Relevansi Pendidikan Budi Pekerti Tamansiswa dalam Pembelajaran Masa Kini

Spread the love


Oleh: Kumari
Mahasiswa Magister Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta

Di tengah kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, pendidikan tak lagi hanya soal angka-angka di rapor atau deretan prestasi akademik. Kini, lebih dari sebelumnya, kita membutuhkan manusia-manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter. Di sinilah ajaran Ki Hadjar Dewantara melalui Tamansiswa menjadi mercusuar pendidikan yang tak lekang oleh waktu, khususnya dalam hal pendidikan budi pekerti. Ki Hadjar Dewantara, sang bapak pendidikan Indonesia, bukan sekadar seorang pemikir, melainkan pendidik sejati yang percaya bahwa hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Lewat Tamansiswa, ia meletakkan fondasi penting tentang pendidikan yang utuh: menyentuh intelektual, emosional, moral, hingga spiritual peserta didik. Dalam konteks pembelajaran saat ini yang begitu dinamis, nilai-nilai budi pekerti dari ajaran Tamansiswa justru semakin relevan.
Budi Pekerti: Napas Panjang Pendidikan Tamansiswa
Tamansiswa tidak mendidik hanya untuk menjadikan peserta didik pintar, tetapi juga berbudi. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan tenggang rasa, menjadi napas dalam setiap proses belajar. Pendidikan bukanlah upaya penjinakan, melainkan pendampingan agar anak tumbuh sesuai kodrat alamnya.
Ki Hadjar merumuskan semboyan yang hidup hingga hari ini: “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Artinya, seorang guru harus menjadi teladan saat di depan, membangun semangat saat di tengah, dan memberikan dorongan dari belakang. Semboyan ini tidak hanya menjadi filosofi pengajaran, melainkan juga etika kepemimpinan dan dasar interaksi dalam dunia pendidikan. Ada pula Trilogi Pendidikan yang mendasari interaksi guru dan murid, dan Panca Dharma yang terdiri dari lima nilai utama dalam Tamansiswa, yaitu kemerdekaan, kebangsaan, kemanusiaan, kebudayaan, dan keagamaan. Kelimanya menegaskan bahwa pendidikan bukanlah ruang steril dari nilai-nilai, tetapi arena kehidupan itu sendiri.
Prinsip Tamansiswa yang Tetap Relevan
Meskipun Tamansiswa lahir lebih dari seabad yang lalu, semangat dan prinsip-prinsipnya tetap selaras dengan tantangan pendidikan masa kini. Salah satu prinsip utama yang relevan adalah kodrat alam sebagai titik awal. Setiap anak memiliki potensi dan keunikan yang berbeda, sehingga pendidikan yang baik harus menyesuaikan diri dengan karakteristik alami tersebut, bukan memaksakan standar yang seragam. Pendekatan ini sejalan dengan konsep differentiated learning yang kini banyak diterapkan di berbagai sekolah. Selain itu, prinsip kemerdekaan yang bertanggung jawab juga menjadi landasan penting. Pendidikan tidak hanya bertujuan untuk menjejalkan materi, tetapi harus membuka ruang bagi peserta didik untuk berpikir kritis, mengeksplorasi dirinya, dan bertumbuh dalam kesadaran akan tanggung jawab moral.
Selanjutnya, kekeluargaan dan gotong royong dalam pembelajaran menjadi ciri khas pendidikan Tamansiswa yang sangat relevan dalam membangun ekosistem belajar yang inklusif dan harmonis. Guru tidak lagi berperan sebagai otoritas mutlak, melainkan sebagai mitra yang membangun relasi hangat dengan peserta didik. Dalam suasana kebersamaan ini, nilai-nilai sosial dan emosional dapat berkembang dengan alami. Prinsip berikutnya adalah keteladanan guru sebagai pilar utama. Di tengah dominasi media sosial dan maraknya figur publik yang menjadi panutan, guru tetap memegang peran penting sebagai teladan nyata di ruang kelas. Perilaku guru dalam keseharian, baik dalam tutur kata, sikap, maupun cara menyikapi masalah—menjadi cerminan nilai-nilai yang akan ditiru oleh peserta didik.
