tengah mereka.

Oleh karenanya, bila hoax terus mengumbar hal-hal negatif dan kebencian maka Pancasila adalah antitesa. Karena terus mengajarkan hal-hal positif dan kebaikan. Dan pada akhirnya, kebaikan akan mengalahkan kejahatan.

Kesemuanya akan bermuara pada sila ketiga, Persatuan Indonesia. Dan keberhasilannya adalah tanggung jawab bersama. Seluruh anak bangsa. Mulai 1 Juni ini dan seterusnya. Untuk membuat Pancasila, tetap jaya! ***