Budi Pekerti: Akar Pendidikan Ki Hajar Dewantara “Menemukan Kembali Jiwa Pendidikan yang Membentuk Manusia Seutuhnya”
Oleh: Sri Lestari Kadarsih
Mahasiswa Magister Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Di tengah dunia yang bergerak cepat, penuh tekanan dan kompetisi, pendidikan sering kali hanya dipahami sebagai alat untuk mengejar gelar dan nilai. Namun, pendidikan sejati bukan sekadar mencetak otak-otak cerdas, tetapi membentuk manusia yang utuh—berpikir jernih, berhati nurani, dan berjiwa luhur. Inilah yang sejak awal ditegaskan oleh Ki Hajar Dewantara dalam gagasannya tentang pendidikan budi pekerti.
Ki Hajar Dewantara, tokoh yang kita kenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, meletakkan budi pekerti sebagai fondasi utama dari pendidikan. Baginya, pendidikan adalah proses menuntun seluruh kekuatan kodrat anak agar mereka tumbuh menjadi manusia yang selamat dan bahagia, baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat. Dalam pandangannya, budi pekerti bukan hanya soal etika dan sopan santun, tetapi gabungan antara akal, rasa, dan kehendak—yang membentuk karakter sejati manusia.
Budi Pekerti: Lebih dari Sekadar Etika
Secara bahasa, “budi” berarti akal dan kebijaksanaan, sedangkan “pekerti” berarti perangai atau watak. Maka, budi pekerti mencerminkan sikap hidup yang berlandaskan pada kebijaksanaan moral. Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan seharusnya membentuk budi pekerti secara menyeluruh: membina pikiran, membentuk perasaan, dan menuntun tindakan. Ia mengkritik pendidikan yang hanya berorientasi pada pencapaian akademik. Menurutnya, orang pintar tanpa budi pekerti cenderung menjadi oportunis. Maka dari itu, pendidikan harus memadukan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam satu tarikan napas: menjadikan manusia seutuhnya.
Pendidikan Karakter dalam Tantangan Zaman
Di era digital dan global saat ini, anak-anak hidup dalam arus informasi yang masif dan tak terkontrol. Mereka akrab dengan media sosial, konten daring, dan gaya hidup yang serba instan. Nilai-nilai seperti kejujuran, gotong royong, dan tanggung jawab kian tergerus oleh budaya individualisme dan materialisme.
Di sinilah pentingnya pendidikan budi pekerti hadir sebagai benteng moral. Pemikiran Ki Hajar Dewantara yang menekankan pendidikan berbasis nilai dan budaya lokal sangat relevan untuk menjawab tantangan kekinian. Pendidikan tidak boleh terjebak pada formalitas, tapi harus menyentuh batin dan menyatu dalam kehidupan nyata.
Implementasi Budi Pekerti di Sekolah
Sayangnya, pendidikan karakter di sekolah saat ini masih sering bersifat simbolik. Ia hadir sekadar sebagai rutinitas upacara, slogan yang terpajang di dinding, atau materi tambahan yang tidak terintegrasi secara utuh dalam proses belajar-mengajar. Padahal, pendidikan budi pekerti seharusnya menjadi roh yang menghidupi seluruh aspek kehidupan sekolah. Nilai-nilai moral tidak cukup diajarkan secara verbal, tetapi harus dihadirkan melalui berbagai pendekatan yang menyatu dengan keseharian peserta didik.
Pertama, integrasi dalam setiap mata pelajaran menjadi langkah penting. Semua pelajaran, baik itu Matematika, Bahasa Indonesia, maupun Ilmu Pengetahuan Sosial, bisa menjadi wahana pembentukan karakter bila guru mampu mengaitkan materi dengan nilai-nilai kehidupan. Kedua, keteladanan guru memiliki peran yang sangat kuat. Guru bukan sekadar penyampai ilmu, melainkan figur yang menginspirasi dan menanamkan nilai dengan tindakan nyata. Ketika guru bersikap jujur, disiplin, dan empatik, siswa akan menangkap nilai tersebut secara alami. Budaya sekolah yang humanis perlu dibangun. Sekolah harus menjadi lingkungan yang aman, inklusif, dan menghargai keberagaman. Sikap saling menghormati dan tanggung jawab sosial harus dibudayakan dalam interaksi sehari-hari. Selain itu, kolaborasi dengan orang tua juga sangat penting. Nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan lebih efektif jika diperkuat di rumah melalui komunikasi yang terbuka dan teladan nyata dari orang tua.
