Guru Profesi Mulia Anti Hoaxs!

Spread the love

OPINI

Oleh: Dudung Nurullah Koswara
Praktisi Pendidikan

Momentum “regulatif” tentang pembatasan dunia medsos yang dilakukan oleh Menkominfo akan kita kenang selamanya. Mengapa sangat momorialis? Karena jutaan rakyat Indonesia merasakan “penderitaan” lelet dan lemotnya dunia medsos. Semua  terdampak derita medsos lemot. Para businessman, pegawai kantoran,  perusahaan dan bahkan sepasang kekasih yang dimabok cinta pun dibuat sangat kesal.

Plus regulasi Menkominfo di atas suasananya masih bau-bau pengumuman pro kontra hasil Pilpres dan demo ketidakpercayaan pada KPU. Sejumlah orang meninggal, korban luka dan orang ditangkapi oleh pihak yang berwajib. Ini harus menjadi pembelajaran. Pembelajaran itu akan membekas atau menjadi long term memory dalam ingatan publik. Bahkan akan dicatat dalam lembaran sejarah sebagai  tragedi Mei jilid dua. Walaupun tingkat kerusuhan dan kerusakan berbeda sangat jauh dengan kerusuhan Mei 1998.

Nah momentum yang mesti kita bold atau kita garis bawahi adalah terkait mengapa Menkominfo memutus hubungan relasi publik dalam dunia medsos? Jawaban resmi dari pemerintah adalah terkait ramainya penyebaran hoaxs. Intinya dunia medsos saat ada sebuah peristiwa atau konflik telah dimanfaatkan dengan cerdik oleh pihak tertentu sebagai media provokasi hoaxs. Provokasi, menebar kebencian dan merekayasa video atau gambar sadis dalam narasi yang telah diubah.

Menurut keterangan versi pemerintah  selama beberapa hari saat konflik dan demo terkait Pilpres, ribuan hoaxs telah disebarkan. Bila pemerintah dalam hal ini Menkominfo tidak turun tangan maka tingkat mudharat medsos saat ada konflik akan semakin menjadi-jadi. Menkominfo Rudi Antara mengatakan gelontoran konten negatif menutup manfaat yang seharusnya diperoleh masyarakat. Ia menceritakan bagaimana Facebook di masa awal popularitasnya berjasa menghubungkan kembali teman atau saudara yang telah lama putus silaturahim. Hari ini?

Era revolusi industri  4.0 idealnya tidak membuat masyarakat kita semakin jauh dari kemanusiaannya. Siapa yang paling bertanggung jawab atas pandemik hoaxs? Semua pihak dan diantara pihak yang paling setrategis adalah para guru. Guru adalah orang yang sebaiknya ikut bertanggung jawab menjadi bagian dari gerakan melawan hoaxs. Guru punya misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Hoaxs adalah musuh guru. Hoaxs adalah identikasi dari kebohongan. Dunia guru adalah dunia yang bertugas menginjeksikan kejujuran.

Faktanya dalam setiap tangan anak didik saat ini terutama jenjang SMP/SMA/SMK pasti ada satu gadget bahkan ada yang lebih dari satu. Di tangannya ada ribuan menu yang dapat membuatnya berselancar dalam berbagai informasi. Guru wajib memberikan sebuah pembekalan kedewasaan mental dan moral serta intelektual terkait menu yang ada dalam gadget anak didik. Jangan sampai anak didik kita menjadi konsumen informasi ambigu, hoaxs dan ujaran kebencian. Plus bahaya narkotika lewat mata (narkolema). Ungkapan bijak mengatakan, “Dari mata turun ke hati”, “Gambar mewakili seribu kata-kata”. Nah bagaimana kalau gambar yang berdampak luar biasa itu berkonten negatif?

