Kearifan Lokal di Tengah Pandemi Global

Spread the love


Oleh: Nafsul Mutmainah, S.Pd
Guru Mata Pelajaran Sosiologi, SMAN 1 Magelang

Keragaman bangsa Indonesia dari sisi etnis, suku, budaya, dan lainnya sebenarnya menunjukkan adanya karakteristik dari setiap suku bangsa yang ada di Indonesia. Pada saat yang sama, kekhasan itu pada umumnya memiliki kearifan yang pada masa-masa lalu menjadi salah satu sumber nilai dan inspirasi dalam kehidupan mereka.
Kearifan lokal itu tentu tidak muncul serta merta , tapi berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Keterujiannya dalam sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan mereka.
Dalam Kamus Inggris Indonesia John M.Echols dan Hassan Sadily, kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) yang berarti kebijaksanaan dan lokal (local) yang berarti setempat. Secara umum makna local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Diera global seperti saat ini, penyebaran budaya dari luar sangat mudah dengan didukung kemajuan sarana transportasi dan komunikasi, termasuk penyebaran penyakitpun juga sangat cepat seperti munculnya virus baru yaitu covid -19 atau yang biasa kita sebut corona. Penyakit ini tidak hanya menjadi wabah lokal melinkan sudah menjadi wabah global yang hampir semua Negara di dunia mengalami pandemi ini. Indonesia terkenal memiliki beragam budaya dan tradisi yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat. Dalam mencegah berbagai macam bahaya, masyakakat Indononesia memiliki tradisi yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal , antara lain :
Padasan
Di Indonesia kebiasaan mencuci tangan sejatinya telah dilakukan oleh para orang tua di zaman dahulu. Hal ini mereka lakukan setelah seharian melakukan aktivitas di luar dan saat akan masuk ke dalam rumah. Jauh sebelum menjadi imbauan pemerintah setelah wabah corona merebak, tradisi Jawa memiliki kearifan lokal yang bernama padasan yakni sebuah gentong besar yang di dalamnya berisi air untuk membasuh anggota tubuh seperti tangan, kaki, dan wajah sebelum masuk rumah. Pada zaman dahulu, benda tersebut biasanya diletakkan di bagian depan tempat tinggal.
Jika dikorelasikan dengan imbauan pemerintah untuk mencuci tangan guna mencegah penyebaran Covid-19 pada saat ini, kearifan lokal seperti padasan telah mengajarkan lewat kebiasaan para orang tua di masa lalu. Bagaimana cara menjaga kebersihan pada diri sebelum masuk ke dalam rumah agar jangan sampai kotoran (virus dan sebagainya) ikut terbawa dan ini merupakan kebiasaan baik yang harus kita budayakan dan diwariskan secara turun-temurun.

Gotong Royong
Gotong royong merupakan salah satu nilai kearifan lokal di bumi Indonesia ternyata masih dapat kita temukan, terutama di daerah pedesaan yang jauh dari hiruk pikuknya kota. Namun kearifan lokal ini mulai meredup, kepentingan umum yang dulunya menjadi sandaran hidup bersama perlahan namun pasti mulai terkikis oleh nilai-nilai individual. Derasnya laju modernisasi di berbagai bidang telah memberikan dampak yang cukup signifikan terutama terkait dalam hal kebersamaan. Rasa kebersamaan di dalam masyarakat berubah menjadi rasa individualistik, sikap acuh terhadap lingkungannya semakin menonjol di setiap individu. Namun tradisi gotong royong ini perlu kita budayakan kembali di era sekarang karena memiliki banyak manfaat.
Pandemi Corona merupakan ancaman bersama yang harus dilawan secara bahu-membahu dan gotong royong. Oleh sebab itu, melawan virus Corona tak bisa hanya bertumpu pada pemerintah semata, tapi juga dibutuhkan peran aktif swasta, ormas, parpol, dan masyarakat. Masyarakat dapat bahu membahu menyediakan sembako dan sayuran hingga buah kepada mereka yang saat membutuhkan seperti membuat warung gratis yang siapapun bisa mengisi dan mengambil bahan-bahan yang diperlukan masyarakat, ataupun bergotong royong dalam menjaga keamanan lingkungan dari pendatang dari luar. Gotong royong merupakan simbol solidaritas dan ketangguhan menghadapi kesulitan ekonomi dari masyarakat pedesaan sejak zaman penjajahan dulu hingga sekarang yang perlu kita pertahankan dan wariskan pada generasi penerus karena memiliki nilai-nilai kepedulian sosial yang tinggi.

“Jamu”
Minum jamu merupakan warisan budaya cara hidup sehat berbasis kearifan lokal. Warisan merupakan penyimpanan pengaruh psikologis dari masa lalu yang tetap hidup dalam masyarakat. Jamu di dalamnya mengandung pengetahuan lokal (local knowledge) yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan masyarakat Indonesia secara turun temurun dan terus berkembang hingga sekarang. Dahulu, minum jamu hanya dilakukan orang desa, tetapi sekarang minum jamu sudah merambah orang-orang di kota. Jika dahulu minum jamu menjadi cara hidup sehat, tetapi sekarang minum jamu sebagai gaya hidup (life style) masyarakat perkotaan.
Apalagi pada saat situasi pandemi seperti saat ini, menghidupkan kembali tradisi lama dengan minum jamu untuk meningkatkan imunitas tubuh sangat bermanfaat sekali. Karena menurut hasil penelitian kandungan yang terdapat dalam empon-empon seperti jahe, kunir, temu lawak, dan lainnya sangat kaya akan zat dan vitamin yang berguna untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Cara pengolahan yang lebih modern dan penyajian yang lebih menarik akan membuat jamu semakin banyak peminatnya mulai dari bayi, anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, maupun orang-orang yang sudah lanjut usiapun aman mengkonsumsi jamu.

“Dede”
Ditengah kecemasan global tentang wabah virus corona (covid-19), berbagai upaya pecegahan dilakukan. Salah satu upanyanya yakni dengan memperkuat daya tahan tubuh atau imun. Diantaranya dapat dilakukan untuk menjaga daya tahan tubuh adalah berjemur di bawah sinar matahari atau orang Jawa biasa menyebutnya dengan istilah dede, untuk mendapatkan vitamin D. Pada zaman dahulu orang jawa biasa membawa balitanya untuk berjemur dibawah sinar matahari setiap pagi.
Fenomena berjemur di pagi dan sore hari menjadi pemandangan baru pada Pandemi Covid-19 di Tanah Air. Kebiasaan ini semakin banyak dilakukan warga sebagai upaya untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Jika tubuh kekurangan vitamin D pertumbuhan menjadi terhambat dan tubuh renan terinveksi virus maupun bakteri. Waktu berjemur paling efektif adalah saat bayangan tubuh lebih pendek dari tinggi badan, yakni sekitar pukul 10,00 sampai 15.00 WIB dengan lama berjemur sekitar 10 hingga 15 menit.
Ternyata kebiasaan dede ini diwariskan secara turun temurun sampai saat ini, kearifan lokal yang dimiliki masyarakat kita ternyata memiliki banyak manfaat. Sebenarnya masih banyak tradisi yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang dapat kita terapkan kembali, yang diwariskan oleh leluhur kita dalam menghadapi kehidupan agar terjadi harmonisasi dan keseimbangan hubungan kita dengan Tuhan, manusia, dan alam. Semoga pandemi ini segera berakhir dan kita semua dapat beraktifitas kembali seperti biasa. ***
Editor: Cosmas