Menggugat Ruang dan Layanan Publik Solo

Spread the love

SOLO, POSKITA.CO – Solo jantungnya Jawa banyak berubah. Jalan didesain lebih mengakomodir kendaraan pribadi. Penghapusan jalur lambat sudah terjadi. Sebagian citywalk untuk parkir. Solo kota Budaya sudah mulai redup.
“Ruang untuk beraktifitas dan nyaman adalah ruang publik. Solo butuh ruang publik yang workable,” demikian salah satu lontaran pemikiran dari Septina Setyaningrum, salah satu pembicara bertema “Ruang dan Layanan Publik” bersama Ginda Ferachtriawan dimoderatori Fuad Jamil, Kamis (27/08) di Omah Sinten.


Sayang, lanjut Septina, ruang publik semakin tergerus. Bahkan, citywalk pun jadi korban untuk dijadikan ruang parkir. CFD pun tidak mampu menyediakan ruang publik bagi warganya untuk berekspresi.
“Solo masih mengandalkan golden triangle: Kasunanan, Mangkunegaran dan Pasar Gedhe. Museum Keris salah satu daya tarik, menampilkan kemampuan Mpu dalam metalurgi,” jelas Septina.
Fuad Jamil, moderator, menyatakan, transportasi adalah jaringan. Adanya flyover tidak bisa menyelesaikan masalah begitu saja. Soal heritage, pusaka hanya nama hotelnya.
Salah satu pemantik diskusi lainnya, Ginda Ferachtriawan, mengaku Solo sebagai kota Budaya mulai meredup. Faktanya, hampir setiap kecamatan sudah ada gamelan, tapi tak ada suara gamelan.
“Tiap kelurahan memiliki gamelan, tapi saat masyarakat ingin mendengarkan suara gamelan bingung harus kemana,” kata Ginda Ferachtriawan.
Diskusi berlangsung gayeng, dan banyak masalah maupun masukan demi kemajuan kota Solo. Turut hadir berbagai kalangan profesional, pemikir, maupun aktivis yang peduli kemajuan kota Solo.
COSMAS