NU dan Nasionalisme dalam Upaya Meredusir Separatisme dan Disintegrasi Bangsa
Oleh: Arif Syarifuddin, SE
Ketua PC GP Ansor Surakarta
Masih melekat dalam ingatan, tanggal 6 Agustus 2019 KH. Maimoen Zubair, seorang Ulama NU yang dikenal memiliki rasa Nasionalisme yang sangat tinggi meninggalkan kita semua dan menjadi duka Nasional bahkan dunia internasional.
Seminggu kemudian, Nusron Wahid melalui akun Youtube NU Chanel menyampaikan tujuh pesan Mbah Moen sehari sebelum beliau berangkat haji, salah satu pesan beliau bahwa: “NU harus Nasionalis dan Indonesia Harus NU”. Artinya NU harus berbasis nasionalis, dan Indonesia (Nasional) berbasis religius (NU), yang kita pahami bahwa cara keberagaman Indonesia sebagaimana Tata caranya Nahdlatul Ulama.
Dan sebelum menyampaikan hal tersebut, Nusron Wahid terlebih dahulu menceritakan bagaimana Mbah Moen adalah orang yg pertama kali mereinkarnasi Lagu Yalal Wathon, karangan KH.Wahab Hasbullah, dari yg sebelumnya masih asing ditelinga -bahkan sebagian pengurus NU- sekalipun menjadi saat ini seolah menjadi Jargon yang tak terpisahkan dari NU ‘Hubbul Wathon minal Iman, Cinta tanah air adalah sebagian dari Iman’. Serta pekikan semangat para Banser yg dg lantang meneriakkan “NKRI harga mati!” seolah menjadi pembakar semangat untuk selalu mencintai dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masih dibulan yg sama, setelah menyisakan kesedihan yg mendalam akan kepergian sosok Ulama yg nasionalis, kita dikejutkan dg pemberitaan aksi unjuk rasa sejumlah Mahasiswa Papua yang mengarah pada gerakan separatisme.
Sebagaimana di beritakan CNNIndonesia:
Pada 15 Agustus 2019, aksi unjuk rasa memperingati Perjanjian New York 1962 antara Indonesia dan Belanda terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Beberapa di antaranya berujung ricuh. Berdasar laman tapol.org–organisasi yang menyoroti isu hak asasi manusia di Indonesia yang berbasis di Inggris–total ada 169 pengunjuk rasa ditangkap dan 30 orang terluka. Pihak kepolisian sendiri belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait hal ini.
Rusuh terjadi antara lain di Jayapura, Papua Barat; Sentani, Papua Barat; Malang, Jawa Timur; Ternate, Maluku Utara; Ambon, Maluku; Sula, Maluku; Bandung, Jawa Barat. Hanya di Yogyakarta dan Jakarta, aksi protes berlangsung tanpa gangguan.
Di Ternate, misalnya, kelompok massa Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) mengaku mendapat perlakuan represif dari aparat kepolisian dan TNI saat hendak melakukan aksi di Kota Ternate, Maluku Utara, pada Kamis (15/8).
Sementara di Malang, 56 pelajar yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dibubarkan paksa dan menerima serangan dari sekelompok warga. Berdasarkan sumber CNNIndonesia.com dari lingkar aparat di Jawa Timur, demonstrasi oleh AMP di Malang itu belum mengantongi izin.
Ancaman Wakil Wali Kota Malang
Pada hari yang sama, Wakil Wali Kota Malang, Sofyan Edi Jarwoko menyatakan tak segan untuk memulangkan mahasiswa asal Papua ke daerah asalnya jika terus berulah.
Ungkapan ini merespons rusuh di Kota Malang akibat bentrok antara warga Kota Malang dengan AMP Komite Kota Malang yang menggelar aksi memperingati 57 tahun perjanjian New York.
Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan menyesalkan sikap Wakil Wali Kota Malang. Menurut dia, semestinya insiden tersebut tak perlu disikapi dengan pernyataan bernada provokatif.
“Karena ini bisa dikomunikasikan dengan Gubernur Jatim, Wali Kota, Gubernur Papua dan pejabat terkait lainnya sehingga bisa diselesaikan dengan baik. Sehingga tidak perlu keluar ungkapan, orang Papua akan dipulangkan dari Malang. Kalau dia bilang Orang Papua keluar dari Malang, di sini juga ada orang Malang. Tapi kan tidak begitu,” kata Dominggus dalam wawancara dengan CNNIndonesia TV, Senin (19/8).
