Ketoprak: Retas Identitas di Tengah Modernitas

Spread the love

Penulis: Setyasih Harini

Dosen Fisip, Universitas Slamet Riyadi

Siapa yang masih sering nonton ketoprak…

Saat ini, ketoprak semakin kurang diminati masyarakat terutama generasi muda. Minat masyarakat, terutama generasi muda, terhadap ketoprak semakin menurun. Ketoprak, sebagai seni tradisional khas masyarakat Surakarta dihadapkan dengan tantangan besar. Bola salju kesenian asing terus menggelinding dan nyaris menyapu kesenian rakyat secara keseluruhan. Padahal, seni dan masyarakat saling berinteraksi, tidak dapat dipisahkan, dan berkembang dalam kesatuan sepanjang Sejarah kehidupan manusia. Seni sebagai produk hasil pemikiran kreatif manusia dalam mengomunikasikan pengalaman yang dibingkai secara indah dan menarik agar dapat dinikmati orang lain. Kehadiran seni menjadi penting bukan sebatas sebagai hiburan namun terkandung nilai-nilai edukasi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Asal Mula ketoprak

Salah satu seni teater tradisional yang masih ada hingga sekarang adalah ketoprak. Dalam tulisan Acmad Dipoyono yang berjudul Revitalisasi Seni Pertunjukan Tradisional Ketoprak di Surakarta, ketoprak merupakan bagian dari seni teater tradisional. Jika dilihat dari jenisnya, teater tradisional Nusantara terbagi menjadi tiga yakni: 1) teater klasik yang dikembangkan dari balik tembok istana dengan cerita kisah para raja dan keluarganya; 2) teater rakyat sebagai jenis teater yang lebih sederhana yang menyatu dengan kehidupan masyarakat. Bentuk dari teater rakyat seperti permainan untuk pengisi waktu luang; 3) teater transisi merupakan teater rakyat yang sedikit banyak mendapat pengaruh dari teater Barat sehingga disebut sandiwara. Kajian Kasim Achmad dengan judul Teater Rakyat di Indonesia semakin menegaskan bahwa teater rakyat biasanya berbahasa daerah, dilakukan secara spontan dengan improvisatorik, serta diselingi dialog, tarian, nyanyian atau tembang seperti ketoprak.

Secara linguistik, ketoprak merupakan salah satu jenis kesenian dalam bentuk drama yang diperankan oleh sekelompok aktor di atas panggung, dengan berbagai tema. Beberapa tema yang diangkat dalam ketoprak seperti perjuangan melawan penjajah, dongeng, legenda Jawa, hingga cerita kehidupan sehari-hari yang juga diselingi dengan unsur humor. Tema cerita dalam pertunjukan ketoprak bervariasi. Biasanya diambil dari legenda atau sejarah Jawa, meskipun ada juga cerita fiktif. Banyak cerita yang diambil dari atau berlatar di negara asing (yang paling terkenal adalah cerita Sampek Engtay).

Ketoprak bukanlah nama biasa. Dalam tulisan Handung Kus Sudyarsana, nama ketoprak berasal dari alat musik yang terbuat dari bambu untuk mengusir burung di sawah. Alat musik itu bisa mengeluarkan suara “prak-prak” dan menjadi dominan dalam setiap pertunjukan. Pertunjukan ketoprak dikembangkan pertama kali oleh Raden Mas Tumenggung Wreksadiningrat pada tahun 1908. Pertunjukan ketoprak awal ketoprak masih sangat sederhana, baik alat-alat yang digunakan, cerita yang dibawakan maupun pakaian yang dikenakan oleh para pemainnya. Penggunaan tiprak tidaklah lama, yang kemudian digantikan dengan kendang, kentongan, dan suling sebagai iringan. Ceritanya masih sederhana yakni kehidupan sehari-hari masyarakat seperti bertani dan membatik. Iringan musiknya atau gendingnya masih sederhana seperti Mega Mendung, Kupu Tarung, Bluluk Tiba, atau Randha Ngangsu. Wujud dialog antarpemain juga sebatas tembang dan percakapan keseharian masyarakat desa. Pada pertunjukan awal ini, tidak ada persiapan atau latihan, semua mengalir begitu saja. Bahkan, ada komunikasi antara pemain dengan penonton untuk menghidupkan suasana pentas seni hiburan.

