Eko, Pemantik Kewarasan

Spread the love

Ilustrasi foto: Afnan Malay

Oleh : Afnan Malay

[Aktifis 80an, penulis “Sumpah Mahasiswa”]

31 Maret silam, di pojokan Sleman, ada peristiwa anomali. Orang-orang berdikusi layaknya suasana 80-90 an hadir kembali. Setidaknya, acara diskusi buku Eko Sulistyo, “Dari Jokowi Hingga Pandemi: Esai-Esai Politik dan Kebudayaan” yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), berhasil menduplikasi antusiasme rata-rata peserta diskusi seolah mereka masih jaman mahasiswa. Betul, lebih belakang dari situasi ketika untuk mengartikulasikan gagasan, pembicara terbantukan oleh sejumlah benda elektronik InFocus, layar proyektor: rapi, teratur, tapi juga kering.

Diskusi kemarin mengembalikan impresi yang hilang, dalam diskusi-diskusi kekinian yang cenderung kaku. Rileks habis pokoknya, mendengar pembicara sambil peserta leluasa membayangkan maksudnya juga mungkin mempersiapkan penyangkalan. Sesekali ‘diganggu’ cletuk-cletukan peserta yang memancing tanggapan spontan para pendikusi.

Eko Sulistyo

Saya, pernah diajak-ditantang Abidin Fikri, untukcoba menghidupkan kembali ‘ritual akademis luar kampus’ ini yang tumbuh sangat subur di Jogja, puluhan tahun silam. Satu yang paling lejen, di antaranya, dipandu Bang Fauzi Ridjal di Yayasan Hatta.

Acara diskusi buku Eko semacam simulasi dan pembuktian, ternyata, kerinduan Abidin dan mungkin banyak orang tentang diskusi-diskusi secara langsung tatap muka bersama mengasah pikiran tak cuma di ruang kesendirian dan kemayaan: tetap enak, dan perlu. Pada diskusi buku Eko, seolah-olah pandemi pun sudah berhasil ditaklukan. Bukan karena mengabaikan prokes, kalau itu panitia cukup sigap dan peduli. Tapi, bila ukuran keberhasilan pementasan sebuah acara, jempol dua layak diacungkan.

Diskusi hidup. Sanggah menyanggah berjalan. Arie Sujito, salah satu pembicara. mampu memoderasi pikiran-pikiran liar tidak untuk dijinakan, tetapi diberi godaan untuk melihat dari perpektif yang berbeda. Gendhis Syaris, pembicara yang paling muda, menyampaikan pikiran dan kegelisahan untuk ikut memikirkan negerinya sangat lugas, bernas, juga reflektif. Acara komplet dengan pertunjukan Si Darah Juang, John Tobing, menyanyikan beberapa lagu karyanya. Dan Mas Halim Hade, yang kegairahannya, pantas membuat kita cemburu, tetap terjaga.

Secara khusus, harus diberikan tepuk tangan untuk Eko. Bukan hanya karena telah memagnetkan dirinya untuk hadirnya kawan-kawan: Ons Untoro, Raziku Amin, Yuni Satya Rahayu, Moh Thoriq, Jumali Ki Wolak-Walik, Isti Nugroho Agus Istijanto, Damairia Pakpahan, Ben Antono, Marlin Dinamikanto, R. Toto Sugiarto, Yulianto Sigit Wibowo, Odi Shalahuddin, Eko Winardi, Supriato Antok, Marjana Hari Santosa, Tass bukan kantor berita, dan banyak lagi. Tetapi, Eko mampu merawat kegelisahannya dan membagikan kepada kawan-kawan: kegelisahan untuk melihat dan sebisanya berkontribusi untuk Indonesia yang kebih ok. Kontribusi itu, misalnya, bisa saja dengan pisuhan ala Jumali, kwkwkw: agar kewarasan tetap terjaga.

Kalau Eko tidak gelisah, tentu, ia sudah lama berhenti menulis. Di tengah kenyamanan yang dirasakannya, Eko masih merawat kegelisahan untuk menyuarakan yang dirasakannya: mengarikulasikan perspektifnya. Di dunia perlistrikan yang baru, Eko pun mulai nyetrum.

Sebagai warga Jogja, hehe, saya berterima kasih sekali, Bung sudah memantik kembali kewarasan yang nyaris punah: melalui ruang-ruang diskusi. Sukarela-sikacita mengasah nalar bersama atau, menajami pikiran, dan dengan gembira pula. Ingat, kebahagiaan kecil itu perlu… foto: internet

Editor: cosmas