Pengepungan di Surabaya
Sehari setelah insiden di Malang, masih di Jawa Timur, asrama mahasiswa Papua Kamasan III di Surabaya dikepung Ormas dan sejumlah aparat yang diduga TNI dan Polri, Jumat (16/8) sekitar pukul 16.00 WIB. Akibatnya, 43 penghuni tertahan di asrama, tanpa makan dan minum. Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, Surya Anta mengatakan pengepungan itu disertai perusakan pelbagai fasilitas asrama. Kata dia, pengepung juga beberapa kali melontarkan makian bernada rasis ke mahasiswa Papua.
Pengepungan kata dia dipicu dugaan perusakan bendera merah putih di depan asrama. Aparat menduga perusakan dilakukan oleh penghuni asrama Mahasiswa Papua.
Sementara berdasar sumber CNNIndonesia.com, di Kota Pahlawan tersebut muncul edaran dari Pemerintah Daerah untuk memasang bendera merah putih di setiap rumah sepanjang Agustus 2019. Namun menurut sumber CNNIndonesia.com imbauan itu ditolak oleh penghuni Asrama Papua. Aparat sudah mendatangi dan membujuk para penghuni asrama untuk memasangnya. Tapi ajakan itu ditolak. “Sudah didatangi, dibujuk, tetap tidak mau. Akhirnya aparat berinisiatif memasang. Aparat pergi, bendera dilepas dan dibuang ke got. Terpancing deh aparat. Jadi bentrok,” kata sumber CNNIndonesia.com Senin (19/8).
Keesokan harinya pada Sabtu (17/8), polisi merangsek masuk ke asrama dan mengakut 43 mahasiswa Papua ke Polrestabes Surabaya. Para penghuni asrama itu lantas diperiksa polisi atas dugaan perusakan bendera merah-putih di depan asrama.
(sumber:CNNindonesia)
Segera setelah itu saya diminta untuk menjadi salah satu pembicara dalam Dialog kebangsaan hariini.
Baru saja saya mau memulai membuat makalah dan mendalami tentang materi ini dg berbagai kekhawatiran akan dampak dari insiden di Malang dan Surabaya, dll. keesokan harinya terjadi kerusuhan di Manokwari. Masyarakat Papua marah akan perlakuan yg diterima oleh Mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang.
Meskipun pada akhirnya gubernur Jawa timur, Khofifah Indar Parawangsa, dan walikota Surabaya serta walikota Malang sudah meminta maaf terkait kejadian yang menimpa sejumlah Mahasiswa Papua, namun apalah daya. Tetap saja kerusuhan tidak dapat terelakkan. Dan menimbulkan kerugian di manokwari dan Jayapura.
Berbagai pemberitaan dan Opini tersebar di media massa. Membuat saya tertarik untuk mengorek kembali sejarah bagaimana papua ini pertama kali bergabung dg Indonesia serta berbagai polemik yg terjadi setelahnya.
Saya tertarik tulisan sejarah singkatnya Fadrik Aziz Firdausi (tirto.id 19 Agustus 2019):
Bom Waktu KMB
Sejak lama, masalah Papua menjadi isu sensitif bagi Indonesia. Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 menghasilkan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia.
Namun, KMB juga menyisakan masalah belum tuntas, yakni mengenai status Papua atau Irian Barat. Persoalan ini seolah menjadi bom waktu bagi Indonesia -juga rakyat Papua sendiri- di kemudian hari.
Baik Indonesia maupun Belanda sama-sama ngotot merasa lebih berhak atas tanah Papua Barat. Bagi Belanda, Papua bagian barat, atau yang mereka sebut Netherlands New Guinea, bukanlah bagian dari kesatuan wilayah yang harus dikembalikan kepada Indonesia.
Salah satu alasan Belanda adalah karena orang-orang asli Papua memiliki perbedaan etnis dan ras dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Maka dari itu, mereka ingin menjadikan Papua bagian barat sebagai negara tersendiri di bawah naungan Kerajaan Belanda.
Pengakuan Kedaulatan
Indonesia tidak sepakat dan menghendaki agar seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda diserahkan. Lantaran tidak dicapai titik temu, sebut Amarula Octavian dalam Militer dan Globlalisasi (2012), maka masalah Papua Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun ke depan.
Perundingan lanjutan memang sempat digelar beberapa kali, namun hasilnya selalu menemui kebuntuan. Gara-gara ini, sejak Agustus 1954, Uni Indonesia-Belanda yang diamanatkan dalam KMB bubar.
“Indonesia gagal dalam usahanya supaya suatu mosi yang lunak mengenai Papua diterima oleh PBB pada bulan yang sama,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008).
