HRW: Kebebasan Berpendapat di Indonesia Menurun

Spread the love

Polisi menangkap seorang aktivis dalam unjuk rasa mengecam pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial yang dinilai oleh banyak pihak sebagai usaha pemerintah untuk meningkatkan investasi dengan mengorbankan hak-hak buruh dan kelestarian lingkungan, di Surabaya, 8 Oktober 2020. AFP

Jakarta, POSKITA.CO = Laporan tahunan lembaga HAM itu juga menyimpulkan bahwa perlindungan atas hak-hak minoritas masih buruk.

Kebebasan berpendapat di Indonesia semakin dibungkam dan dikekang pada tahun 2020, dimana jurnalis dan aktivis menghadapi ancaman, deportasi, hukuman penjara dan serangan digital, demikian menurut lembaga advokasi hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW), Rabu (13/1), dalam laporan tahunannya.

Dalam laporan setebal 386 halaman bertajuk Laporan Dunia 2021 mengenai catatan hak asasi manusia (HAM) pada tahun 2020 itu, HRW mengatakan Indonesia mengalami kemunduran dalam melindungi hak-hak kebebasan sipil dan media setelah empat situs berita, termasuk Tempo.co dan Tirto.id, menjadi sasaran serangan digital pada Agustus 2020.

“Empat organisasi media berita menjadi sasaran peretasan dan serangan digital lainnya setelah menerbitkan cerita kritis tentang keterlibatan militer dalam mendorong vaksin COVID-19,” kata HRW dalam laporannya yang diterima BenarNews, Rabu.

Pemerintah melibatkan tentara dan polisi dalam penanganan pandemi COVID-19, termasuk dalam penegakan protokol kesehatan yang salah satunya menindak warga yang tidak mengenakan masker.

Bahkan Badan Intelijen Negara (BIN) yang seharusnya bertugas mengumpulkan informasi bagi presiden, aktif ikut serta melakukan pelacakan massal warga yang terjangkit COVID-19.

Sejumlah media itu sempat mengeluarkan laporan mengenai dana yang diperoleh BIN untuk mengadakan tes massal COVID-19, termasuk mengimpor alat tes dari sejumlah negara.

Tidak hanya upaya peretasan terhadap sejumlah media nasional yang berbasis di Jakarta, lembaga bermarkas di New York itu juga ikut menyoroti penangkapan terhadap jurnalis, seperti penangkapan Diananta Sumedi, di Kalimantan Selatan.

Diananta ditahan karena menulis berita soal sengketa tanah antara masyarakat adat dan perusahaan sawit dalam tulisan yang berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” yang dimuat di Banjarhits.id pada 9 November 2019.

“Dia harus menjalani hukuman selama tiga bulan penjara di Kotabaru, Kalimantan Selatan, hingga Agustus setelah menulis berita soal tentang sengketa tanah antara masyarakat adat Dayak dan perusahaan kelapa sawit Jhonlin,” tulis HRW.

Dalam laporannya itu, HRW juga menyoroti upaya pembungkaman kebebasan menyatakan pendapat yang diduga dilakukan pihak intelijen pemerintah terhadap Universitas Lampung, pada Juni 2020.

Saat itu Lembaga Pers Mahasiswa Lampung (Teknokra) menggelar Webinar tentang rasisme terhadap etnis Papua.

“Sesaat sebelum webinar, editor Teknokra menerima pesan ancaman melalui WhatsApp dari akun tanpa nama, sementara seorang editor lain lembaga pers tersebut mengaku akun Gojek-nya diretas,” kata HRW.

Pada bulan September polisi menangkap tiga jurnalis mahasiswa setelah mereka bergabung dengan nelayan di kapal mereka untuk memprotes penambangan pasir di Pulau Kodingareng, Makassar.

Selain itu HRW juga menyoroti penangkapan editor situs berita lingkungan Mongabay asal Amerika Serikat, Philip Jacobson, dengan alasan pelanggaran keimigrasian.

Jacobson berada di Indonesia sejak Desember 2019 dan menemui sejumlah koleganya di Kalimantan Tengah.

Pada pertengahan Desember tahun itu, dia diketahui meliput aksi yang digelar Aliansi Bela Peladang Kalimantan Tengah, di depan kantor DPRD dan Polda Kalimantan Tengah.

Pada 31 Januari 2020, dia dideportasi dari Indonesia setelah menghabiskan 45 hari di tahanan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, karena dugaan pelanggaran visa.

Selain beberapa kasus tersebut, HRW juga mencatat sedikitnya 56 jurnalis dipukuli, diancam, dan ditangkap sewenang-wenang di Malang, Jakarta, dan Surabaya, saat meliput penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan DPR dan Pemerintah pada Oktober 2020.

Kebebasan beragama

HRW juga menyoroti berbagai upaya yang bertentangan dengan kebebasan beragama di Indonesia. Dalam laporannya, HRW menyebut kepolisian Indonesia menangkap setidaknya 38 orang dengan dugaan penistaan agama di 16 provinsi pada tahun 2020.

Termasuk di dalamnya, Suzethe Margareta, perempuan penderita skizofrenia yang didakwa dengan pasal penistaan agama karena membawa anjing ke masjid di Bogor walaupun ia akhirnya divonis bebas oleh pengadilan, tulis laporan itu.

HRW juga melaporkan pada bulan Agustus, polisi Bandung menangkap Apollinaris Darmawan, seorang pensiunan Katolik, yang telah menulis sebuah buku dan memposting video di YouTube yang mempertanyakan ajaran Islam.

Selain itu HRW juga menyoroti kesulitan Umat Kristen di Indonesia di sejumlah provinsi yang mayoritas berpenduduk Muslim untuk membuka gereja baru.

“Di bulan Januari, Santo Joseph Gereja Katolik di Tanjung Balai, Pulau Karimun, dicabut izin mendirikan bangunannya setelah sekelompok Muslim setempat memprotes renovasi tersebut,” tulis HRW.

Pada 7 September, seorang bupati di Jonggol, Jawa Barat, memerintahkan Pdt. Donfri Polli, seorang pendeta Pantekosta Kristen, menghentikan kebaktian Minggu, menyatakan bahwa dia tidak memiliki izin untuk menjalankan gereja.

Pada bulan Maret, 15 warga mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung menuntut pemerintah menghentikan penutupan ribuan rumah ibadah yang pada umumnya gereja, di bawah peraturan “kerukunan umat beragama” yang diskriminatif. Pada bulan Juni, Mahkamah Agung menolak petisi tersebut, sebuah keputusan yang dipuji Majelis Ulama Indonesia yang telah memfasilitasi diskriminasi terhadap agama minoritas, demikian HRW.

Hingga laporan ini ditulis pemerintah belum memberikan jawaban atas sejumlah kasus yang disampaikan lembaga kajian HAM internasional itu. BenarNews telah meminta komentar dari sejumah pejabat terkait, namun belum beroleh jawaban.

sumber: benarnews.org

Cos/*