Melacak Bekas Rumah Ki Gedhe Sala dan Pohon Sala
Solo, Poskita.co
Liburan akhir pekan dan cuti bersama Waisak dapat dimanfaatkan dengan kegiatan positif dan kreatif. Publik bisa mengisi waktu liburan melalui acara blusukan sejarah. Solo Societiet, komunitas sejarah-budaya di Surakarta, pada Senin (12/5) mengadakan jelajah sejarah berjudul “Heritage of Surakarta”.

Rute jelajah di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta. Perhelatan yang diikuti puluhan peserta dari berbagai daerah dan lintas umur itu berlangsung meriah. Banyak titik historis disambangi dengan jalan kaki, antara lain alun-alun, meriam, bangsal witono, kori brojonolo, dalem pugeran, kantor Pusdiktop Kodiklat TNI AD, dan patung Paku Buwana VI.
Dari sekian titik, obyek yang kiranya menarik perhatian peserta ialah bekas rumah Ki Gedhe Sala III dan pohon Sala kuno yang tersisa di Kota Bengawan. Dengan berbekal peta lama dan sumber lokal, dikisahkan tempat tinggal keturunan Ki Gedhe Sala yang berada di dekat Sitinggil. Diketahui bahwa Ki Gedhe Sala merupakan cikal bakal daerah yang kini bernama Surakarta. Sebelum ibukota kerajaan Mataram Islam pindah dari Kartasura ke Desa Sala, kawasan Sitinggil dipakai untuk hunian Ki Gedhe Sala III. Sementara itu, Ki Gedhe Sala I dan Ki Gedhe Sala II bertempat tinggal di sekitar kampung Sangkrah.
“Selama ini, yang diketahui hanya makam Ki Gedhe Sala yang terletak di timur keraton. Masyarakat kontemporer perlu ditunjukkan dan diajak memahami tokoh pendiri Kota Solo tersebut. Tanpa andil mereka babad alas di masa lalu, tak mungkin tercipta kawasan ini,” ujar Dani Saptoni, ketua Solo Societiet. Panitia kemudian membagikan sketsa lama Desa Sala kepada rombongan jelajah demi memudahkan memahami sejarah kawasan dan tokoh legendaris.
Bersebelahan dengan titik bekas rumah Ki Gedhe Sala III, dijumpai pohon Sala yang rindang. Ia bukan sembarang pohon. Bagi masyarakat lokal, pohon itu laksana monumen untuk menjaga ingatan tentang masa lalu kota. Dalam Babad Sengkala, termaktub penggal cerita sewaktu Pangeran Mangkubumi (kelak Sultan Hamengku Buwono I) sanggup menggulung Adipati Martapura yang mengobarkan kraman (pemberontakan) di Sukowati, ia rehat beberapa jenak di Baturana. Di daerah yang kini terkenal dengan kuliner sate kambing itu, pandangan Pangeran Mangkubumi menumbuk pada sejumlah buruh menebang kayu pohon Sala.
Batang kayu begitu kuat, kemungkinan besar dipakai untuk membangun rumah, bikin perahu serta memperbaiki kapal. Keyakinan mulai tumbuh tatkala menyimak berita lama dan sketsa yang terlampir dalam Babad Sala bahwa Baturana tempo dulu dialiri Bengawan Semanggi. Transportasi jalur air membutuhkan kapal dan perahu di bandar Semanggi dengan jaringan Jawa Timur hingga Wedi, Klaten. Kenyataan itu dijumpai pula dalam kehidupan rakyat di Negeri Gangga, India yang memakai pohon Sala untuk kepentingan serupa.
Agar tidak monoton, Solo Societeit mengemas acara dengan kreatif. Peserta diajak keliling museum keraton dan belajar miru jarik. “Kegiatan kali ini terbilang istimewa, karena bertepatan dengan perayaan hari ulangtahun Solo Societeit yang ke-7. Di dalamnya tidak lupa diikuti potong kue dan meniup lilin secara simbolis,” ungkap Heri Priyatmoko, sejarawan yang juga pemrakarsa lembaga nirlaba itu. “Kami ingin membagi kebahagiaan bersama publik. Tanpa mereka, kami juga bukanlah siapa-siapa. Rasa haus masyarakat akan pengetahuan budaya dan sejarah lokal, mendorong kami untuk konsisten berkegiatan sosial,” imbuh Heri sebelum menyerahkan potongan kue ke perwakilan Keraton Kasunanan dan sejumlah peserta.
“Kegiatan positif ini mestinya rutin digelar, karena memang selalu dinantikan. Model pembelajaran dan transfer pengetahuan yang dilakukan Solo Societeit menjawab persoalan bahwa belajar sejarah di luar kelas ternyata mengasyikkan. Juga selalu ada materi yang baru atau –dalam bahasa anak muda kekinian—menyajikan hidden gem. Bisa banget untuk bahan konten,” ungkap Adia Prabowo, peserta setia yang juga konten kreator.
“Mumpung liburan, saya mengajak anak dan istri untuk mengikuti napak tilas sejarah ini. Biasanya saya sendiri yang ikut acara Solo Societeit. Banyak pengetahuan yang penting dikenalkan kepada generasi muda sebagai sumber inspirasi dan mengisi konten di media sosial,” komentar Nurul Khawari, mantan aktivis 1998 yang juga pegiat organisasi Muhammadiyah Surakarta.
Di samping tetap bersemangat melayani masyarakat, dalam umur 7 tahun, komunitas nonprofit tersebut secara internal berharap mampu melakukan regenerasi dengan baik. Juga menciptakan para pendongeng sekaligus periset muda yang tangguh dan terlatih. Dari segi ini, komunitas berfungsi pula sebagai kawah candradimuka bagi para anggotanya untuk meningkatkan kompetensi.
Cosmas Gun/*