Dikutip dari Sejarah Nasional Indonesia Jilid V (2008) karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Indonesia telah mengusahakan penyelesaian masalah Irian Barat selama 11 tahun. Namun, karena tak Belanda tidak mengindahkan, persoalan ini dibawa ke forum PBB pada 1954, 1955, 1957, dan 1960.
Dalam Sidang Umum PBB pada September 1961, Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Marie Antoine Hubert Luns mengajukan usulan yang intinya agar Papua Barat berada di bawah perwalian PBB sebelum diadakan referendum. Namun, Majelis Umum PBB menolak usulan ini.
Papua Gabung NKRI
Nugroho Notosusanto dalam Sedjarah Operasi-operasi Pembebasan Irian Barat (1971) menyebutkan bahwa pada 2 Januari 1962, melalui Keputusan Presiden Nomor 1/1962, Presiden Sukarno membentuk Komando Mandala untuk merebut Papua. Mayor Jenderal Soeharto ditunjuk jadi komandan operasi militer ini.
Situasi ini membuat Belanda tertekan dan terpaksa bersedia berunding lagi dengan Indonesia. Hasilnya, pada 15 Agustus 1962, disepakati Perjanjian New York yang menyatakan bahwa Belanda akan menyerahkan kekuasaannya atas Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).
Perjanjian New York mensyaratkan Indonesia melaksanakan suatu Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Rakyat Papua bagian barat akan memutuskan sendiri apakah bersedia menjadi bagian dari Indonesia atau tidak. Batas waktu pelaksanaan Pepera ditetapkan sampai akhir 1969 dengan PBB sebagai pengawasnya.
Akhirnya, pada 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua kepada UNTEA. Lalu, tanggal 31 Desember 1962, bendera Belanda resmi diturunkan dan digantikan dengan bendera Merah Putih sebagai tanda dimulainya kekuasaan de jure Indonesia atas tanah Papua di bawah pengawasan PBB. (sumber: Tirto.id/fdr-isw)
Peran NU dalam Meredam Konflik di Papua
Sebelum membahas lebih jauh apa kontribusi positif yang bisa kami lakukan dalam upaya meredam konflik di papua, rasanya tak pantas kita melupakan sumbangsih besar presiden RI ke-4 yg sekaligus Tokoh NU kharismatik, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), meskipun hanya menjabat selama 2 tahun, namun jasanya pada papua hingga saat ini masih terus di kenang oleh rakyat papua.
Bahkan secara khusus Gubernur Papua Lukas Enembe pada hari rabu, 21 Agustus 2019 kemarin menyebutkan begitu merindukan Gus Dur, sosok yg dikenal berjasa ditanah papua dan merindukan pemimpin seperti beliau (sumber:merdeka.com). Selain itu juga Lukas Enembe menyebut nama Banser ketika menelpon Bu Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur).
“Saya sampaikan (ke Khofifah), orang Papua mencintai Gus Dur, Ibu Gubernur tuh kadernya Gus Dur, kenapa mahasiswa saya dianiaya seperti itu hanya karena masalah bendera, tidak dibenarkan,”
Ia juga mempertanyakan kebijakan bu khofifah yang tidak menerjunkan Banser untuk membela mahasiswa Papua yang diserang oleh organisasi kemasyarakatan. (merdeka.com)
Lantas apakah yang telah dilakukan Gus Dur sehingga namanya disebut oleh Lukas Enembe dan menyatakan masyarakat Papua mencintai Gus Dur?
Berikut sejumlah kebijakan Gus Dur di Papua semasa Gus Dur menjabat jadi Presiden RI (Sumber: Kompas.com):
Sumbang Dana Rp 1 Miliar untuk Kongres Rakyat Papua
Dikutip dari tulisan Tri Agung Kristanto dalam buku Perjalanan Politik Gus Dur, Gus Dur memiliki peran besar dalam terselenggaranya Kongres Rakyat Papua pada akhir Mei 2000. Kongres itu awalnya tertunda-tendua karena masalah finansial.
Kongres yang dihadiri tidak kurang dari 5.000 rakyat Papua itu akhirnya terselenggara berkas bantuan dari Gus Dur sebesar Rp 1 miliar. Sekretaris Presidium Dewan Papua Thaha Mohammad Alhamid kepada Kompas menjelang kongres berlangsung mengakui besarnya peranan dana bantuan Presiden Gus Dur untuk penyelenggaraan kongres.
Meskipun pada kemudian hari, Gus Dur kecewa dengan hasil kongres.