Terakhir, pemanfaatan media digital juga perlu diarahkan pada konten-konten yang positif dan kontekstual. Di era digital ini, nilai moral bisa ditanamkan melalui film, video, dan kampanye sosial yang mengangkat tema budi pekerti secara kreatif dan menyentuh. Dengan menyatukan kelima pendekatan tersebut, pendidikan budi pekerti tidak lagi menjadi slogan kosong, melainkan hadir sebagai proses nyata yang membentuk karakter peserta didik secara utuh dan berkelanjutan.
Pendidikan yang Menyentuh Hati
Pendidikan budi pekerti bukan proyek jangka pendek. Ia adalah proses panjang yang menuntut ketekunan, kesabaran, dan konsistensi. Ia tidak bisa diukur hanya dengan angka, tetapi dengan perubahan sikap, cara berpikir, dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus kembali kepada ruh pendidikan: mendidik dengan cinta, menuntun dengan nurani, dan menghidupkan nilai dalam laku hidup. Dalam dunia yang makin canggih, manusia tetap butuh arah—dan arah itu adalah akhlak.
Rekomendasi Strategis
Untuk memperkuat peran pendidikan budi pekerti dalam sistem pendidikan nasional, sejumlah langkah strategis perlu diambil secara sistematis dan berkelanjutan. Pertama, kurikulum karakter harus diintegrasikan secara menyeluruh, bukan sebagai tambahan atau pelengkap, melainkan sebagai bagian inti dari seluruh mata pelajaran dan aktivitas belajar. Setiap bidang studi dapat menjadi sarana pembentukan nilai apabila disampaikan dengan pendekatan yang kontekstual dan humanistik. Kedua, pelatihan guru berbasis nilai menjadi sangat penting. Guru perlu dibekali dengan penguatan moral dan spiritual agar mereka mampu menjalankan peran sebagai pendidik utama, bukan sekadar pengajar materi. Guru yang memiliki integritas akan menjadi teladan hidup bagi peserta didiknya.
Ketiga, revitalisasi budaya sekolah harus dilakukan agar lingkungan sekolah benar-benar menjadi ruang tumbuh yang menumbuhkan etika sosial dan empati. Sekolah perlu menciptakan atmosfer yang mendukung pembentukan karakter melalui praktik nyata dalam interaksi sehari-hari. Keempat, kolaborasi dengan orang tua juga harus diperkuat. Orang tua tidak bisa diposisikan sebagai pelengkap, melainkan sebagai mitra sejati dalam proses pendidikan karakter. Dengan sinergi antara rumah dan sekolah, nilai-nilai budi pekerti akan lebih mudah tertanam dan konsisten dijalankan dalam kehidupan anak. Kelima, pemanfaatan media digital yang etis harus digalakkan untuk membangun literasi moral digital di kalangan siswa. Dalam dunia yang serba daring, media dapat menjadi alat efektif untuk menyampaikan pesan moral yang inspiratif dan membentuk cara pandang siswa terhadap kehidupan.
Terakhir, evaluasi pendidikan perlu bertransformasi dari sekadar pengukuran aspek kognitif menuju evaluasi berbasis perilaku. Keberhasilan pendidikan tidak semata ditentukan oleh nilai ujian, tetapi juga oleh perubahan sikap, kebiasaan baik, dan kualitas tindakan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Dengan langkah-langkah strategis tersebut, pendidikan budi pekerti dapat dijadikan sebagai fondasi utama dalam membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga luhur dalam perilaku dan sikap sosialnya.
Menuntun Anak Menjadi Manusia Sejati
Pendidikan budi pekerti bukanlah warisan masa lalu yang usang. Ia adalah peta jalan masa depan. Ia bukan sekadar teori, tapi solusi konkret dalam membangun bangsa yang kuat secara moral, cerdas secara akal, dan lembut secara hati. Mari kita jadikan gagasan Ki Hajar Dewantara sebagai nafas pendidikan kita. Karena bangsa yang hebat bukan hanya yang banyak ilmunya, tetapi juga yang kuat budi pekertinya.
“Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”
— Ki Hajar Dewantara
Editor: cosmas