Kiat Hidup di Tengah Perubahan – Lebih Baik Jadi Bos Diri Sendiri
Menjadi “bos” diri sendiri itulah sesuatu yang diimpikan dari .Nur Ali Afandi (36). Warga desa Sendangadi Kecamatan Mlati, Sleman, Yogyakarta tiap hari tak kenal lelah berkeliling dari sekolah ke sekolah jualan telur puyuh goreng.
Lonceng jam istirahat anak sekolah berdentang. Itulah tanda rejeki mulai terbuka dan mengalir untuknya.Hati pun sumringah apa adanya. Dengan cekatan tangan Nur Ali akan selalu tanggap pada anak anak sekolah yang minta di gorengkan telur puyuh.
Cerita tentang Nur Ali sebagai penjual telur puyuh goreng dimulai tahun 2007. Artinya sudah sepuluh tahun Nur Ali telah menekuni profesinya sebagai penjual telur puyuh keliling dan ngetem di sekolah.
Dengan berbekal 400 hingga 500 telur puyuh per harinya, dirinya menjajakan kepada siswa. Pukul 6 pagi biasa dirinya mempersiapkan barang dagangannya. Setelah mengurus anak, Nur Ali memetakan lokasi mana saja yang akan dijadikan tempat “manggrong” jualan. Dari SD Kentungan, MIN Tempel, semua di area Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta yang menurutnya sangat menjanjikan telah disinggahinya. Yah, ketika jam 9 pagi, saat jam menunjukan istirahat pertama siswa siswi, Nur Ali tak terbendung melayani para pembeli dengan suka cita. Dengan harga 500 rupiah per telur goreng rata-rata ludes diserbu siswa.
“Ya, namanya usaha mas tidak selalu habis terus, Adakalanya masih sisa,”ucap Nur Ali di SD Karangjati Ngaglik, Sleman kepada Poskita.co, Selasa, 21/11/17.
Nur Ali merasa cukup lumayan hasil dari jualan telur puyuhnya dibanding dengan zaman masih bekerja di dealer. Tidak ada yang mengejar target. Besar kecilnya pendapatan tergantung dari kemauan kerja jualan hariannya. Terlebih dirinya bisa punya waktu yang lebih longgar bersama kedua anak-anaknya yang masih balita.
Berapa keuntungan bersih rata-rata per harinya? Dengan agak malu dan polos Nur Ali menjawab kalau di angka bersih bisa mencapai antara 60 – 70 ribu per hari.
Padahal sebelumnya dia pernah kerja di dealer motor sebagai tenaga marketing dimana ada gaji tetap tiap bulan, namun jiwanya memberontak karena ingin menjadi bos bagi dirinya sendiri. Keputusan pun diambil yakni keluar dari dealer. Pelan namun pasti kehidupanya mulai berubah setelah menekuni jualan telur puyuh ini.
Tidak mudah memang, masa-masa awal dirinya keluar dari kerja dealer. Nur Ali menceritakan mesti belajar dulu “nguli” (bekerja) kepada juragan bakso cilok. Nur Ali pernah ikut juragan jualan bakso Cilok. Hasilnya bagus. Namun dirinya harus setor jualan ke juragan bakso cilok tersebut. Jadinya sempat gamang juga.
Entah terinspirasi dari tingkat kebutuhan, akhirnya setelah membaca peta pasar di tiap sekolah, Nur Ali mencoba keluar lagi sebagai pekerja penjual juragan cilok. Dia pun mencoba menjual telur puyuh dengan modal bikin kotak berkaca yang berisi telur puyuh dan kompor gas yang ditata berimbang kiri dan kanan. Kanan untuk wadah telur. Kiri wadah untuk penggorengan. Ditumpangkan di sedel motor bebeknya berkelilinglah Nur Ali.
Dari mana telur puyuh didapat? Menurut Ali tidak begitu susah. Karena dirinya sudah disetori oleh peternak puyuh. Jadi relative mudah.
Tiap pagi dirinya tinggal bawa telur puyuh dan keliling. Telur goring…telur goring, begitulah slogannya.
Ali juga tidak melupakan pengalamannya yang bekerja jualan cilok. Setelah jualan telur puyuh hingga jam 13, durasi waktu asar hingga magrib, dirinya berganti juga menjajakan cilok keliling kampung kota. Bedanya cilok ini juga milik dagangannya sendiri. Tiap sore habis asar hingga magrib Nur Ali menembus gang dan jalan pedesaan dan perkampungan jalan Kaliurang. Lumayan juga dari cilok dirinya bisa mendapat laba bersih 40 sampai dengan 50 ribu perhari.
Nah, orang tua bilang ono dino ono upo. Obah mamah. Itulah yang dipraktekan seorang Nur Ali Affandi di tengah kehidupan yang terus bergerak dan berubah. (ds)