Sampai Kapan Pertanian Tetap Jadul?
PERTANIAN masih dipersepsikan sebagai “yang terbelakang” bahkan miskin dan kurang bergengsi. Sementara industri jasa keuangan seperti bank dipersepsikan sebagai “yang modern” bahkan makmur dan berkelas.
Maka, lulusan Fakultas Pertanian pun tertarik menjadi karyawan bank. Ilmu pertanian yang mereka miliki sepertinya tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Dan, Presiden Joko Widodo pun tergelitik oleh realita ini.
Saat berpidato dalam acara dies natalis Institut Pertanian Bogor (IPB), Rabu (6/9),
Presiden Joko Widodo menyindir lulusan IPB yang tidak bekerja di sektor pertanian “Maaf Pak Rektor, tapi mahasiswa IPB banyak bekerja di bank… Saya cek direksi-direksi perbankan BUMN yang banyak dari IPB, manajer tengah banyak berasal dari IPB, terus yang mau jadi petani siapa,” katanya.
Entah disadari atau tidak, sebenarnya industri pertanian akan lebih banyak menyerap tenaga kerja ketimbang industri keuangan. Dulu, bank memiliki banyak karyawan untuk urusan teller (setor dan tarik tunai). Sekarang pegawai itu berkurang karena sudah digantikan oleh ATM. Begitu pula karyawan di bagian lain akan berkurang karena pekerjaan mereka bisa ditangani oleh komputer dan online.
Berbeda dengan sektor pertanian, dimana lini produksi tetap membutuhkan tenaga kerja, meski sebagian bisa diganti mesin. Serapan tenaga kerja pertanian sejak penyiapan lahan hingga pasca panen masih tinggi karena sulit digantikan oleh mesin dan online.
Sektor pertanian tak hanya terkait dengan serapan tenaga kerja , melain juga hal-hal strategis. Sektor pertanian bagi bangsa Indonesia memegang peran kunci dalam pengembangan perekonomian nasional. Peran tersebut diantaranya adalah sebagai penyedia pangan bagi 245 Juta penduduk, penyedia 38,07 juta lapangan kerja (33,32% dari total tenaga kerja), penyedia 87% bahan baku industri kecil dan menengah, penyumbang 14,72% PDB, penghasil devisa negara US$ 43,37 M, sumber utama (70%) pendapatan rumah tangga perdesaan serta pasar potensial bagi pengembangan industri domestik. Oleh karena itu, sektor pertanian diharapkan dapat berperan sebagai salah satu pilar utama penopang peradaban bangsa Indonesia.
Meski begitu, sektor pertanian tetap saja belum memikat kaum muda. Nilai tukar petani (pendapatan) masih rendah. Masyarakat kaget jika harga beras, daging, atau ikan tinggi. Maunya mereka harga tetap murah, tanpa mau tahu petani, peternak dan nelayan akan mendapat keuntungan berapa jika harga pangan murah.
Pertanian selalu stagnan bahkan mundur karena kebijakan pemerintah kurang peduli dan kurang strategis. Pertanian masih jauh dari terobosan kreatif, lantaran model pendidikan pertanian juga masih jadul (jaman dulu). Fakultas pertanian dan jurusannya masih “begitu-begitu saja”.
Hal ini juga disindir oleh Presiden Joko Widodo. Ia mencontohkan bahwa saat ini belum ada jurusan yang khusus mempelajari ritel pangan, dan manajemen logistik. Manajemen logistik nasional bisa ditata dengan baik kalau SDM-nya siap.
“Saya selalu melihat kalau masuk ke universitas, ada fakultas ekonomi. Jurusannya saya pasti hafal, pasti jurusan akuntansi. Itu sudah berpuluh-puluh tahun, pasti manajemen, ekonomi pembangunan,” katanya.
Ini peringatan tentang perlunya jurusan-jurusan baru yang sesuai perkembangan, bukan bertahan di zona mapan dengan jurusan jadul. Presiden berharap IPB memunculkan fakultas atau jurusan sesuai perkembangan kebutuhan sumber daya pendukung. Presiden yakin IPB dan lulusannya mampu menyiapkan para petani untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.
Nah, pendidikan pertanian yang kurang tanggap terhadap perkembangan dan kurang kreatif inilah yang menyebabkan lulusan SMA atau SMK kurang beeminat mendalami pertanian. Maka, sarjana pertanian pun makin sedikit.Indonesia adalah negara agraris, tapi sumber daya manusia (SDM) di bidang keilmuan pertanian terlihat makin kurang dari tahun ke tahun. Wakil Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI), Salman Dianda Anwar, menyebut, penyebab minimnya peminat mahasiswa berkuliah di pertanian karena kurangnya kesempatan kerja buat mereka.
Lulusan pertanian termasuk di dalamnya peternakan dan perikanan hanya 3,32 persen dari seluruh lulusan di Indonesia.
Fenomena ini, kata Salman, tidak hanya terjadi di Indonesia. Di luar negeri, peminat mahasiswa mempelajari ilmu pertanian semakin rendah.
Di Brasil 1,78 persen dari total sarjana adalah sarjana pertanian, Amerika Serikat 1,06 persen, Jepang 2,28 persen, Malaysia 0,58 persen dan Korea Selatan 1,2 persen. Minimnya lulusan pertanian seakan-akan menjadi tren dunia. (W. Dios)