Pada tahun 1909, ketoprak menjadi hiburan bagi para tamu dalam pernikahan agung antara Paku Alam VII dengan putri Pakubuwono X di Kepatihan Surakarta. Masuknya seni pertunjukan ketoprak dalam istana menjadikannya semakin berkembang sebagai hiburan bukan hanya masyarakat tapi juga keluarga bangsawan. Ketika Pangeran Prangwadana memerintahkan ki Wisangkoro untuk menebang pohon nangka, pada saat itulah terjadi perubahan alat music dalam ketoprak. Tahun 1924, Ki Wisangkoro melakukan puasa selama 40 hari sebelum menebang pohon nangka untuk membuat lesung, Saat itu, semua benda memiliki nilai dan filosofi tinggi sehingga perlu ada laku sebelum digunakan. Setelah lesung jadi, Ki Wisangkoro menamakannya Kyai Wreksatama sebagai alat musik dominan dalam pertunjukan ketoprak. Pada tahun 1925, ketoprak mulai masuk ke Yogyakarta dengan pementasan perdana di Kampung Demangan oleh Grup Ketoprak Krida Madya Utama dengan sebutan ketoprak lesung. Sejak tahun 1925 ketoprak mengalami kemajuan dalam iringan musik dengan menggunakan lesung, rebana, disertai tarian dan tembang. Ceritanya juga lebih luas, para pemain sudah berias dan dengan berbagai jenis pakaian sesuai lakon yang dipentaskan.   

Ketoprak: Tumbuh dari Rakyat, Berjuang dalam Modernitas

Komunitas pegiat ketoprak meski dalam ruang dan pelita terbatas tapi masih menggeliat, kendati peminat dipertanyakan. Sebuat tantangan tersendiri bagi pegiat seni tradisional seperti pemain ketoprak dalam pusaran invasi budaya asing. Meskipun sifat budaya dapat diteruskan dari generasi ke generasi agar tidak punah namun kesadaran antargenerasi menjadi tonggaknya.

Ingat, globalisasi dan kemajuan tekonologi menumbuhkan desa global yang tidak dapat dibendung. Realita ini membawa perubahan signifikan terhadap seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk budaya. Budaya baru atau yang modern culture muncul dan berkembang dengan cepat. Kehadirannya jelas menjadi tantangan bagi traditional culture, yang berasal dari tradisi dan adat istiadat masyarakat lokal. Budaya baru yang terlahir dan berasal dari suatu negara dengan sifatnya yang transnasional mampu menembus ruang budaya dari berbagai negara.  Dengan karakternya yang dinamis, menjadi factor penting bagi generasi “Z” untuk menjadi penikmatnya. Bandingkan dengan budaya tradisional yang terlebih dahulu melekat dan didukung secara lokalitas masyarakat — mengharuskan pemilik budaya mewariskan pada generasi berikutnya.   

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta berusaha membangunkan sanggar-sanggar seni tradisional seperti ketoprak untuk pentas secara rutin. Seperti yang dilakukan sanggar Sekar Mekar (SEdyaning KARsa MErsudi KAsantosaning Raos) di bawah pimpinan Eko Wahyu, seorang akademisi dari ISI Surakarta dengan para pemain yang masih berdarah muda berhasil mengusung cerita asal usulnya ketoprak yang akhirnya bisa menjadi hiburan rakyat. Sebagai kategori ketoprak pendhapan, Sanggar Sekar Mekar menggunakan garap sajian teatrikal yang dikemas dengan konsep Langen Mandrawanaran. Agar tidak menimbulkan kejenuhan penonton, konsep Langen Mandrawanaran tidak terbelenggu pada satu cerita. Beberapa adegan dimunculkan sekaligus yang berasal dari lakon ketoprak pada umumnya. Dalam balutan cerita dan kostum sederhana, sanggar seni Sekar Mekar yang telah berdiri sejak tahun 1990, berusaha bangkit menyongsong nur gemilang, kembalinya zaman keemasan seni tradisional dalam nuansa modern.

