Belajar dari Tragedi Kemanusiaan di Surabaya

Spread the love

Septiaji Eko Nugroho

Pegiat Literasi Digital

 

Almarhumah DAW (39) adalah driver OJOL yang menjadi korban penjambretan dan mengalami patah tulang sehingga masuk rumah sakit. Pelaku penjambretan ZA yang masih berusia 19 tahun juga sudah ditangkap oleh polisi.

Di RS swasta pertama yang menerima DAW, dilakukan rapid test, hasilnya non reaktif. Namun hasil dari CT Scan, paru-parunya memiliki corak yang mirip dengan penderita COVID-19 sehingga dirujuk ke RSUD Soetomo dengan status PDP dan dilakukan swab test.

Seharusnya DAW dijadwalkan operasi akibat kecelakaannya, namun keburu meninggal, sebelum hasil swab test keluar. Pihak rumah sakit memutuskan untuk melakukan pemakaman dengan protap COVID-19 karena status pasien PDP. Namun pihak keluarga dan komunitas OJOL memaksa untuk membawa pulang jenazah, karena yakin ia korban kecelakaan, bukan karena COVID19, apalagi hasil rapid testnya non reaktif.

Pihak rumah sakit berusaha menjelaskan bahwa kepastian positif atau tidak harus menunggu hasil swab test, namun keluarga dan komunitas OJOL tetap berkeras membawa pulang dan memakamkan tanpa protap COVID19. Setelah itu baru keluar hasil swab yang menyatakan bahwa DAW positif COVID19.

Tentu peristiwa ini sangat menyayat naluri kemanusiaan kita, di tengah perjuangan berat kota Surabaya yang masih menjadi salah satu hotspot, juga ketika opini publik sedang dimainkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab dengan menyebarkan narasi hoaks dan teori konspirasi bahwa COVID19 ini rekayasa, ataupun menjadi ladang bisnis para tenaga kesehatan.

Dalam perspektif saya, baik para tenaga kesehatan, petugas ambulans, bahkan keluarga dan komunitas ojol yang memaksa membawa pulang jenazah, semuanya adalah korban dari kekalutan informasi dan emosi yang tengah melanda kita. Keluarga dan para driver ojol yang sempat emosi sehingga tentu ada porsi kesalahan, mereka pun dihantui ketidakpastian. Apalagi driver yang pekerjaannya berkorelasi dengan tingkat kepercayaan pelanggan kepada mereka.

Ironinya, hari yang sama DAW dimakamkan, dokter RSUD di mana DAW sempat dirawat, juga meninggal karena COVID19. Pandemi ini jelas merugikan baik masyarakat maupun tenaga kesehatan, sehingga jangan sampai kita terhasut oleh narasi hoaks yang ingin mengadu domba keduanya.

Saya berharap semua pihak butuh untuk melakukan refleksi diri. Perkataan atau perbuatan apa yang telah dilakukan yang ternyata merugikan orang lain dan diri sendiri. Informasi apa sih yang sempat dipercaya namun ternyata sesat dan justru membahayakan banyak orang.

Tanpa adanya saling mawas diri, maka saya khawatir kejadian seperti ini akan kembali terulang, dan berpotensi memantik konflik sosial.

Dan saya berharap betul, para pemangku kepentingan di Surabaya dan kota-kota lain yang memiliki potensi konflik serupa, bisa menyatukan para tokoh masyarakat, agamawan, pendidik, untuk satu suara dalam hal ini.

Jangan termakan dengan informasi sesat yang menyebabkan kita salah mengambil keputusan. Keputusan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain, yang akhirnya disesali, meskipun dari kecil kita sudah diajari dengan pepatah.

Sesal kemudian tidak berguna.