Notaris “Junianto” Dinilai Melanggar Kode Etik
SOLO (poskita.co) – Kesaksian notaris “Junianto” dalam sidang perkara tindak pidana penipuan, penggelapan, serta pemalsuan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara yang dimuat di sebuah media online, Selasa, (12/11) mendapat respon dari praktisi hukum, Rachman SH.
Penjelasan saksi Notaris “Junianto” dalam sidang perkara nomor : 1032/Pid.B/2018 di PN Jakarta Utara pada tanggal 12 November 2018 yang dimuat di sebuah media online, Rachman berpendapat sangat menghargai hak hak penulisan dari industri jurnalistik, tetapi praktisi hukum itu menilai pemberitaan yang terekspos sangat tidak berimbang karena wartawan yang profesional seharusnya meminta tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) selaku penuntut negara yang membela hak hak korban dalam perkara pidana. Atau setidak-tidaknya meminta klarifikasi dari korban yakni Albert Wiyogo sebelum menayangkan beritanya.
Menurut Rachman, satu perkara pidana telah melalui tahapan panjang dalam sisi pembuktian, dimulai dari penyelidikan, penyidikan. Sedang untuk penetapan tersangka tentu polisi memiliki 2 alat bukti yang sah menurut undang undang, lalu dilimpahkan ke Jaksa Penuntut umum setelah melalui beberapa kali P.19. akhirnya perkara ini dilimpahkan ke pengadilan sesuai surat dakwaan jaksa Nomor : 31/07/2018, dimana Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa Heryanto Chandra dengan pasal 378 KUHPidana dan atau Pasal 372 KUHPidana dan atau pasal 263 KUHPidana tentang penipuan, penggelapan dan pemalsuan.
Pertanyaannya, apakah keterangan saksi Notaris “Junianto” dapat membebaskan dan atau meringankan terdakwa Haryanto Chandra? Menurut saya keterangan saksi Notaris tidak akan mempengaruhi keputusan Hakim dalam memutuskan perkara ini, karena apa yang sudah didakwakan JPU berdasarkan berita acara Pemeriksaan penyidik kepolisian sudah sangat jelas terdakwa didakwa dengan pasal 378 , 372 , dan 263 KUHPidana . “Saya melihat Penasihat Hukum mencoba explore saksi untuk membuka fakta fakta baru dalam persidangan untuk membebaskan terdakwa,” terangnya.
Langkah ini, lanjut Rachman, adalah cara seorang Advokat dalam membela kliennya yang dijamin undang undang. “Akan tetapi menurut saya, kesaksian notaris tidak berhubungan hukum secara langsung dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Bahkan apa yang diterangkan Notaris dalam memberikan kesaksian ” adalah pelanggaran kode etik berat terhadap jabatan notaris, karena yang bersangkutan sudah menerbitkan dan atau melegalisir dokumen kemudian yang bersangkutan sendiri yang menjelaskan hal hal yang terjadi dalam proses tersebut. Ini adalah penyangkalan terhadap produk profesi notaris sendiri dan dapat dilaporkan ke Majelis pengawas Notaris Daerah atau ke Kepolisian jika terdapat unsur pidana,” paparnya.
Setelah mengikuti jalannya persidangan, praktisi hukum yang membuka praktik di Jakarta itu menilai sampai saat ini penasihat hukum terdakwa belum menyajikan kesaksian yang dapat mematahkan unsur-unsur pidananya. Sehingga sangat jelas terdakwa dimungkinkan akan dituntut jaksa 6 tahun penjara karena dalam perkara ini unsur penipuan, penggelapan dan pemalsuan sangat jelas.
Untuk mengungkap fakta di persidangan, Rachman meminta penasihat hukum terdakwa dapat membuktikan kapan, di mana saksi melihat pelapor atau korban Albert tanda tangan dan kenapa uang ditransfer ke rekening Haryanto selaku terdakwa dan ditulis biaya operasional serta uang di gunakan untuk keperluan pribadi.
Terkait kesaksian dari pihak Bank, lanjut Rachman, sangat jelas, bank telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan Bank Indonesia Nomor : 18/41/PBI/2016 tentang Billyet dan Giro, walaupun ada alasan Bank mengenai Standar Operasional Pelaksana (SOP) tetapi semuanya harus mematuhi peraturan BI. Dimana dalam peraturan BI, bank sudah diingatkan mengedepankan unsur kehati-hatiaan dan Bank memiliki kewenangan 1x 24 jam untuk mengklarifikasi identitas nasabah sebelum pencairan. Tetapi hal ini tidak di jalankan oleh bank dan hal ini sangat besar pengaruhnya dalam industri perbankan. Bank terkesan semborono mencairkan dana sebuah perusahaan yg memiliki badan hukum tanpa klarifikasi terlepas dari direktur yang mencairkan tetapi ingat ada komisaris, dan ada aturan main pencairan dana dalam setiap Corporate. (anto)