Nilai-Nilai Budi Pekerti Ki Hajar Dewantara dan Relevansinya dalam Pendidikan Karakter di Sekolah

Spread the love


Oleh: CH. Sri Siwiyanti
Mahasiswa Magister Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta

Di tengah arus perubahan zaman yang semakin cepat, dunia pendidikan menghadapi tantangan besar: bagaimana mencetak generasi yang tak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berakhlak mulia? Di sinilah pentingnya pendidikan karakter hadir sebagai fondasi utama. Dan sebelum istilah “pendidikan karakter” menjadi wacana nasional, Ki Hajar Dewantara sudah lebih dahulu menanamkan konsep yang sama lewat istilah budi pekerti. Sebagai Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar tidak hanya memikirkan bagaimana anak-anak Indonesia cerdas dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga bagaimana mereka tumbuh sebagai manusia yang utuh dan berpikiran jernih, berhati baik, dan bertindak dengan sopan. Baginya, pendidikan tidak sekadar soal transfer ilmu, tetapi juga soal pembentukan sikap dan kepribadian.
Apa Itu Pendidikan Budi Pekerti?
Budi pekerti mencerminkan nilai-nilai dasar dalam hidup, seperti kejujuran, tanggung jawab, hormat kepada orang lain, empati, dan kedisiplinan. Pendidikan budi pekerti adalah proses menanamkan nilai-nilai itu melalui pembiasaan, teladan, dan lingkungan yang kondusif. Dalam pandangan Ki Hajar, karakter seseorang terbentuk dari perpaduan antara warisan genetik (bawaan lahir), lingkungan sosial, dan terutama pengaruh pendidikan. Untuk itu, Ki Hajar mengenalkan konsep “Tri Pusat Pendidikan”, yaitu tiga lingkungan utama pembentuk kepribadian anak: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya tidak bisa berdiri sendiri. Anak tidak hanya belajar dari guru di kelas, tetapi juga dari teladan orang tua di rumah dan interaksi sosial di lingkungan sekitar.
Pendidikan Karakter Adalah Kelanjutan dari Budi Pekerti
Istilah pendidikan karakter sudah menjadi bagian penting dalam dunia pendidikan Indonesia. Padahal, konsep ini sejatinya merupakan kelanjutan dari gagasan pendidikan budi pekerti yang telah lama diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara. Pemerintah pun telah menunjukkan keseriusannya dalam mengembangkan pendidikan karakter melalui sejumlah regulasi. Di antaranya, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang beriman, berakhlak mulia, cakap, dan bertanggung jawab. Kemudian, Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menekankan pentingnya kompetensi kepribadian dan sosial bagi seorang pendidik. Selanjutnya, Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti secara khusus mengatur berbagai bentuk pembiasaan positif yang perlu diterapkan di lingkungan sekolah. Sementara itu, Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam membentuk karakter peserta didik. Keempat kebijakan ini secara jelas memperkuat pandangan bahwa pendidikan tidak hanya bertujuan mencetak lulusan yang cerdas secara akademik, tetapi juga membentuk pribadi yang berkarakter mulia. Negara pun mengakui bahwa pendidikan karakter merupakan kebutuhan mendesak di era modern yang sarat tantangan moral dan sosial..
Metode Ki Hajar: Momong, Among, Ngemong
Salah satu kontribusi besar Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan adalah pendekatan khasnya yang sarat makna, yaitu konsep momong, among, dan ngemong. Ketiganya mencerminkan cara mendidik yang humanis dan menyeluruh. Momong berarti merawat anak dengan kasih sayang dan ketelatenan, memberikan perhatian penuh pada tumbuh kembangnya. Among mengandung makna membimbing anak dengan kesadaran penuh tanpa tekanan, memberi ruang kebebasan yang bertanggung jawab. Sementara ngemong adalah mendampingi dan membantu anak agar potensinya berkembang secara optimal sesuai kodrat alamnya. Pendekatan ini sangat relevan dengan prinsip learning by doing dalam pendidikan modern, di mana anak belajar tidak hanya dari teori, tetapi juga dari pengalaman langsung, keteladanan guru, serta rutinitas harian yang membentuk karakter secara alami.
Relevansi Gagasan Ki Hajar di Masa Kini
Kita tidak bisa menutup mata terhadap kondisi moral generasi muda saat ini. Maraknya kekerasan, kasus perundungan, kecanduan gadget, bahkan penurunan rasa hormat kepada guru dan orang tua, adalah sinyal bahwa kita perlu memperkuat kembali nilai-nilai dasar. Di sinilah ajaran Ki Hajar menjadi terang benderang. Sekolah-sekolah saat ini sudah mulai menerapkan kegiatan positif seperti tadarus pagi, salaman dengan guru, doa bersama, dan kegiatan sosial. Ini merupakan wujud nyata dari implementasi pendidikan karakter. Meskipun sederhana, kebiasaan-kebiasaan ini sangat efektif dalam membentuk pola pikir dan perilaku anak.
Peran Strategis Guru Sebagai Teladan
Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, guru diwajibkan memiliki empat kompetensi, termasuk kompetensi kepribadian dan sosial. Ini selaras dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara, yang menekankan bahwa guru harus menjadi sosok teladan, bukan sekadar pengajar. Ki Hajar menyebut guru sebagai “pamong”, yang tugasnya adalah menuntun anak, bukan memaksa. Guru sejati adalah yang mampu menjadi panutan dalam sikap, tutur kata, dan cara hidupnya. Dalam pendidikan karakter, keteladanan jauh lebih kuat pengaruhnya dibanding sekadar ceramah moral.
Kembali ke Akar: Pendidikan yang Membebaskan dan Membentuk
Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “Pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak.” Artinya, pendidikan bukan proses menjejalkan informasi, melainkan membimbing agar anak-anak tumbuh menjadi manusia yang merdeka—dalam berpikir, merasa, dan bertindak. Budi pekerti bukan sekadar pelengkap kurikulum, melainkan fondasi pendidikan itu sendiri. Tanpa karakter, kepintaran bisa kehilangan arah. Sebaliknya, dengan karakter yang kuat, seseorang bisa memberi makna pada kecerdasannya.
Harapan: Generasi Emas Bermoral Mulia
Jika sekolah, keluarga, dan masyarakat bersinergi dalam menanamkan nilai-nilai luhur ini, maka kita bisa berharap lahirnya generasi emas, yaitu anak-anak yang tidak hanya pintar, tapi juga punya nurani, empati, dan tanggung jawab sosial. Akhirnya, ajaran Ki Hajar Dewantara bukan hanya warisan sejarah, tapi juga arah masa depan. Pendidikan budi pekerti adalah jawaban atas krisis moral zaman ini. Saatnya kita kembali pada akar, karena dari sanalah tumbuh kekuatan sejati pendidikan Indonesia.

editor: cosmas