Mantra Gula Kelapa: Tarian Doa untuk Ibu Pertiwi

Spread the love

SOLO (poskita.co) – Dalam event 24 jam Solo menari dan untuk memperingati Hari Tari Dunia (World Dance Day), Asga (Akademi Seni Mangkunegaran Surakarta) ikut ambil bagian dan menampilkan Pertunjukan teater tari dengan tema “Mantra Gula Kelapa” Senin (29/4/2019) pukul 20.40 bertempat di gedung Teater Besar ISI Surakarta, disutradai dan koreografi Fajar Satriadi dengan koordinator pertunjukan Ito Tawadhu.

Fajar Satriadi, koreografer dan penggagas pertunjukan juga dosen Asga menjelaskan, pertunjukkan yang dipergelarkan melibatkan bukan penari atau performer sungguhan, mereka adalah pekerja di sebuah hotel, hansip, tukang parkir, guru TK, pengamen, bakul hik dan lain-lain. Tapi mereka belajar mencari dan menghayati sumber gerak hidup. Karena kesadaran pada ketidakmampuan mereka melakukan hal-hal yg di harapkan akhirnya dalam eksplorasi dan prosesnya pertunjukkan menjadi berbentuk teater tari.

Melihat peristiwa aktual yang terjadi di negeri ini beberapa waktu ke belakang. Gula klapa adalah bendera Majapahit dan kemudian dipakai oleh negara Republik Indonesia menjadi merah Putih. Konsepsi tentang merah putih diambil dari darah dan sperma, dan ketika ruh dimasukkan oleh sang pencipta Alloh SWT maka menjadi hidup maka diharapkan menjadi generasi yang tangguh lahir batin dalam mengarungi kehidupan di atas bumi Merah Putih atau Gula Klapa.

Dalam perjalanannya, Ibu Pertiwi selalu hadir menjadi saksi. Baik saat susah dan menderita maupun di saat bahagia. Oleh karena itu cintailah Ibu Pertiwi dengan sungguh-sungguh. Untuk mewujudkan rasa cinta adalah dengan menyumbangkan apa yg kita punya dan bisa. Jika dilandasi rasa cinta dan kasih sayang pada pertiwi maka yang ada hanya menjaganya. Jadi mantra gula klapa adalah doa untuk ibu pertiwi.

Latihan kita berjalan dua bulan. Ada metode yang saya temukan untuk membedah karya ini agar orang biasapun bisa bermain di panggung serius dengan hasil yang baik yaitu pendekatan metode Mandala. Yaitu membangun kesadaran dan kepekaan dalam mencapai penyatuan makro kosmos dan mikro kosmos atau tubuh menyatu dengan semesta. Kekuatan dan kesadaran dalam tubuh juga dikondisikan.

Dalam latihan tentu kendalanya banyak sekali yang bersifat teknis maupun tidak teknis. Tapi satu hal mereka harus dibangkitkan semangatnya. Dari semangat yang pantang menyerah itu segala kendala bisa diselesaikan.

Dalam cerita Mantra Gula Kelapa adalah doa pada ibu Pertiwi. Doa yg ditembangkan dengan cinta. Dan kita tahu betul bahwa negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah majemuk dan beragam. Oleh karena itu kita mengambil slogan Bhinneka Tunggal Ika yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu dari mPu Tantular. Jangan mencari perbedaan tapi carilah persamaannya. Dengan cinta kita menjaga pertiwi dengan perbedaannya. Bung Karno pernah berpidato…. kau punya bunga apa hai pemuda-pemudi Indonesia, kau punya Bunga Melati, sumbangkan kepada konde Ibu Pertiwi dan seterusnya. Itu juga yg memotifasi saya dalam membuat karya ini.

Apa yg bisa kita sumbangkan pada Ibu Pertiwi? Kita bisa membuat pertunjukkan buatlah pertunjukkan yang bagus dan indah untuk membangun dan menstimulasi sebuah peradapan. Makanya kami berpegang pada prinsip pertunjukkan yaitu, tontonan, tuntunan, tatanan. Tidak hanya hiburan semata tapi memberikan pesan moral agar terjadi peradapan yang mengacu pada tanah dan air yang kita injak dan minum, jelasnya.

Pujiani Triplek sebagai pemeran utama menceriakan, sebagai peran utama saya mendapat kepercayaan dari seorang koreografer, merasa senang bahwa semua orang tahu kapasitas beliau sudah diakui secara umum oleh masyarakat tari secara nasional maupun internasional.

Pengalaman jadi peran utama sebagai Ibu Pertiwi atau Dewi Tanah campur aduk ada rasa was-was, khawatir jadi satu. Kebetulan saya main bersama pemain-pemain pemula semua dikatakan teman-teman bukan dari penari profesional. Dan Saya harus berpasangan dengan seorang yang belum mengenal dunia tari sama sekali dalam event seperti ini jadi masih harus momong istilahnya. Sebetulnya bebannya cukup berat, kita juga waktu latihan sama para penandu Ibu Pertiwi tidak pernah komplit selalu berganti orang sehingga untuk mencari momen yang tepat untuk mendarat juga susah, tapi kenyataannya alhamdulillah di hari pertunjukkan kita berhasil. Saya juga sangat bahagia dan bersyukur.

Mengapa saya tertarik dengan pertunjukan itu? Alasannya jelas sekali karena para penari dari mana-mana datang ke ISI untuk mengisi acara itu, dan kita bisa menjalin silaturahmi dengan para penari, para seniman di seluruh nusantara ini. Menari di momen 24 jam Solo menari, tidak semua orang mendapat kesempatan, jadi kita termasuk orang-orang yang beruntung, kita diberi waktu dan kesempatan dalam pertunjukan tersebut. Dalam peran itu saya sebagai seorang Ibu pertiwi atau bidadari bisa dikatakan seperti itu yang selalu ngayomi, berwibawa dan gerakannya halus tidak seperti penari yang lain dan Ibu pertiwi itu istilahnya Dewi Tanah, jelasnya.

Ito Tawadhu, koordinator pertunjukan menerangkan, pertunjukan Mantra Gula Kelapa adalah salah satu spirit dari peradaban Nusantara terlebih dan kontek budaya dan tradisinya dalam pertunjukan ini para penggarap dan pemain memaparkan suatu peristiwa keadaan bangsa yg carut marut salah satunya masuknya modernitas sehingga ini salah satu nilai atau gagasan dari pertunjukan ini. Terlebih para pemain yg notabene dari berbagai profesi sehingga pertunjukan Mantra Gula Kelapa ini menjadi utuh.

Kendala intensitas dan konsisten latihan yang sedikit terhalang karna para pelaku harus benar-benar diberi arahan terus-menerus karena dari keseluruhan pemain adalah bukan seorang performance. Walaupun demikian, semua para pemain turut gotong-royong dan bekerja sama mengatasi kendala tersebut.

Harapan dari pertunjukan ini semoga kelak para pelaku dan semua crew dalam pertunjukan ini bisa mendapatkan pelajaran yang berharga terutama dalam wilayah wawasan dan paham sebagai performance yang baik. Karena sebuah kesenian muncul dari diri masing-masing pelakunya. Tujuan ke depannya masih ada lagi proses bersama atau pengembangan terhadap pertunjukan mantra gula kelapa dengan prespektif yg berbeda pula, terangnya. (Aryadi)