“Tadinya saya membantu (Kongres Rakyat Papua,-red) supaya terlaksana, karena panitia kongres menjanjikan dua hal yakni tidak orang asing di dalamnya (Kongres) dan semua orang (Papua) boleh ikut,” kata Gus Dur dalam berita Kompas, 6 Juni 2000.
Saat itu, langkah Gus Dur memberikan bantuan dana dikecam karena dianggap memberi peluang opsi Papua memisahkan diri dari NKRI.
Mampu Jembatani Perbedaan di Papua
Mengutip berita Kompas.com pada 31 Desember 2019, Sekretaris Jendral (Sekjen) Presidium Dewan Papua (PDP), Thaha M Alhamid menyatakan, Gus Dur mampu menjembatani segala perbedaan yang ada dalam kelompok masyarakat tertentu di Papua untuk menyelesaikan permasalahan di daerah tersebut. Pada 31 Desember 1999, Gus Dur menyempatkan diri melewatkan pergantian tahun di Jayapura.
Dalam momen itu, Gus Dur sekaligus menyatakan mengembalikan nama “Papua” untuk mengganti “Irian Jaya” yang diberikan pada pemerintahan Presiden Soeharto. Pengembalian nama itu dilakukan pada 1 Januari 2000. Dulu, semasa Orde Baru, tabu jika orang Papua menyebut diri mereka sebagai orang Papua. Namun, oleh Gus Dur tembok-tembok ketakutan itu diruntuhkan. Dulu Papua disebut dengan Irian, demikian juga dengan penduduknya, orang Irian.
Dulu, meskipun secara politis mereka segan menyebut diri mereka dengan Papua karena takut diidentikkan dengan Organisasi Papua Merdeka, jauh di dalam hati mereka adalah orang Papua. (Kompas.com)
Sumber lain juga menyebutkan Menurut keterangan seorang santri Gus Dur asal Kudus, Nuruddin Hidayat (2018), pada 30 Desember 1999 atau tepat dua bulan sepuluh hari setelah dilantik menjadi Presiden keempat RI, Gus Dur berkunjung ke Irian Jaya dengan dua tujuan, yaitu untuk berdialog dengan berbagai elemen di Papua dan melihat matahari terbit pertama milenium kedua tanggal 1 Januari 2000 pagi.
Pada 30 Desember 1999 dimulai jam 8 malam dialog dengan berbagai elemen dilakukan di gedung pertemuan Gubernuran di Jayapura. Meskipun dengan cara perwakilan, tetapi banyak sekali yang datang karena penjagaan tidak ketat.
Gus Dur mempersilakan mereka berbicara terlebih dulu, dari yang sangat keras dengan tuntutan merdeka dan tidak mempercayai lagi pemerintah Indonesia hingga yang memuji tapi dengan berbagai tuntutan. Selanjutnya Presiden berbicara merespon mereka. Banyak hal ditanggapi, tetapi yang penting ini, “Saya akan mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua,” katanya. “Alasannya?”
“Pertama, nama Irian itu jelek,” kata Gus Dur. “Kata itu berasal dari bahasa Arab yang artinya telanjang. Dulu ketika orang-orang Arab datang ke pulau ini menemukan masyarakatnya masih telanjang, sehingga disebut Irian.” Gus Dur lalu melanjutkan, “kedua, dalam tradisi orang Jawa kalau punya anak sakit-sakitan, sang anak akan diganti namanya supaya sembuh. Biasanya sih namanya Slamet. Tapi saya sekarang ganti Irian Jaya menjadi Papua.”
Seorang Antropolog bahasa Melanesia mencari asal-usul kata Irian yang diceritakan Gus Dur, tapi tidak pernah menemukannya (kalau tidak ketemu, tidak berarti tidak ada kan? Ini benar-benar cara Gus Dur memecahkan masalah rumit dan besar seperti masalah Papua dengan humor.
Sohibul riwayah, Ahmad Suaedy menduga mengapa Gus Dur menggunakan alasan bahasa Arab dan tradisi Jawa? Gus Dur mencoba “menenangkan” hati orang-orang Islam dan orang-orang Jawa yang berpotensi melakukan protes.
Gerakan Pemuda Ansor Mereduksi Gerakan Separatisme dan Disintegrasi Bangsa
Kembali pada salah satu pertanyaan Gubernur Papua, lukas enembe yang mempertanyakan kebijakan bu Khofifah yang tidak menerjunkan Banser untuk membela mahasiswa papua, Alhamdulillah hariitu juga, Gus Yaqut Cholil Qoumas langsung memerintahkan kepada seluruh kader Banser untuk ikut mengamankan dan menjaga asrama Mahasiswa papua. Termasuk diantaranya kami selaku PC Ansor Solo langsung bergerak cepat mencari asrama Mahasiswa Papua.
