Menjadi Guru yang Menginspirasi: Strategi Menanamkan Budi Pekerti Berdasarkan Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
Oleh: Rita Nova Ardhiani
Mahasiswa Magister Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Di tengah derasnya arus informasi dan perubahan zaman yang begitu cepat, pendidikan karakter menjadi fondasi yang tak boleh diabaikan. Banyak anak hari ini pandai dalam berhitung, piawai menggunakan teknologi, namun masih kesulitan berkata sopan, bersikap empati, atau menghargai perbedaan. Ini menjadi tugas besar dunia pendidikan: bagaimana membentuk generasi cerdas sekaligus berakhlak mulia? Jawabannya dapat kita temukan dalam pemikiran tokoh besar pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Sebagai Bapak Pendidikan Nasional, beliau menekankan bahwa pendidikan bukan hanya tentang kecerdasan intelektual, tapi juga tentang membentuk kepribadian, membangun karakter, dan menuntun anak menjadi manusia yang merdeka lahir dan batin.
Pendidikan Itu Menuntun, Bukan Menggurui
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan sejati adalah proses menuntun. Anak-anak bukanlah wadah kosong yang harus diisi, melainkan individu yang memiliki potensi kodrati yang perlu dikembangkan secara alami. Dalam proses ini, guru berperan sebagai pamomong atau pendamping yang penuh kasih sayang, sabar, dan menghargai kodrat serta kehendak anak. Guru tidak mendikte, melainkan membimbing dan menuntun dengan hati. Konsep ini dirangkum dalam Trilogi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: Ing ngarsa sung tulada (di depan memberi teladan), Ing madya mangun karsa (di tengah membangun semangat), dan Tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan dan kepercayaan). Pendidikan juga harus berpijak pada Tripusat Pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya merupakan lingkungan yang saling melengkapi dalam membentuk karakter anak. Di antara ketiganya, guru memiliki peran penting sebagai penghubung nilai-nilai luhur agar terinternalisasi kuat dalam diri peserta didik.
Apa Itu Budi Pekerti?
Budi pekerti menurut Ki Hadjar Dewantara bukan sekadar sopan santun. Ia mencakup cipta (pikiran), rasa (perasaan), dan karsa (kemauan). Jadi, seseorang yang berbudi pekerti baik adalah orang yang berpikir jernih, memiliki empati, dan mampu mengarahkan kehendaknya untuk kebaikan. Pendidikan budi pekerti tidak diajarkan seperti mata pelajaran biasa. Ia dibentuk melalui keteladanan, pembiasaan, suasana lingkungan, dan relasi yang hangat antara guru dan murid. Di sinilah pentingnya strategi guru yang bukan hanya mentransfer ilmu, tapi juga membentuk watak.
Strategi Menanamkan Budi Pekerti: Belajar dari Praktik Nyata
Guru menjadi sosok sentral dalam membentuk karakter siswa melalui tindakan nyata yang mencerminkan nilai-nilai luhur melalui berbagai macam strategi. Strategi pertama adalah memberi teladan (Ing Ngarsa Sung Tulada). Guru menjadi role model yang secara langsung diamati dan ditiru oleh siswa. Dalam praktiknya, guru membiasakan diri menyapa siswa dengan senyum dan salam, menunjukkan kepedulian kepada mereka yang mengalami kesulitan, serta bersikap adil dan jujur tanpa membeda-bedakan. Perilaku guru yang penuh keteladanan ini secara alami ditiru oleh siswa, seperti berbicara sopan, menjaga kebersihan, hingga menunjukkan sikap empati terhadap teman.
Strategi kedua adalah membangun semangat belajar (Ing Madya Mangun Karso). Di tengah proses pembelajaran, guru berupaya menciptakan suasana yang menyenangkan dan kontekstual. Cerita-cerita inspiratif, diskusi tentang nilai-nilai kehidupan, dan kegiatan kolaboratif seperti kerja kelompok dimanfaatkan untuk menyisipkan pesan moral. Penguatan dan pujian terhadap perilaku positif juga diberikan untuk membentuk motivasi intrinsik siswa. Dengan cara ini, pembelajaran menjadi ruang hidup bagi tumbuhnya rasa tanggung jawab, kerja sama, dan rasa ingin tahu yang tinggi.
Strategi ketiga dan keempat adalah memberikan dorongan kemandirian (Tut Wuri Handayani) dan melibatkan keluarga serta lingkungan sekitar. Guru memberikan kepercayaan kepada siswa untuk mengambil peran sebagai pemimpin kelompok, petugas kelas, atau perwakilan dalam kegiatan sosial. Siswa juga didorong berpikir mandiri, mengambil keputusan, dan menyelesaikan masalah dengan bimbingan yang membangun. Di sisi lain, pendidikan karakter diperkuat melalui kerja sama dengan orang tua dan masyarakat. Guru rutin berkomunikasi dengan wali murid, mengajak mereka dalam kegiatan sekolah, dan membuka ruang interaksi siswa dengan lingkungan melalui kegiatan sosial. Hal ini memastikan bahwa nilai-nilai budi pekerti tidak hanya diajarkan di sekolah, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di rumah dan masyarakat.
Tantangan dan Solusinya
Menanamkan budi pekerti tentu bukan tanpa tantangan. Beberapa guru mengakui adanya kendala yang cukup signifikan, seperti latar belakang keluarga siswa yang kurang mendukung pendidikan karakter di rumah, keterbatasan waktu akibat padatnya kurikulum akademik, serta pengaruh lingkungan luar yang seringkali tidak sejalan dengan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah. Situasi ini menjadikan tugas guru dalam membentuk karakter siswa menjadi lebih kompleks dan menuntut strategi yang tepat. Namun demikian, tantangan-tantangan tersebut tetap dapat diatasi melalui pendekatan yang fleksibel dan personal. Guru dapat melakukan bimbingan secara individu bagi siswa yang membutuhkan perhatian khusus, mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam setiap mata pelajaran, serta membangun kultur sekolah yang positif dan kondusif untuk tumbuhnya sikap dan perilaku baik. Dengan kesabaran dan konsistensi, nilai-nilai budi pekerti tetap dapat tertanam kuat meskipun di tengah berbagai keterbatasan.
Guru Bukan Sekadar Pengajar, Tapi Penuntun Hidup
Strategi menanamkan budi pekerti yang berbasis pemikiran Ki Hadjar Dewantara terbukti relevan dan aplikatif. Guru bukan hanya pentransfer ilmu, tetapi juga pamomong—pendamping yang membentuk manusia. Di era serba digital seperti sekarang, kita butuh lebih banyak guru yang bukan hanya hebat di depan kelas, tapi juga mampu membentuk karakter anak di dunia nyata. Guru yang tidak hanya mengajar, tapi juga menginspirasi. Guru yang tidak sekadar memberi tahu, tapi menuntun murid untuk menjadi manusia yang utuh, cerdas, berempati, dan bertanggung jawab. Karena mendidik itu bukan mencetak nilai tinggi, tapi menanamkan nilai hidup. **
Editor: Cosmas