Terakhir, Tamansiswa menekankan bahwa nilai adalah inti dari setiap mata pelajaran. Tidak ada pemisahan antara pelajaran akademik dan pembentukan karakter. Nilai-nilai seperti kejujuran, ketekunan, empati, dan tanggung jawab dapat dan harus ditanamkan melalui berbagai mata pelajaran. Misalnya, dalam Matematika ditanamkan kejujuran dalam mengerjakan soal dan ketekunan dalam berpikir logis; dalam IPS dibangun rasa cinta tanah air; sementara dalam Seni, peserta didik diajak mengekspresikan diri sekaligus membentuk kepekaan estetika dan etika. Dengan integrasi semacam ini, pendidikan tidak hanya menjadi sarana transfer ilmu, tetapi juga proses pematangan watak.
Menjawab Tantangan Zaman dengan Budi Pekerti
Tantangan pendidikan masa kini semakin kompleks dan multidimensional. Kita menghadapi krisis karakter yang mengkhawatirkan di tengah laju kemajuan teknologi dan globalisasi. Anak-anak tumbuh dalam budaya serba instan, terpapar konten-konten negatif dari media digital, serta mengalami penurunan nilai-nilai penghormatan terhadap guru, orang tua, dan sesama. Dalam situasi seperti ini, pendidikan budi pekerti bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan menjadi kebutuhan mendesak yang harus diintegrasikan secara menyeluruh dalam proses pembelajaran.
Ajaran Tamansiswa, dengan nilai-nilainya yang humanis dan kontekstual, menawarkan pendekatan yang adaptif terhadap tantangan zaman. Dalam pembelajaran daring, misalnya, guru dapat menanamkan etika digital melalui pembiasaan sikap sopan dalam berkomentar dan tanggung jawab terhadap tugas yang dikirim. Dalam aktivitas proyek kolaboratif, semangat gotong royong dan rasa tanggung jawab sosial bisa dibentuk melalui kerja tim yang saling menghargai dan membantu. Sementara itu, dalam asesmen formatif, guru tidak hanya menilai aspek kognitif peserta didik, tetapi juga memberikan umpan balik yang mendorong pertumbuhan karakter, seperti kejujuran, kedisiplinan, dan ketekunan. Dengan pendekatan-pendekatan ini, pendidikan budi pekerti dapat menjadi jawaban konkret atas krisis moral sekaligus membentuk peserta didik menjadi pribadi yang utuh.
Guru: Pilar Penentu Keberhasilan Budi Pekerti
Pendidikan budi pekerti tidak akan hidup tanpa peran guru yang sadar akan tugas mulianya. Guru bukan sekadar penyampai kurikulum, tetapi pengasuh jiwa dan karakter. Ia menjadi figur yang ngemong, momong, dan among—merawat, mendampingi, dan membimbing.
Ketika guru mempraktikkan nilai-nilai luhur dalam kesehariannya, peserta didik pun akan menangkap pesan moral secara implisit. Pendidikan karakter bukanlah proyek formal, tetapi proses harian yang menyatu dalam tutur kata, ekspresi wajah, dan perhatian yang tulus.
Tamansiswa, Pendidikan yang Menghidupkan
Lebih dari seratus tahun sejak berdirinya, Tamansiswa tetap menjadi oase di tengah dahaga pendidikan akan makna. Nilai-nilai budi pekerti yang diusungnya bukan hanya relevan, tetapi urgen. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, pendidikan karakter adalah jalan untuk menyelamatkan generasi. Menghidupkan kembali ajaran Tamansiswa bukan berarti kembali ke masa lalu, tetapi membawa nilai-nilai luhur itu untuk menjawab masa depan. Pendidikan yang baik bukan hanya mencetak juara olimpiade, tetapi juga manusia yang tahu malu saat berbohong, punya empati saat temannya kesusahan, dan tetap santun meski berbeda pendapat.
Budi pekerti bukan sekadar pelajaran—ia adalah napas pendidikan itu sendiri.