Javanologi UNS Sarasehan Nilai dan Kearifan Lokal dalam Naskah Jawa

Spread the love

Solo, Poskita.co – Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah bekerja sama dengan Javanologi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta  menyelenggarakan Sarasehan Sastra dan Budaya: Nilai dan Kearifan Lokal dalam Naskah Jawa. Kegiatan tersebut  diselenggarakan di Javanologi, UNS, Jumat (10/11/2023).

Hadir sebagai pembicara Prof. Dr. Heddy Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil. (FIB UGM), Prof. Sahid Teguh Widodo, M.Hum., Ph.D.  (Javanologi UNS), Bandung Mawardi (Bilik Literasi, Karanganyar)  dan Rendra Agusta (Sraddha Institute, Surakarta) serta dipandu oleh moderator  Hary Sulistyo, S.S., M.A. dan Sri Lestari, S.Pd., M.Pd.

Hary Sulistyo, S.S., M.A(moderator) Prof. Sahid Teguh Widodo, M.Hum., Ph.D dan Prof. Dr. Heddy Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil  

Sahid Teguh Widodo mengangkat tema Model Konservasi Sosial  dalam Serat Centhini. Serat Centhini (Suluk Tambangraras Amongraga) merupakan salah satu karya sastra Jawa kuno paling terkenal dari abad ke-19 adalah Serat Centhini,   ditulis pada tahun 1814 M atas permintaan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, putra Sunan Pakubuwana IV, sebelum naik takhta menjadi Raja Pakubuwana V.  Serat Centhini digubah oleh tiga penyair besar Surakarta: (1) Raden Ngabehi Ranggasutrasna, (2) Raden Ngabehi Yasadipura II, dan (3) Raden Ngabehi Sastradipura.

“Serat Centhini memuat berbagai bentuk ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kearifan hidup masyarakat Jawa masa itu, antara lain: ilmu tentang lingkungan hidup, pengetahuan tentang flora dan fauna, hingga ilmu dan ngelmu sosial ekonomi, dan pengetahuan spiritual Jawa yang dipengaruhi oleh faham Hindu, Budha, dan Islam,” ujar Sahid Teguh Widodo.

Dijelaskan lebih lanjut, salah satu isi Serat Centhini yang menonjol adalah model konservasi lingkungan social yang wujud sebagai citra budaya estetis Jawa yang dilukis sebagai “surga kecil” yang subur Makmur dengan budaya yang tinggi.

Secara umum konservasi sosial dapat diartikan sebagai upaya untuk melestarikan atau menjaga kekayaan sosial dan budaya , yang mencakup kearifan lokal, atau nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat Jawa, termasuk menjaga dan mengelola lingkungan sosial di wilayah tersebut.  

“Pada konteks ini, Serat Centhini mengajarkan konsep keseimbangan dan keselarasan antara diri (self) manusia dengan alam badan, alam roh, alam ketuhanan, dan Lingkungan Hidup (jagad gedhe dan Jagad Cilik),” ucap Sahid Teguh.

Pembicara  kedua pada sesi pertama yaitu Prof. Dr. Heddy Shri-Ahimsa Putra, M.A., M.Phil., mengawali pemaparan materinya mengenai perlunya wisipan “ni” pada penggunaan bahasa Jawa. Heddy memberi contoh adanya istilah berwisata yang bermakna orang yang datang ke lokasi wisata. Lalu, kata apa yang tepat untuk masyarakat yang dikunjungi oleh para wisatawan?

“Tentu penggunanaan istilah “diwisatai” kurang berterima dan bisa bermaka negatif apabila ada pemenggalan yang kurang tepat. Saya memberikan masukan adanya sisipan “ni” dengan bentuk kata “winisata” sebagai representasi masyarakat yang dikunjungi oleh wisatawan,” ucap Heddy.

Sebagai seorang guru besar bidang Antropologi Budaya, Prof. Heddy juga menjelaskan konsep bagaimana implementasi bahasa dan pengenalan naskah-naskah lama kepada generasi muda.

“Pengalaman saya dalam belajar bahasa Inggris, banyak ditemukan buku sastra kanon karya pengarang besar yang diperuntukkan untuk berbagai tingkat pendidikan. Dalam konteks Serat Centhini sebagai ensiklopedia Jawa, maka perlu dibuat buku-buku turunan Centhini untuk SD, SMP, SMA dan selanjutnya, sehingga selain mudah dipahami oleh pembaca sasaran, juga memudahkan mereka untuk memahasi isi Serat Centini tersebut,” papar Heddy.

Bandung Mawardi dan Rendra

Bandung Mawardi (Bilik Literasi, Karanganyar), membawakan tema Museum dan Katalog. Menurut Bandung Mawardi,  nasib naskah-naskah makin ditentukan segelintir orang gara-gara membutuhkan pengetahuan dan kaidah tak mudah dipelajari. Di Surakarta, usaha mengurusi naskah, benda cetak, dan beragam pusaka dilakukan oleh Radya Pustaka.

“Pada 1960,  dalam jaman pergolakan ini perlu Radya Pustaka berusaha menyusun suatu buku yang berisi pandangan bangsa kita tentang kesusilaan dan dapat dibaca dengan mudah oleh anak-anak kita di sekolah. Murid-murid di SMP dan SMA memerlukan pelajaran kesusastraan yang tersusun baik agar mereka dapat merasakan dan menyelami keindahan-keindahan dalam kesusasteraan kita. Buku-buku seperti Arjuna Wiwoho, Dewa Rutji, Makuta Rama, Sanasunu, dan lain-lain perlu dijadikan bacaan anak-anak kita. Kesenian asli kita seperti seni gamelan, seni pedalangan, seni tari, seni suara, perlu dipelihara dan dipelajari untuk menimbulkan kemungkinan, disesuaikan dengan kehendak jaman,” ujar Bandung Mawardi mengutip  Sutedjo Brodjonegoro.

Rendra Agusta, Sraddha Institute Surakarta membawakan “Mencari yang Tersisa: Penelusuran Ulang Skriptoria Pegunungan Jawa (MM),  studi berbasis kolofon naskah-naskah skriptorium Merapi-Merbabu ini menjadi langkah awal untuk memulai kajian lintas lain terkait arkeologi, etnografi, tradisi lisan, dan sejarah masyarakat pegunungan Jawa secara komprehensif.

Cosmas