Wajah Digital Generasi Z

Spread the love

*Ichsan Fathurahman
Pasar Kliwon, Surakarta

Zaman semakin modern, teknologi semakin berkembang rupanya menjadikan generasi yang hidup di zamannya menjadi menunduk bak zombie. Teknologi hari ini menawarkan kemudahan-kemudahan informasi dan teknologi yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Semuanya sekarang berada dalam sentuhan jari. Lewat smartphone tipis apapun dapat dilakukan hari ini.

Parahnya pemuda-pemuda yang hidup di zaman ini tidak bisa lepas dengan smartphone. Hal itulah yang menggeser kebutuhan primer pemuda hari ini. Harta, tahta, gawai. Karena kemudahan akses informasi, pemuda berlomba-lomba untuk terus update hal-hal yang kekinian. Lain halnya dengan kemudahan komunikasi. Fitur dan aplikasi smartphone sekarang memangkas waktu bertemu, bukan hanya lewat suara, bahkan sekarang degan tatap muka. Lewat room chat aplikasi Line atau Whatsapp.

Kini menghubungi teman atau bahkan dosen lebih mudah dari pada janjian bertemu langsung. Pemuda ini juga senang sekali dengan eksistensi diri sekaligus bersosial media, lewat aplikasi instagram mencari hiburan, memasang foto terbaru, membuat story tentang apa yang sedang dilakukan, memperbaharui status di facebook atau sesekali berbalas komentar status. Pemuda ini dikenal dengan generasi Z.

Sejarah Generasi Z
Dalam esai berjudul “The Problem of Generation”, sosiolog Mannheim mengenalkan teorinya tentang generasi. Menurutnya, manusia-manusia di dunia ini akan saling memengaruhi dan membentuk karakter yang sama karena melewati masa sosio-sejarah yang sama. Maksudnya, manusia-manusia zaman Perang Dunia II dan manusia pasca-PD II pasti memiliki karakter yang berbeda, meski saling memengaruhi.

Pada 2012, ketika jurnalis Bruce Horovitz mengenalkan Generasi Z, rentang umur yang digunakan masih belum jelas. Tapi istilah itu mulai sering dipakai usai presentasi dari agen pemasaran Sparks and Honey viral pada 2014. Di sana, rentang umur yang dipakai mendeskripsikan Generasi Z adalah anak-anak yang lahir 1995 hingga 2014. Para ahli sepakat kalau Generasi Z adalah orang-orang yang lahir di generasi internet—generasi yang sudah menikmati keajaiban teknologi usai kelahiran internet.

Kehidupan Generasi Z
Begitulah generasi Z yang setiap kehidupannya selalu bersentuhan dengan internet. Dunia mereka lebih banyak dilakukan di dunia digital, jagat maya dibanding dunia nyata. Survey tirto.id menyebutkan rata-rata mereka menghabiskan 5 jam nya perhari untuk mengakses internet dan 90% menggunakan smartphone.

Padatnya waktu dan penuhnya aktivitas membuat mereka mencari yang serba cepat dan mudah akhirnya mulai menggantungkan segala macam aktivitas kesehariannya, sebut saja mulai urusan belanja, bisnis, hingga yang sering terjadi di kampus konsultasi belajar denga dosen. Di sinilah hadirnya gawai smartphone menjembatani urusan mereka. Serba mudah, cepat dan praktis.

Lebih jauhnya generasi ini memiliki kemampuan berbahasa di dunia digital lebih kaya. Sebab kemudahan interaksi dan kesempatan mendapatkan jaringan yang lebih luas memunculkan hasrat ingin mengekspose diri atau curhat online lewat kata-kata dibandingkan bertemu di dunia nyata. Dengan kemampuan komunikasi digital yang tinggi itulah, mereka mulai mengekspresikan keadaan diri dengan emoticon, sebagai bentuk pemadatan kalimat yang ingin disampaikan.

Lebih jauh larut tenggelam dalam dunia digital, mereka bebas berekspresi random menciptakan sikap yang mudah menjudge tanpa kroscek terlebih dahulu, memaki, misuh, berkomentar negatif sampai menyebarkan hoax.

Generasi Haus Respon
Ruang-ruang digital yang tercipta adalah campuran dari leburnya hal yang bersifat pribadi dan publik, generasi yang mempunyai hasrat diri ingin populis atau ingin diketahui orang lain yang mendasi memposting di ruang-ruang digital dengan harapan menadapatkan banyak respon dari khalayak. Pada permasalahan ini mereka mengumumkan dirinya dan kegiatan yang dilakukannya, apa yang dia makan, sedang nongkrong dimana, sedang belanja dimana dan sebagainya.

Akhirnya ruang-ruang digital  media sosial banjir akan kepentigan pribadi, kepentingan kelompok. Yang mengaburkan fakta. Lebih jauh yang ada adalah komentar atau bahasan yang mendangkalkan pikiran, sebab isinya adalah informasi yang tidak begitu penting. Hal semacam ini adalah peristiwa tidak tersampaikannya pendidikan lewat dunia digital karena tidak terjadinya proses tersampaikannya penanaman dan penyerapan suatu adab atau ilmu. Ditambah lagi tidak dilakukan secara tatap muka yang mengurangi proses transfer ilmu.

Tidak bisa dipungkiri, semakin berkembangnya teknologi memudahkan kehidupan sehari-hari. Jarak dapat dipangkas. Komunikasi dipersingkat dan tidak terbatas ruang. Kebebasan ekspresi dengan dunia di ujung jari. Seakan tanpa batasan-batasan etis dan adab kurang diperhatikan. Berbahasa dan bertingkah laku digital boleh ketika memperhatikan adab dan etis. (*)