Hoaks “Penganiayaan” Ratna Sarumpaet  Terbongkar,  Mafindo Serukan Empat  Tuntutan

Spread the love

Jakarta (Poskita.co)

Geger berita penganiayaan yang dialami Ratna Sarumpaet, yang akhirnya terbongkar sebagai hoaks (berita bohong) cermin dari demokrasi Indonesia yang menghalalkan segala cara. Atas peristiwa tersebut, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menyerukan empat tuntutan.  Apa itu?

Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, selaku komunitas anak bangsa yang peduli supaya hoaks dan fitnah menyerukan beberapa hal:

Pertama, menghentikan politik kebencian.

“Politik kebencian yang dikatalisasi dengan cepatnya penyebaran informasi melalui teknologi media sosial dan aplikasi percakapan, di tengah masyarakat kita yang rendah literasi, berpotensi menyebabkan semakin retaknya kerukunan bangsa. Sudah saatnya politik kebencian dibuang jauh dari praktek demokrasi kita,” kata Septiaji Eko Nugroho, Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia/Mafindo, kepada Poskita.co.

Kedua, mengajak elit politik untuk berkomitmen melawan hoaks politik.

“Bulan September 2018, tercatat ada lebih dari 53 hoaks politik, dengan 37 hoaks menyerang kubu Jokowi-Amin Ma’ruf, pemerintah dan pendukungnya, dan 16 hoaks yang menyerang kubu Prabowo-Sandiaga Uno. Sudah saatnya para elit politik menyadari bahwa kemenangan politik dengan mentoleransi penyebaran hoaks sejatinya adalah kekalahan bangsa dan anak cucu kita yang akan mewarisi dendam tak berkesudahan,” ujar Septiaji.

Komitmen melawan hoaks politik harus muncul dari semua elit politik yang pendapatnya menjadi rujukan bagi pengikutnya, dan tak cukup dengan tidak menggunakan hoaks sebagai bahan kampanye, tetapi juga mereka memberikan keteladanan untuk ikut bersuara keras ketika ada hoaks yang muncul, baik itu menyerang kawan atau lawan, baik itu bersumber dari teman atau bukan. Mereka harus mencontohkan bahwa kemenangan politik harus dicapai dengan martabat yang tinggi, yaitu tidak dengan menghalalkan segala cara, termasuk menggunakan hoaks dan fitnah.

Ketiga, gerakan Siskamling dan Literasi Digital oleh masyarakat dan komunitas.

“Masyarakat dan komunitas bisa berpartisipasi aktif dalam melakukan pembersihan konten negatif dalam lingkungan digital sekitarnya. Masyarakat bisa bergotong-royong melaporkan hoaks melalui platform media sosial yang ada, melalui aduankonten.id dari Kementrian Kominfo, Bawaslu, atau pun ke Polri,” ucap Septiaji,

Masyarakat pun perlu menyemarakkan gerakan edukasi literasi digital di lingkungannya, sehingga kualitas ketahanan informasi masyarakat meningkat, karena kemampuan menyaring informasi benar dan salah menjadi penting supaya tidak mudah terjebak oleh penyebaran informasi sesat.

Keempat, penegakan hukum yang tegas.

“Bagi pelaku dan aktor intelektual di balik penyebaran hoaks yang meresahkan dan menghasut masyarakat, penegakan hukum harus dilakukan supaya kepastian hukum terjamin. Namun penegakan hukum ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati, jangan sampai bertentangan dengan semangat kebebasan berekspresi yang dijamin oleh undang-undang,” papar Septiaji.

Perlu diketahui, terbongkarnya hoaks “penganiayaan” Ratna Sarumpaet merupakan cermin atas kualitas demokrasi Indonesia yang masih menghalalkan segala cara, termasuk menggunakan hoaks dan fitnah untuk menyerang lawan politiknya, yang notabene sudah masuk kategori kampanye hitam.

Menurut Septiajai, sesungguhnya hoaks ini hanyalah satu dari banyak hoaks lain yang masih beredar di masyarakat. Data dari database Mafindo selama bulan Juli-September 2018, yang bertepatan dengan persiapan dan permulaan Pilpres, ada 135 hoaks politik yang mendominasi, dari total 230 hoaks yang kami debunk (klarifikasi). Jika dibiarkan, maka dikhawatirkan kualitas demokrasi terancam, dan keributan akibat hoaks bisa mengarah ke disintegrasi bangsa. Dibutuhkan upaya serius untuk meredam penyebaran hoaks politik di masyarakat.

Hoaks Ratna Sarumpaet menjadi topik utama baik di media arus utama maupun media sosial, karena langsung melibatkan para elit politik di tingkat tertinggi. Hoaks ini nyaris menjadi bola liar yang menghantui kedamaian tahun politik ini, yang untungnya bisa langsung terhenti karena kesigapan Polri yang mampu mengungkap fakta kuat dalam waktu singkat, yang patut kita apresiasi tinggi. Hoaks ini pula sempat menyita perhatian publik, padahal ada banyak kejadian penting yang jauh lebih membutuhkan perhatian masyarakat, seperti upaya bersama membantu masyarakat yang terdampak bencana di Palu dan Lombok.

Momen terbukanya hoaks ini, seharusnya membuka mata kita bahwa penggunaan hoaks politik dalam berdemokrasi tak bisa lagi ditoleransi. Ia membuka jalan bagi terciptanya konflik di masyarakat, dan menghambat kemajuan negeri ini. Foto: Cosmas

COSMAS