Sanggar Sekar Mekar bukan hanya sekadar wadah pertunjukan kesenian ketoprak yang bertahan di tengah arus modernisasi, melainkan juga menjadi simbol semangat rakyat dalam mempertahankan warisan budaya lokal yang hidup dan dinamis. Dengan mengusung konsep Langen Mandrawanaran, sanggar ini menunjukkan bahwa ketoprak bukan sekadar nostalgia masa lampau, melainkan bentuk seni yang terus merespons perubahan sosial dan budaya tanpa kehilangan akar tradisionalnya. Melalui variasi adegan yang terinspirasi dari berbagai lakon ketoprak, Sekar Mekar mampu menghadirkan warna baru yang segar, yang menghindarkan kejenuhan penonton dan membuka ruang dialog antara tradisi dan modernitas dalam pertunjukan teatrikal

Lebih jauh, ketoprak sebagai seni tradisional Jawa, memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam mengadaptasi pengaruh modern tanpa harus mengabaikan nilai-nilai tradisionalnya. Dalam pertunjukan modernnya, elemen-elemen tradisional seperti penggunaan bahasa Jawa, kostum sederhana, dan tema-tema yang berakar pada cerita rakyat tetap dipertahankan. Sementara unsur-unsur modern, seperti tata panggung yang lebih dinamis, pencahayaan yang mendukung suasana, serta improvisasi dalam cerita dan musik, memberikan daya tarik yang relevan bagi generasi sekarang. Penyesuaian ini menjadi kunci revitalisasi ketoprak agar tetap eksis sebagai medium hiburan rakyat dan sarana pelestarian budaya.

Dalam konteks sosial, seni ketoprak memiliki peran penting sebagai medium komunikasi dan pendidikan masyarakat. Sanggar seni seperti Sekar Mekar, yang dipimpin oleh akademisi, menunjukkan adanya hubungan erat antara institusi pendidikan dan pelestarian budaya. Pendekatan ini juga memudahkan regenerasi pemain muda yang tidak hanya mahir menampilkan ketoprak, tetapi juga memahami nilai-nilai budaya lokal. Keterlibatan generasi muda sebagai pemain menjadi strategi terpenting agar ketoprak tidak menjadi sekadar monumen masa lalu, melainkan bagian hidup yang terus berkembang dalam masyarakat modern.

Kehadiran konsep Langen Mandrawanaran dalam pementasan ketoprak menunjukkan inovasi estetik yang menggabungkan berbagai lakon dalam satu pentas secara simultan. Pendekatan ini memecah linearitas narasi yang biasanya menjadi ciri pertunjukan tradisional, sekaligus membuka ruang bagi kreativitas dan interaksi yang lebih kompleks. Tidak hanya menghibur, tetapi juga menggugah kesadaran penonton akan kekayaan narasi tradisional yang bisa disusun ulang sesuai konteks kontemporer. Ini adalah contoh nyata bagaimana modernitas tidak mesti menyingkirkan tradisi, melainkan bisa memperkaya dan menegaskan kembali eksistensi seni lokal.

Segala upaya pelestarian dan inovasi tersebut, ketoprak tumbuh sebagai seni rakyat yang berjuang di tengah modernitas dengan kepala tegak dan semangat membara. Pentingnya dukungan dari pemerintah daerah seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta menjadi tulang punggung bagi sanggar-sanggar seni tradisional untuk terus berkarya. Melalui revitalisasi dan regenerasi, ketoprak tidak hanya dipentaskan secara rutin, melainkan juga menjadi simbol harapan kembalinya zaman keemasan seni tradisional yang relevan dengan dinamika zaman sekarang.

Hadirnya berbagai program revitalisasi yang didukung penuh oleh pemerintah daerah, khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta, harapan untuk mengembalikan kejayaan seni tradisional seperti ketoprak semakin nyata. Tidak hanya sebagai hiburan, ketoprak kini menjadi simbol kebangkitan budaya lokal yang tetap relevan di era modern. Upaya pelestarian ini juga diiringi dengan pembinaan sumber daya manusia yang mampu membawa seni ketoprak ke tonggak yang lebih maju tanpa kehilangan identitasnya. Keberlanjutan seni ketoprak menjadi tanggung jawab bersama, antara seniman, pemerintah, dan masyarakat luas, agar kelestarian dan inovasi berjalan beriringan untuk masa depan yang cerah bagi seni rakyat Indonesia. Dengan semangat gotong-royong, kolaborasi, sinergi serta dukungan penuh dari berbagai pihak, menjadikan ketoprak dapat terus menegakkan eksistensinya, menjadi saksi hidup perjuangan budaya melawan homogenisasi global dan modernitas yang cepat berubah. Dengan demikian, ketoprak tidak hanya bertahan sebagai warisan leluhur, tetapi juga tumbuh sebagai seni yang hidup, dinamis, dan terus beradaptasi untuk memperkaya kehidupan budaya bangsa Indonesia di masa depan.**

Editor: Cosmas