Wayang, Dalam Pandangan Mahasiswa Asing: dari Lokal Menjadi Internasional

Spread the love
Setyasih Harini

Setyasih Harini, Agung Yudhistira Nugroho

Dosen Universitas Slamet Riyadi

Wayang, kesenian Surakarta (Solo) yang kini semakin mendunia. Ingat, wayang yang berkembang di Kota Bengawan ini awalnya menjadi pertunjukan dalam acara atau upacara khusus bagi keluarga istana. Artinya, hanya kalangan bangsawan saja yang dapat menikmati pagelaran wayang yang diselenggarakan dalam lingkungan istana.  Pemerintah Kota sendiri mencatat bahwa wayang secara historis hanya menjadi tontonan dalam acara ulang tahun, penobatan raja seperti Mangkunegara, serta perhelatan keluarga Mangkunegara.  Wayang menjadi seni pertunjukan yang dapat dinikmati masyarakat baru terjadi pada masa pemerintahan Mangkunegara V (1881-1896) (https://surakarta.go.id/?p=26328).

Bagi generasi baby boomer yang terlahir tahun 1940-an hingga 1960-an, wayang menjadi tontonan favorit dan bergengsi. Meski pada masa itu, perang untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan negara masih berkecamuk. Masyarakat masih disibukkan dengan perjuangan untuk menyelamatkan diri, keluarga, dan masyarakat agar terbebas dari rongrongan musuh. Namun, komunitas kesenian tradisional terutama wayang justru mengalami masa keemasan. Kejayaan kesenian wayang tidak lepas dari kiprah Paku Buwono X melalui pembangunan Taman Sriwedari sebagai tempat pagelaran wayang orang (https://www.detik.com).

Bagaimana pandangan generasi “Z” terhadap wayang

Generasi “Z” yang terlahir pada tahun 1997-2012 melihat wayang dari sisi yang berbeda. Umumnya, generasi “Z” sedikit paham dengan para tokoh wayang, terutama yang sempat menjadi materi pelajaran di sekolah. Tokoh wayang yang masih ditorehkan dalam pikiran para generasi “Z” antara lain: punakawan yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Untuk tokoh lain misalnya para ksatria Pandawa yakni: Yudhistira, Bima, Arjuna, dan si kembar Nakula dan Sadewa. Meskipun hapal namanya, sebagian generasi “Z” tidak hapal untuk menunjukkan seperti apa figur Yudhistira sebagai orang pertama dalam jajaran ksatria Pandawa, sang pembela kebenaran.

Minimnya ketertarikan dan minat generasi “Z” terhadap wayang mungkin disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, orang tua para generasi “Z” tidak semuanya tertarik pada kesenian tradisional seperti wayang. Cerita yang terkadang sulit dimengerti ditambah dengan penggunaan Bahasa Jawa yang semakin sedikit dipahami oleh masyarakat setempat. Kedua, perlunya inovasi dan kreativitas dari para seniman kesenian tradisional agar lebih menarik. Ketiga, ditetapkannya regulasi untuk  pembelajaran kesenian lokal di Lembaga Pendidikan dari Pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi

Internasionalisasi Wayang Melalui Sentuhan Mahasiswa Asing

Kini, saatnya sudah tiba. Meskipun bisa dikatakan agak terlambat, namun ada kemajuan yang perlu diapresiasi dan penghormatan yang tinggi kepada pemerintah Kota Surakarta. Melalui Program Beasiswa Dharmasiswa, ratusan mahasiswa asing berlomba untuk mengenyam pendidikan dan mendalami budaya lokal di kota Solo ini. Melalui proses yang panjang, mahasiswa asing sebagai penerima Dharmasiswa meleburkan diri dan menyatu dengan kehidupan masyarakat agar lebih mengetahui dan mendalami kharakter orang Solo. Adapun budaya yang dipelajari oleh para mahasiswa asing selain kesenian karawitan adalah seni pedalangan.

Tekla Enikő Benczi, seorang penerima beasiswa dari University of Connecticut (UCONN), Rumania menyampaikan keingingannya untuk mempelajari seni karawitan dan pedalangan. Menurutnya, alunan musik yang keluar dari alat musik gamelan sangatlah khas, unik, dan sulit ditemui di negaranya. Ketertarikannya pada seni karawitan dimulai sejak ada seniman Indonesia yang menyelenggarakan kesenian gamelan di Rumania. Dalam festival wayang, Tekla sempat memainkan gamelan sharon dan wayang saat perang kembang antara Abimanyu dan Cakil.

Sedangkan Holly Richmond, seorang alumnus Universitas Connecticut (University of Connecticut-UCONN) memaparkan perjuangannya untuk sampai ke Solo. Di awal kehidupan barunya di Kota Solo, Holly harus berupaya keras dalam beradaptasi baik dengan masyarakat maupun budayanya. Tekadnya untuk belajar karawitan dan seni pedalangan menjadi pemicu dan semangat yang terus berkobar bagi Holly untuk menempuh studi budaya Jawa.

Lain halnya dengan Eszter Tünde Virók dari Hongaria. Setelah tamat dari Kelet István AMI (art high school),  Eszter langsung memutuskan untuk mengadakan perjalanan jauh ke Indonesia. Melalui beasiswa Dharmasiswa inilah Eszter memilih kota Solo sebagai tempat yang cocok baginya untuk belajar budaya lokal khususnya karawitan dan pedalangan. Menurutnya, wayang bukan sekadar boneka seperti yang ada di negara asalnya. Seseorang yang mampu memainkan wayang baginya adalah mumpuni secara fisik dan batin. Kemampuan secara fisik dilihat dari keterampilan seorang dalang dalam memainkan wayang dalam waktu lama. Dalang  yang memainkan wayang juga harus mumpuni secara batiniah agar menjaga emosi tetap stabil, menahan rasa kantuk bahkan buang air kecil.

Pengalaman tersendiri yang dituturkan oleh para mahasiswa asing yang tinggal di Kota Bengawan ini menjadi realita baru yang memberi arti signifikan. Secara fundamental, para penerima beasiswa Dharmasiswa telah meninggalkan keluarga dan negaranya datang ke Kota Solo. Niat dan motivasi besar untuk belajar seni tradisional yakni karawitan dan pedalangan sangat layak mendapat apresiasi yang luar biasa. Disadari maupun tidak, kehadiran para mahasiswa asing telah menginternasionalisasikan kesenian tradisional pertunjukan wayang. Citizen diplomat telah datang dari berbagai negara untuk memahami, mendalami, dan mempraktekkan kesenian wayang di negara asalnya yakni Rumania, Amerika Serikat, dan Hongaria. Dengan ini semoga kesenian karawitan dan wayang semakin dikenal di berbagai negara.