Anak Difabel Perlu Mempunyai Kemampuan Pertahanan Diri
Solo (poskita.co) – Untuk menumbuhkan kepercayaan diri kepada anak difabel, Loveland Indonesa bekerja sama dengan Rumah Sinten mengadakan talkshow dengan tema “Perlukah Anak Difabel mempunyai kemampuan Pertahanan Diri?”, di Panggung Gesang Jl. Diponegro No. 34-37 Solo, Minggu (11/2).
Salah satu pembicara, Yustinus Joko Dwi N., M.Psi dalam paparannya, menjelaskan bentuk-bentuk pertahanan diri yang harus dikuasai oleh kaum difabel., selain kemampuan bela diri.
“Kemampuan beladiri jelas kita harus ngajari, tetapi di luar itu anak juga harus dibekali pengetahuan tentang pendidikan seksualitas, kita harus membedakan seks, seksual dan seksualitas. Tiga hal yang mirip tapi berbeda, seks itu jenis kelamin, ada laki-laki dan perempuan, kemudian ada seksual ini berhubungan dengan alat kelaminkalau seksualitas ini banyak, la ini mungkin juga berhubungan erat bagaimana kita memperlakukan pria dan wanita dalam masyarakat, karena permasalahan anak-anak berkebutuhan khusus banyak yang belum memahami 100% maka fungsi kita ini untuk memberikan pemahaman kepada mereka.” Jelasnya.
Lebih lanjut Yustinus menjelaskan bahwa anak difabel harus didorong untuk cepat beradaptasi.
“Tapi ingat kita sebagai terapis, di lingkungan sekitar kita jangan berpikir adaptasinya itu harus sama dengan anak-anak normal pada umumnya. Mereka coba kita maksimalkan, salah satunya dengan terapi bela diri agar mereka merasa mampu dan akhirnya mereka bisa mandiri secara pelan-pelan,” katanya.
Sedangkan pembicara lainnya, Yuliana, pertahanan diri anak difabel bisa dilihat dari motorik dan sensoriknya, misalnya ada temannya yang nakal memukul paling tidak bisa bertahan agar tidak sakit seperti itu. Ternyata pertahanan diri itu memang perlu, kita sebagai orang yang normal pun waktu kita jatuh secara reflek langsung menggerakkan tangannya untuk pertahanan diri agar tidak sakit. Ada juga misalnya kita lagi jalan-jalan menginjak puntung rokok langsung kita angkat kakinya, itu semua suatu pertahanan diri walaupun sederhana.
Ada anak-anak difabel yang hiposensitif, ketika kakinya menginjak api atau menginjak pecahan kaca dia tidak merasakan sama sekali walaupun sampai luka-luka, ada beberapa kasus seperti itu. Karena ada gangguan sensori sensasi taktil di kakinya sehingga ketika dia menginjak barang-barang yang mungkin berbahaya tidak merasakan, dan misalnya ketika dia sekolah temannya memukul dia tidak ada reflek untuk menangkis akhirnya badannya babak belur, bagaiaman dia bisa nangkis atau membalas, berdiri aja masih goyang-goyang.
“Pertahanan diri seperti itulah yang beberapa anak difabel itu bisa kita lihat masih kurang. Di sini sebagai terapis salah satu pendekatan yang bisa kita lagukan anak-anak seperti itu kita lakukan dengan pendekatan sensori itegrasi,” jelasnya.
Talkshow ini menghadirkan nara sumber Yustinus Joko Dwi N., M.Psi selaku psikolog, Prita Liliana ibunda yang dikarunia anak dengan autisme, Yuliana Tri Susilowati, A.Md, OT Therapist dan dipandu host Kak Mujadi Tani. (Aryadi)