Pemudik Pancasilais
OPINI
Oleh: Tita Adelia
Pemudik asal Bandung
Di Indonesia, Idul Fitri memiliki makna yang universal. Tidak hanya dirayakan oleh umat Islam yang sebelumnya menjalani kewajiban berpuasa, umat agama lain juga memanfaatkan momentum Lebaran. Ada yang pulang ke kampung halaman bertemu sanak saudara, berlibur, atau sekedar rehat dari hiruk pikuk yang sehari-hari mendera.
Mudik jadi salah satu sumber kebahagiaan lebaran. Jika dilihat secara matematis, sangat mudah melihat fenomena mudik sebagai penghambat produktivitas dan pemborosan. Pekerjaan proyek di seluruh jalan tol Jakarta-Cikampek, misalnya, dihentikan sementara demi mendukung kelancaran lalu lintas para pemudik. Kocek pribadi yang harus dikeluarkan pemudik demi membiayai perjalanan keluarga juga seringkali tidak sedikit. Belum lagi tenaga yang dihabiskan untuk menghadapi segala antrian dan kemacetan.
Tahun ini, ada yang berbeda. Puncak arus mudik yang diprediksi oleh Korlantas Polri jatuh sekitar tanggal 1 Juni ternyata bertepatan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila. Di hari itu, semua Aparatur Sipil Negara (ASN) wajib mengikuti pelaksanaan upacara. Bagi sisanya, kehidupan akan berjalan biasa saja. Namun tanpa disadari, para pemudik adalah salah satu pahlawan Pancasila.
Banyak yang pesimis tentang keberadaan Pancasila dalam sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Jangankan mengamalkan nilai-nilainya, sudah bagus bila dapat melafalkan dengan lancar kelima silanya. Aktualisasi nilai Pancasila seringkali dibicarakan dengan tingkat abstraksi yang tinggi. Sehingga, pengamalannya hanya milik orang-orang yang mengerti. Tindakan sehari-hari yang biasa dilakukan dianggap tidak ada sangkut pautnya. Seakan perwujudannya harus melalui kegiatan yang luar biasa.
Mengapa para pemudik mau korbankan uang, waktu, dan tenaganya untuk sekedar menjejaki tanah kelahiran? Jika bukan karena kultur komunalitas yang mengakar, maka tidak akan ada keinginan kuat untuk pulang. Melalui para pemudik, eksistensi nilai-nilai komunalisme kembali muncul ke permukaan.
Seiring dengan majunya industri dan teknologi, pola kehidupan masyarakat berubah. Terdapat sekat-sekat sosial yang membuat kehidupan satu dengan lainnya minim interaksi. Keakuan menjadi penting, hubungan sosial dijalin seadanya. Sementara itu, mudik dapat mengembalikan ikatan sosial yang mulai merenggang.
Tidak ada orang mudik dengan tujuan untuk menikmati hari raya sendirian. Justru sebaliknya, arogansi ditekan untuk menghabiskan momen bersama keluarga besar. Melalui mudik, anak-anak diajarkan bagaimana menumbuhkan sifat rela berkorban demi menjalin interaksi yang substansial, bagaimana pentingnya menjaga hubungan sosial. Sama halnya dengan Pancasila yang memuat semangat kebersamaan, semuanya tidak pernah tentang keakuan.
Sebelum pulang di momen Lebaran, pemudik adalah entitas yang bergerak melintasi batas geografis dan sosiologis untuk memperbaiki kehidupan, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi dirinya. Etos kerja keras mau tak mau diterapkan, agar bisa keluar dari ketidakcukupan.
Dalam perjalanan ke kampung halaman, para pemudik harus tertib dan taat aturan. Meski gelora untuk pulang kian besar, tetap harus antri dan bersabar. Saling hormat menghormati antar pengguna kendaraan dan sesama penumpang. Saat sampai di tujuan, para pemudik membawa inspirasi kemajuan, memberi kabar kesuksesan maupun pelajaran tentang kegagalan.
Manusia Pancasilais, begitu sebutan untuk orang yang pola hidupnya berpegang teguh pada prinsip dan nilai yang terkandung pada Pancasila. Tidak muluk-muluk, para pemudik yang yang bersikeras menjaga tali persaudaraan, mempererat jarak sosial, bekerja keras meraih kemajuan, menghormati perbedaan, dapat dibilang telah mengamalkan Pancasila dalam kehidupannya. Maka dari itu, selama masih banyak entitas yang demikian, baiknya tetap optimis bahwa eksistensi Pancasila di kehidupan masyarakat Indonesia masih terpelihara. (*)