Ini Tiga Rekomendasi Komas HAM Terkait Petugas Pemilu yang Meninggal Dunia dan Sakit
JAKARTA, POSKITA.co – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia menyatakan belum menemukan indikasi adanya kejanggalan dalam peristiwa meninggalnya petugas penyelenggara pemilu.
“Namun demikian sesuai dengan UU kesehatan untuk mengetahui sebab kematian yang lebih valid dari seseorang adalah melalui tindakan autopsi di mana persetujuan keluarga petugas menjadi syarat utamanya,” demikian salah satu rekomendasi KOMNAS HAM yang diterima Poskita.co, Sabtu, (25/5/2019), yang beranggotakan Ahmad Taufan Damanik, Hairansyah, Sandrayati Moniaga, Amiruddin, Beka Ulung Hapsara, Munafrizal Manan dan M Choirul Anam.
Rekomendasi itu demi meningkatkan kualitas pemilu dan penghormatan atas hak untuk hidup (right to life) yang merupakan “supreme human rights”, yaitu bahwa tanpa pemenuhan hak hidup, hak-hak asasi manusian lain tidak akan mempunyai arti apa-apa. Oleh karenanya, negara memiliki kewajiban tertinggi untuk mencegah dan memulihkan peristiwa yang menyebabkan hilangnya hak untuk hidup.
Rekomendasi kedua, melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap sistem kepemiluan yang berimbas pada kematian dan sakit bagi penyelenggara terutama KPPS, PPS, PPK, Pengawas dan Petugas Keamanan, baik aspek regulasi persyaratan mengenai rekruitmen, usia, beban kerja, jaminan kesehatan (asuransi), kelayakan honor, dan logistik kepemiluan.
Ketiga, memastikan adanya tanggung jawab oleh Negara, baik melalui Pemerintah, DPR, KPU dan Bawaslu RI untuk memastikan adanya penanganan terhadap petugas baik meninggal dan sakit, termasuk pemulihannya sehingga tidak ada lagi korban jiwa selanjutnya. Termasuk memberikan pembebasan biaya pengobatan bagi petugas sakit dan segera pencairan santunan oleh Pemerintah.
Rekomendasi di atas sebagai tindak lanjut putusan Sidang Paripurna Komnas HAM RI pada 6 Mei 2019 dan berbagai laporan masyarakat sipil ke Komnas HAM RI terkait dengan peristiwa kematian dan sakit yang diderita KPPS, PPS, PPK, Pengawas dan Petugas Keamanan yang bertugas selama penyelenggaraan pemilu 2019, Tim Pemantauan Pemilu 2019 Komnas HAM RI secara serentak melakukan pemantauan lapangan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten pada 15-18 Mei 2019.
Serangkaian tindakan tersebut dilakukan dengan meminta keterangan langsung dari keluarga petugas yang meninggal dunia, rekan KPPS, dan petugas sakit secara langsung, serta data-data dari KPU Provinsi, Bawaslu Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, serta Dinas Kesehatan Provinsi atau Kabupaten/Kota di wilayah sebagaimana dimaksud.
Jumlah petugas yang dikunjungi yaitu Jawa Tengah tersebar di Kabupaten Demak (4 petugas) dan Kabupaten Karanganyar (4 petugas); Jawa Barat(5 petugas); Banten tersebar di Kota Serang (2 petugas), Kabupaten Serang (5 petugas) dan Kabupaten Tangerang (7 petugas); dan Jawa Timur tersebar di Lamongan (1 petugas), Bojonegoro (3 petugas), Lumajang (3 petugas), Pasuruan (3 petugas), Kota Surabaya (11 petugas). Kegiatan ini sebagai wujud penghormatan atas Hak Hidup sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Komnas HAM dalam kegiatan pemantauan tersebut menemukan dan mencatat beberapa temuan sebagai berikut:
Aspek Regulasi Kepemiluan, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan PKPU memberikan batasan jumlah petugas baik KPPS, PPK, PPS, Pengawas dan Petugas Keamanan. Sementara adanya penyelenggaraan pemilu serentak memberikan tambahan tugas dari yang semula hanya 4 kotak menjadi 5 kotak.
Walaupun KPU berdasarkan hasil simulasi telah mengurangi jumlah pemilih dalam TPS, yang semula paling banyak 500 menjadi hanya 300 pemilih setiap TPS, namun dalam pelaksanaanya antusiasme pemilih dalam berpartisipasi, saksi yang kritis, dan adanya pengawas TPS membuat petugas KPSS berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya sehingga waktu penghitungan menjadi lebih panjang. Padahal sebelum pemungutan suara dilaksanakan, petugas KPPS sudah melaksanakan tugas menulis dan membagikan C6, menyiapkan pembuatan TPS dll.
