BEM ISI Solo Gelar Seminar Nasional: Strategi Menghadapi Disrupsi Teknologi

Spread the love

SOLO, POSKITA.co –  Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Seni Indonesia Surakarta  (ISI) (ISI Solo) menenggelar Seminar Nasional bertajuk “The Future of Creative Work: Skill Apa yang Membuat Seniman Relevan 10 Tahun Ke Depan?” Acara berlangsung di Gedung SBSB Kampus 2 ISI Solo, Kamis, 20 November 2024

Acara ini dirancang untuk mempersenjatai mahasiswa dan masyarakat seni dengan wawasan serta strategi menghadapi disrupsi teknologi dan gelombang Artificial Intelligence (AI) di Era Society 5.0.

Alung Mangku Buana, Ketua BEM, dalam sambutannya menegaskan pentingnya antisipasi dan adaptasi.

“Seminar ini adalah ikhtiar kami untuk membekali mahasiswa serta masyarakat seni agar bersiap-siap terhadap perubahan dan gempuran teknologi di era 5.0. Tujuannya adalah menjaga keberlanjutan peran seniman dalam ekosistem ekonomi kreatif Indonesia dengan memberikan wawasan tentang keterampilan yang relevan,” papar Alung.

Seminar ini menghadirkan dua narasumber ahli yang memberikan perspektif komplementer: satu dari sisi teori dan kurasi, dan lainnya dari praktik dan pengalaman lapangan langsung.

Narasumber pertama, Dr. Mikke Susanto, S.Sn., M.A., kurator ternama, Dosen Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta, dan founder Dicti Art Labs, memaparkan materi berjudul “Seni Kontemporer Berbasis Teknologi 5.0.”

Dr. Mikke mendefinisikan Society 5.0 sebagai era di mana seni berevolusi dari sekadar objek visual menjadi sistem yang interaktif, algoritmik, dan terintegrasi dalam jejaring sosial.

Dalam pemaparannya, Dr. Mikke merinci delapan tren global yang akan membentuk masa depan seni, termasuk Generative AI, Immersive XR, Blockchain & NFT, hingga BioArt.

Ia menekankan bahwa seni di era ini memiliki sifat Interaktivitas, Kolaboratif, dan Generatif, di mana penonton menjadi partisipan aktif dan karya seni dapat terus berevolusi.

Narasumber kedua, Ian Perman (Ianoncent), Visual Artist dan Ilustrator Profesional dengan pengalaman 13 tahun, memberikan penekanan pada sikap mental dalam menyikapi perubahan.

Dengan perjalanan karirnya dari drawing tradisional hingga digital, Ian menyampaikan pesan kunci: seniman harus adaptif terhadap pengembangan teknologi.

“Kita tidak perlu takut dengan AI. Justru, AI dan teknologi lainnya harus kita jadikan alat untuk berkembang, bukan untuk ditakuti. Seniman yang sukses di masa depan adalah mereka yang mampu memanfaatkan teknologi sebagai kuas dan kanvas baru, tanpa melupakan jiwa kreatif mereka,” tegas Ian.

Di tengah gempuran teknologi, Ian tetap menegaskan bahwa penguasaan fundamental skill seperti drawing tetaplah pondasi yang tidak tergantikan.

“Teknologi adalah alat yang luar biasa, tetapi jiwa dan ‘rasa’ dari sebuah karya berasal dari pemahaman dasar seni yang kuat. Tanpa fondasi ini, karya akan terasa hampa,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya konsistensi, mental yang tangguh, dan strategi personal branding untuk dapat bertahan dan bersaing di industri seni yang dinamis. (Arya)