Lebih lengkapnya kami kutip berita dari CNN Indonesia:
Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Yaqut Cholil Qoumas mengaku telah menginstruksikan seluruh kader Barisan Serbaguna (Banser) untuk mengamankan dan menjaga asrama mahasiswa Papua di seluruh Indonesia.
Hal itu menyusul adanya insiden pengepungan yang dilakukan pihak tertentu di asrama mahasiswa Papua di Surabaya beberapa waktu lalu sehingga bedampak pada kerusuhan yang meluas di Papua.
“Kita tahu itu dari steatment-nya Gubernur Papua mereka membutuhkan Banser untuk menjaga, hari ini saya sudah perintahkan seluruh kader Banser untuk menjaga ada asrama-asrama mahasiswa Papua untuk silaturahmi ke mereka dan kalau perlu menjaga asrama mereka kalau mereka membutuhkan,” kata Yaqut di arena Muktamar PKB di Nusa Dua, Bali, Rabu (20/8).
Lebih lanjut, Yaqut menceritakan bahwa kader Banser di Surabaya sempat diajak untuk mengepung asrama Papua di Surabaya akibat adanya foto tiang bendera merah putih yang diduga dipatahkan oleh mahasiswa Papua.
Namun menurutnya, Banser secara tegas menolak ajakan tersebut karena bukan jalan perjuangan yang dianut selama ini “Makanya kita tolak dan kita tak terlibat sama sekali dalam pengepungan asrama,” kata dia.
Selain itu, Yaqut menduga aksi kerusuhan yang terjadi di beberapa tempat di Papua belakangan ini terjadi karena didesain oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Ia menyatakan kondisi itu sengaja dibuat karena melihat skalanya yang masif dan cepat menjalar dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
“Ini sangat berbahaya, kita tahu karena banyak mahasiswa Papua di banyak tempat, di Makassar ada, dan lainnya. Kalau ini terjadi akan banyak letupan di berbagai daerah. Kita khawatir ini akan jadi pemicu disintegrasi,” kata Yaqut. (Kutipan CNN Indonesia).
Maka dengan instruksi tersebut, kamipun langsung terjun ke lapangan siap menjaga seluruh Mahasiswa Papua dimanapun mereka berada. Karena bagi kami mereka adalah saudara kami. Satu tanah air. Adapun bentuk Upaya separatisme yang di sinyalir dilakukan oleh sekelompok mahasiswa di surabaya dan malang kami serahkan semua kepada kepolisian yg saat ini sedang menyelidiki. Walaupun sekali lagi, kami tidak pernah mentolerir gerakan Separatisme dalam bentuk apapun. Gerakan Pemuda Ansor senantiasa berkomitmen menjaga kebinekaan, kerukunan, dan keutuhan bangsa ini. Karena hal tersebut merupakan kewajiban bersama sebagai anak bangsa Indonesia juga merupakan kearifan dan akhlak bermasyarakat yang selalu diajarkan para ulama NU.
Gerakan Pemuda Ansor, bersama Banser di dalamnya siap kapanpun dan dimanapun berjuang bersama dalam rangka menjaga keutuhan NKRI. GP Ansor dan Banser ada di seluruh pelosok tanah air, bahkan di Papua Sekalipun. Yang tentunya kami bersama-sama saling berkomunikasi dan bahu-membahu dalam setiap tindakan.
Dan kembali pada Slogan NU diawal “Hubbul Wathon Minal Iman, Cinta Tanah Air Adalah sebagian dari Iman” , Bagi kami itu adalah ladang Jihad kami, ibadah yang di ajarkan oleh Ulama-Ulama NU sejak Jaman penjajahan dan kemerdekaan. Oleh karena itu, Gerakan separatisme yang memicu disintegrasi bangsa harus kami lawan. Tidak akan Pernah ada kata Toleransi pada separatisme dan Disentegrasi Bangsa. Kami siap berada di Garda terdepan melawan segala bentuk separatisme dan disintegrasi bangsa. Satu Slogan yang selalu kami pekikkan dan mengakar kuatr dalam darah kami bahwa “NKRI HARGA MATI!!!”
Surakarta, 23 Agustus 2019.
Arif Syarifudin
Ketua PC GP Ansor Surakarta