Hari Kedua,  18 Delegasi Nasional dan Internasional Ramaikan IMF 2020

Spread the love

SOLO, POSKITA.CO – Hari kedua  International Mask Festival (IMF) 2020 melalui tema “Face Mask of Global Society”, seniman dari dalam maupun luar negeri menampilkan karya seninya secara daring.

Berbekal dari peran masker sebagai pelindung diri bagi masyarakat, IMF pada tahun ketujuh penyelenggaraan ini, secara virtual mengenalkan topeng lebih mendalam kepada masyarakat dunia digital. Acara tersebut hadir sebagai wujud penggambaran perkembangan topeng klasik ke kontemporer melalui sebuah media baru.

Seperti sebelumnya, virtual event IMF hari kedua dimulai pada pukul 17.00 WIB dan disiarkan pada platform Youtube SIPA Festival langsung dari Studio Lokananta.

Setelah mampu mengajak lebih dari enam ribu penonton di hari sebelumnya, IMF kembali hadir pada Hari Sabtu (20/6) dengan menghadirkan total 18 penampil secara daring.

Kadek Puspasari kembali hadir dengan karya baru hasil kolaborasi Perancis-Indonesia berjudul “Panji’s Uchrony”, menjadi penampil pembuka. Dilanjutkan penampilan Abib Igal Dance Project dari Kalimantan Tengah dengan karya “Determinasi”. Tari berjudul “Langgar” dari Banyumas menjadi penampilan ketiga, dibawakan oleh Otniel Tasman sebagai wujud ekspresi dialektika diri dan bentuk perlawanan terhadap tradisi Jawa yang bersifat Adiluhung. Selanjutnya, Komunitas Oengaran  Menari dari Semarang juga turut hadir dengan membawakan sajian “Topeng Kantaka”.

Acara selanjutnya penampilan dari delegasi Internasional dari Malaysia yakni Anak Seni Asia (ASA) mempersembahkan Tari Zapin dengan dikreasikan bersama seni topeng melalui karya berjudul “Ashliyyun”. Beberapa koleksi topeng dari The International Carnival and Mask Museum

of Binche di Belgia juga kembali ditampilkan pada IMF hari ini.

IMF 2020 juga menggelar sesi Webinar melibatkan empat pembicara Internasional dari New Zealand, Perancis, USA, dan Singapore, dimoderatori langsung oleh Daniel Haryodiningrat dari perwakilan  Museum Ulen Sentalu. Selesai sesi Webinar, virtual event IMF dilanjutkan dengan penampilan dari Padepokan Tari Langen Kusuma dari Ponorogo dengan “New Normal”, dan Royal Academy of Performing Arts dari Bhutan dengan persembahan “Thuen Pa Puen Zhey” menceritakan tentang pemahaman ajaran Budha.

Ditayangkan pula film dokumenter tentang pembuatan topeng dari Jepang dengan menggandeng seniman topeng bernama Hideta Kitazawa. Dilanjutkan dengan penampilan sajian “Tari Topeng Mina Tani” dari Sanggar Pandu Pati, “Angin dari Barat” oleh Widya Ayu Kusuma Wardani dari Purbalingga, serta penampilan Sanggar Asmoro Bangun dari Malang. Kemudian dilanjutkan persembahan dari Eko Ujang Kusnan Dariadi dengan karya “Tari Topeng Gunung Sari”.

Endah Laras, salah satu penyanyi keroncong legendaris turut memeriahkan IMF tahun ini. Melalui lagu “Kangen Konco”, Endah Laras menyampaikan kerinduannya terhadap teman-temannya khususnya sesama pekerja seni pertunjukkan, lama tidak berjumpa akibat adanya pandemi ini. Endah juga turut menyampaikan harapannya terhadap penyelenggaraan IMF 2020 ini,

“IMF di tengah pandemi pasti tidak mudah, penyelenggaraannya pun juga pasti lebih beda penanganannya. Tapi saya yakin, dengan niat baik IMF yang diselenggarakan di tengah pandemi ini. Harapannya bisa menjadi sesuatu yang bisa dinikmati, dijadikan penghiburan, edukasi untuk masyarakat supaya tidak jenuh jengah dengan keadaan, minimal sedikit mengobati, dan juga memberikan ruang publik untuk teman-teman berkarya,” ungkapnya.

Selepasnya, penampilan dari Sanggar Seni Panjiasmara dengan “Tari Topeng Panji” dan Ryan Art Dance Community dengan “Baragi Sato” memanjakan mata penonton. Dilanjut dengan cerita kerinduan masa lampau melalui karya “Dimensi Masa Lalu” oleh I Komang Adi Pranata.

Komunitas Reyog Singo Yogo menjadi penampil selanjutnya dengan membawakan sajian “Menang Tanpa Ngasorake”, diikuti oleh delegasi Maluku Utara dengan “Tari Coka Iba” oleh Ismullah Syarbin.

Penutupan Virtual event IMF 2020 dengan penampilan spesial dari guest star yakni Eko Supriyanto melalui karya “Unmasked”. Seniman yang akrab dipanggil Eko Pece ini mengaku memiliki ketertarikan sendiri terhadap kesenian topeng dan festival topeng. Dia mengungkapkan,

“Menurut saya topeng bukan hanya menjadi satu bentuk euforia yang harus kita tampilin, topeng itu menghiburnya begini, bentuknya begini. Tapi tadi, kita selenggarakan dengan cara mengundang salah satu maestro topeng yang ada di Solo, diskusi dengan beliau, melihat proses pembuatannya, bagaimana kesulitan dan challenge yang dihadapi Mas Narimo. Ini mengandung banyak perspektif, edukasinya ada, ekonominya juga masuk, sosialnya juga masuk, dan juga hubungan dengan lingkungan hidup,” pungkasnya.

Penulis:  Aryadi

Editor: Cosmas