Menciptakan Sekolah “Merdeka Belajar”

Spread the love

OPINI

Oleh:  Marjito

Guru SDN 03 Jatiwarno

   Marjito        foto:dok pribadi

Beberapa waktu yang lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, menjelaskan sebuah konsep belajar yang akan diusung ke dalam dunia pendidikan tanah air. Konsep  yang ditawarkan bernama Merdeka Belajar. Menurutnya, merdeka belajar  sebuah konsep belajar yang berlandaskan kebebasan berpikir. Konsep ini diharapkan menyentuh semua lini pendidikan terutamanya bagi guru dan siswa.

Sejenak mungkin pernah terlintas di pikiran kita adanya  ungkapan sekolah adalah penjara yang nyata. Ungkapan tersebut bisa jadi cukup beralasan, mengingat begitu terbatasnya ruang untuk mengekpresikan dan mengaktualisasikan diri baik untuk guru maupun siswa.

Ruang gerak berpikir guru sebenarnya sudah cukup terbuka dengan adanya kebijakan PKB, Pengembangan Kompetensi Berkelanjutan. Pengembangan Komppetensi Berkelanjutan atau PKB memberikan stimulus kepada guru untuk melakukan berbagai kegiatan yang masuk dalam kategori pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif.

Namun demikian, ternyata ruang berpikir guru dalam PKB ini terasa kurang optimal digunakan oleh guru. Hal ini disebabkan oleh banyak  faktor, salah satunya  beban administrasi sekolah yang begitu kompleks. Kompleksnya administrasi kelas inilah yang mungkin jadi alasan Mendikbud menggulirkan wacana RPP cukup satu lembar.

Menciptakan sekolah yang Merdeka Belajar tentunya bukan perkara yang mudah,  harus melalu berbagai langkah dan terobosan. Misalnya, membuka ruang gerak berfikir, memberi akses untuk mengaktualisasikan serta berekspresi, pembelajaran yang tidak terlalu berorientasi pada perolehan nilai semata.

Pikiran merupakan sesuatu yang sangat berharga, karena pikiranlah yang membedakan manusia dengan makhluk Tuhan yang lain, sekaligus menempatkan manusia pada derajat yang tinggi di antara makhluk yang lain. Sebagai sesuatu yang sangat berharga, sudah sepantasnyalah jika kita memberi ruang gerak yang mewadahi bagi pikiran kita. Upaya memberikan ruang gerak terhadap pikiran ini, dapat dilakukan dengan cara menghapus segala bentuk penindasan dan isolasi  terhadap pikiran .

Tanpa kita sadari, dalam proses pembelajaran selama ini telah terjadi berbagai penindasan terhadap pikiran siswa. Bentuk penindasan ini berawal ketika guru memandang siswa sebagai sebuah bejana kosong, sehingga pembelajaran tak lebih dari transfer pengetahuan untuk mengisi bejana kosong tersebut. Pikiran siswa hanya dianggap seperti bank, wadah, celengan atau sejenisnya yang berfungsi untuk menampung pengetahuan yang diberikan  guru. Pemahaman ini boleh jadi berasal dari pemahaman teori blank slate atau tabula rasa yang tidak utuh, sehingga memandang siswa hanya sebagai kertas kosong semata.

Upaya berikutnya, setelah menghapus penindasan terhadap pikiran adalah membuka isolasi berfikir. Saat ini disadri atau tidak, proses pembelajaran di sekolah banyak yang mengarah pada isolasi pemikiran siswa. Contoh yang sederhana,  pengalaman siswa begitu dibatasi oleh dinding dinding ruang kelas. Siswa jarang diajak bersentuhan langsung dengan dunia nyata dan kejadian nyata di lingkungan kita. Belum lagi ketika kita mencermati kerja otak yang terbatas merekam, mengingat, dan menjawab soal, di situ jelas betapa pikiran siswa begitu terisolasi.

Menciptakan sekolah yang merdeka belajar akan terasa mengena, ketika sekolah memberikan akses yang cukup kepada siswa untuk mengaktualisasikan diri mereka masing-masing. Perlu menjadi sebuah pemahaman jika tidak ada anak yang sama. Setiap anak terlahir dengan karakternya masing masing. Maka ketika sekolah mengusung konsep merdeka belajar, menjadi sebuah keharusan bagi sekolah untuk membuka kran selebar- lebarnya bagi siswa untuk berekspresi dan mengaktualisasikan diri mereka  masing-masing. Setiap anak adalah istimewa, setiap anak adalah juara.

Sekolah dengan konsep merdeka belajar, hendaknya sekolah mau menggeser paradigma nilai sebagai acuan utama untuk mengukur hasil belajar siswa. Selama ini tanpa disadari pembelajaran kita cukup terfokus pada penilaian angka belaka. Tolok ukur keberhasilan proses belajar selalu dilihat dari nilai yang didapat oleh siswa. Assessment yang dirancang selama ini selalu bermuara pada peroleh nilai, entah  nilai ulangan harian, penilaian tengah semester, penilaian akhir semester, US, dan USBN.

Paradigma nilai sebagai parameter keberhasilan siswa dalam belajar terkesan membentuk siswa kurang berkembang. Sebagai contoh siswa telah belajar Bahasa Inggris  selama tiga tahun di SMP,  tiga tahun di SMA, namun ketika diajak berbicara memakai Bahasa Inggris mereka banyak mengalami kesulitan.

Hal ini terjadi karena pembelajaran Bahasa Inggris terfokus pada perolehan nilai dan berkutat pada bagaimana menjawab soal-soal. Bahasa ditempatkan sebagai ilmu pengetahuan bukan sebagai alat komunikasi. Hal seperti ini yang boleh jadi melatarbelakangi munculnya wacana pembelajaran yang relevan.

Sekolah mengusung konsep merdeka belajar memang tidak mudah untuk direalisasikan. Namun demikian, hal ini perlu diperjuangkan untuk mengoptimalkan proses pembelajaran guna menyiapkan generasi muda yang matang secara mental spiritual, memiliki kompetensi yang hebat dan juga berkarakter yang baik. Merdeka belajar menjadi salah satu titian untuk mewujudkan itu semua. (*)

Editor: Cosmas