Demikian halnya penghitungan suara yang dilakukan tanpa jeda sampai dini hari bahkan pagi hari berikutnya membuat petugas KPPS tidak memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat sehingga menimbulkan tingkat kelelahan yang tinggi. Hal ini yang diduga memicu munculnya berbagai macam gejala penyakit.
Komnas HAM RI melihat faktor kelalaian dengan menurunkan standar regulasi persyaratan KPPS tentang syarat mampu secara jasmani dan rohani serta bebas dari penyalahgunaan narkoba dari yang semula berdasarkan hasil pemeriksaan rumah sakit atau puskemas bisa diganti dengan surat pernyataan dari yang bersangkutan, sebagaimana ketentuan Pasal 72 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu jo. Pasal 36 ayat (1) huruf g PKPU Nomor 36 Tahun 2018 mengatur bahwa syarat untuk menjadi anggota PPK, PPS dan KPPS adalah “mampu secara jasmani, rohani dan bebas dari penyalahgunaan narkotika”. Dengan demikian syarat untuk menjadi petugas penyelenggara pemilu adalah orang yang betul-betul sehat dinyatakan oleh dokter. Akan tetapi secara faktual, rata-rata hanya Surat Keterangan Sehat biasa dari Puskemas yang tidak mencantumkan riwayat/resiko kesehatan petugas dan bahkan Surat Penyataan Sehat Pribadi juga diterima. Dampaknya tidak ada screening terhadap derajat kesehatan petugas dikaitkan dengan beban tugasnya.
Selain itu, posisi KPPS PPK PPS lebih diposisikan pada aspek kerelawanan/volunteristik sehingga negara cenderung abai. Belum adanya komitmen yang kuat dari negara, baik pemerintah dan DPR RI yang menempatkan para KPPS, PPS, PPK, Pengawas dan Petugas Keamanan sebatas petugas volunteristik sehingga perspektif perlindungan terhadap mereka menjadi lemah – baik aspek asuransi kesehatan dan pembiayaan lainnya seperti honor dan pemenuhan syarat administrasi lainnya tidak ditanggung untuk menjadi petugas.
Mengenai proses rekruitmen terutama usia hanya mempersyaratkan minimal 17 (tujuh belas) tahun sebagaimana Pasal 36 huruf b PKPU Nomor 36 tahun 2018, sedangkan batas usia maksimal tidak diatur. Dengan demikian situasi ini menjadi salah satu faktor kerentanan terhadap penyelenggara sebab usia rata-rata yang meninggal dari data Komnas HAM RI di atas 40 (empat puluh) tahun.
Komnas HAM RI mendorong adanya managemen losgitik yang baik pada penyelenggaraan Pemilu sehingga tidak memberatkan para KPPS, Pengawas dan Petugas Keamanan yang harus tetap mempersiapkan dan menjaga sampai menjelang hari pemungutan suara yang menyebabkan kurang istirahat.
Aspek Jaminan Kesehatan
Komnas HAM RI menemukan fakta adanya pengabaian terhadap perlindungan kesehatan terhadap petugas baik KPPS, PPS, PPK, Petugas Keamanan dan Pengawas Pemilu dalam pelaksanaan tugas kepemiluan 2019 – sehingga mereka ketika bermasalah secara fisik, tidak mendapat prioritas penanganan, tidak memiliki asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan sehingga berdampak pada pembiayaan untuk berobat secara mandiri (sebagian kecil dicover BPJS dan ada limitasi pembiayaan), implikasinya pelayanan terbatas dan akhirnya meninggal dunia, serta petugas yang sakit juga belum ada upaya penggantian biaya. Demikian juga terhadap petugas keguguran (misal di Jawa Tengah, 43 kasus) juga belum terlihat ada upaya maksimal dalam penanganannya.
Komnas HAM RI melihat tidak adanya langkah terpadu baik dari KPU, Bawaslu dan Kementerian Kesehatan sebelum adanya/jatuhnya petugas secara massal dalam upaya antisipasi dan penanganan terhadap petugas. Surat Edaran yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan baru dilakukan pada 8 Mei 2019 dan efektivitas di lapangan masih belum terlihat selain pendataan melalui Dinas Kabupaten/Kota.
Aspek Kerawanan/Kekerasan
Berdasarkan data-data, keterangan baik dari keluarga petugas, rekan KPPS, PPS, PPK, Pengawas dan petugas sakit, sampai saat ini belum ada tindakan yang bersifat intimidasi dan kekerasan fisik terhadap petugas baik oleh pasangan calon presiden-wakil presiden, partai politik dan/ataupun saksi-saksinya, serta pihak-pihak lainnya.
Berdasarkan hal tersebut Komnas HAM sampai saat ini belum menemukan indikasi tindak pidana yang mengarah pada kejahatan pemilu dalam penyelenggaraan pemilu. (COSMAS)