Sekali lagi para guru menjadi orang dewasa yang harus bertanggung jawab turut serta secara proaktif membimbing dan mendampingi anak didik. Masa pubertas anak didik perlu diguide dengan baik dan terkontrol. Guru harus peduli hoaxs. Guru harus menjadi musuh hoaxs. Tidak hanya memberikan mata pelajaran yang diampunya semata. Intelektualitas itu penting namun moralitas dan integritas jauh lebih penting. Tempatkan moralitas dan integritas anak didik di atas intelektualitas. Intelektualitas bahkan bisa secara mandiri dihapal dan dipelajari. Namun integritas dan moralitas membutuhkan bimbingan yang melekat dekat dan merapati anak didik.

Saat Saya menjadi juara pertama best practice Jawa Barat bidang pendidikan inklusif, saya punya kata Dekapan Adam. Kata ini adalah sebuah singkatan dari bagaimana guru sebaiknya melayani anak didik. “Dekapan Adam” adalah kepanjangan dari Dekati, Pantau, Apresiasi dan Dampingi. Kita harus menjadi guru yang dekat melekat pada anak didik yang menyenangkan, memberi solusi, menginspirasi dan memotivasi. Di tengah keterbatasan potensi dan dinamika kenakalan anak didik. Guru harus sabar dan ikhlas. Menjadi guru itu menjadi pintu sukses bagi anak didiknya.

Hal yang sangat bahaya dan dunia  pendidikan bisa menjadi terbalik adalah ketika ada sejumlah oknum guru justru menjadi penyebar hoaxs. Guru sejenis ini layak diberi sanksi yang tegas. Bila perlu mereka jangan diberi tugas atau amanah sebagai guru. Guru adalah musuh dari kebohongan, hoaxs dan ujaran kebencian. Bila ada sejumlah oknum guru malah berbuat demikian, ia sudah bukan keluarga besar guru. Malah sudah menjadi lawan dari para guru. Guru yang terlibat menyebarkan hoaxs harus dikarantina. Dinormalisasi kembali atau berhentikan dari profesi guru. Risiko tinggi bagi masa depan anak didik.

Termasuk guru yang menebarkan intoleransi dan membiakkan kebencian pada kelompok lain atas nama apapun. Guru atau ASN yang intoleran pada keberagaman, menolak Pancasila dan mengajarkan anak berdemo dan teriak Tuhan Besar sambil membenci pihak lain. Menganggap kebenaran tunggal  kelompok dan yang lain salah adalah sebuah proses  belajar yang salah. Anak didik harus mengerti dinamika dan warna dunia. Kemudian ia harus mengambil sikap berdasarkan pilihan rasional yang dibimbing oleh gurunya. Atittude anak didik menjadi paling utama dalam kehidupan kemudian.

Semua warga masyarakat mayoritas lahir dari tangan guru. Semua orang pernah belajar pada gurunya. Sang Guru harus memberikan kenangan indah pada anak didiknya. Kenangan indah agar kelak anak didik bisa hidup indah bukan saling menghujat atau membenci sesama dan pihak lain. Harmonitas dan cinta kasih atas nama agama dan kemanusiaan harus diinjeksikan pada anak didik sejak dini. Kebangsaan dan kemanusiaan harus menjadi prioriti. Keberagamaan dan kesalehan spiritual pun harus menjadi agenda melekat. Humanis religius bukan fanatis sadistis.

Simpulannya! Guru sebenarnya adalah bagian dari pertahanan bangsa. Termasuk dari “kolonialisme” hoaxs yang menjarah konten gadget setiap anak didik. Guru literet, siswa literet akan melahirkan masyarakat literet. Masyarakat literet akan imun dari seganas apapun hoaxs dan berita penebar kebencian. Kemampuan memahami informasi dan mentalitas yang cinta kasih akan lebih baik bagi setiap generasi. Kebodohan dalam mencerna informasi, plus kebencian yang laten akan menyulut perang medsos dan ujung-ujungnya konflik horisontal. Berawal dari cuci otak di medsos ujungnya putus relationship dan lahirnya kerusuhan. Stop! Tugas guru di antaranya untuk ikut meminimize dan mengerem percepatan  inkubasi hoaxs. (***)