Pendidikan Budi Pekerti: Warisan Ki Hajar Dewantara yang Semakin Relevan di Era Digital

Spread the love


Oleh: Sholikhoti Dwi Kusumaningrum
Mahasiswa Magister Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta

Di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang kian pesat, kita kerap lupa pada satu hal mendasar dalam pendidikan: membentuk manusia yang berkarakter, bukan sekadar cerdas secara akademik. Di sinilah pendidikan budi pekerti memainkan peran krusial. Bukan hal baru sebenarnya, karena hampir seabad yang lalu, Ki Hajar Dewantara sudah menekankan pentingnya mendidik dengan hati, bukan hanya dengan kepala. Ki Hajar Dewantara percaya bahwa pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia. Bukan sekadar memasukkan pengetahuan ke dalam kepala anak, tetapi juga menumbuhkan budi pekerti sebagai wujud perpaduan harmonis antara cipta (pikiran), rasa (hati), dan karsa (kemauan) yang akan tercermin dalam perilaku sehari-hari.
Mengapa Budi Pekerti Itu Penting?
Pendidikan karakter bukan sekadar slogan. Dalam kenyataan, kita menyaksikan meningkatnya kasus perundungan, intoleransi, hoaks, bahkan ketidakjujuran akademik di kalangan pelajar. Ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang terlalu fokus pada angka dan nilai ujian telah mengabaikan dimensi moral dan etika. Pendidikan budi pekerti hadir untuk menyeimbangkan pendidikan yang terlalu kognitif. Ia mengajarkan empati, kejujuran, tanggung jawab, dan kesantunan yang merupakan nilai-nilai dasar yang tak lekang oleh zaman.
Warisan Ki Hajar Dewantara yang Visioner
Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan merupakan warisan yang sangat kaya dan tetap kontekstual hingga kini. Ia tidak sekadar menggagas teori, tetapi menawarkan pendekatan menyeluruh yang menyentuh hati, logika, dan nilai kemanusiaan. Salah satu konsep utamanya adalah Sistem Among, di mana guru tidak berperan sebagai diktator yang mendominasi kelas, melainkan sebagai pamong dan sosok pembimbing yang penuh kasih sayang, memberi kebebasan belajar, dan menjadi teladan moral bagi peserta didik. Selain itu, Ki Hajar Dewantara juga memperkenalkan konsep Tri Pusat Pendidikan yang menyatakan bahwa proses pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga harus bersinergi dengan pendidikan di keluarga dan masyarakat. Ketiga lingkungan ini bersama-sama membentuk karakter anak secara utuh. Filosofi yang tak kalah penting adalah Tut Wuri Handayani, yaitu prinsip bahwa pendidik sejati memberi dukungan dan dorongan dari belakang, sembari memberi kepercayaan penuh agar peserta didik tumbuh mandiri dan berkembang sesuai potensi mereka.
Budi Pekerti di Era Digital
Memasuki era digital, tantangan dalam pendidikan karakter semakin kompleks. Anak-anak kini lebih dekat dengan gawai daripada guru, dan interaksi sosial pun banyak terjadi di ruang virtual. Namun justru dalam konteks inilah, nilai-nilai yang diwariskan Ki Hajar Dewantara menjadi semakin relevan. Ketika cyberbullying merajalela, pendidikan nilai tepo seliro (tenggang rasa) menjadi sangat penting untuk ditanamkan sejak dini. Di tengah banjir informasi dan konten dangkal di media sosial, pembelajaran yang menumbuhkan olah rasa dan olah karsa menjadi kunci dalam mengembangkan empati, kontrol diri, dan kesadaran etis. Bahkan saat sistem pendidikan terlalu terpaku pada skor dan hasil ujian seperti PISA, pendekatan among ala Ki Hajar Dewantara menjadi penyeimbang yang memberi ruang untuk eksplorasi, menumbuhkan empati, serta mendorong semangat kolaborasi dan kebersamaan. Dengan demikian, ajaran beliau bukan hanya relevan, tetapi juga krusial untuk menjawab tantangan pendidikan karakter di zaman digital ini.
Menjadi Teladan di Dunia Maya
Di era digital seperti sekarang, peran guru tidak lagi terbatas di ruang kelas. Mereka juga harus mampu menjadi teladan di ruang virtual. Media sosial, forum daring, hingga platform pembelajaran digital telah menjadi bagian dari kehidupan siswa sehari-hari. Oleh karena itu, guru perlu tampil sebagai “influencer moral” yang tidak hanya mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga menunjukkan bagaimana bersikap bijak, sopan, dan bertanggung jawab di dunia maya. Etika dalam berkomentar, kemampuan memilah informasi, hingga keberanian untuk menyuarakan kebenaran dengan cara yang santun menjadi keterampilan sosial yang harus dicontohkan guru dalam kehidupan digital mereka. Ketika siswa melihat gurunya bersikap arif dan berintegritas di media sosial, hal itu akan membentuk persepsi dan perilaku positif yang mereka tiru.
Hal serupa juga berlaku untuk keluarga. Dahulu, keluarga merupakan pusat utama pendidikan karakter karena anak belajar nilai-nilai dasar sejak dini di rumah. Namun kini, peran itu mulai tergerus oleh kehadiran konten digital yang sangat dominan. Anak-anak lebih sering berinteraksi dengan gawai daripada berdialog dengan orang tua. Padahal, rumah adalah tempat pertama dan terpenting dalam menanamkan nilai kasih sayang, tanggung jawab, empati, dan rasa hormat kepada sesama. Oleh karena itu, orang tua juga dituntut untuk hadir secara aktif di dunia digital anak, tidak hanya sebagai pengawas, tetapi juga sebagai panutan. Orang tua bisa memberikan contoh melalui penggunaan media sosial yang positif, membimbing anak dalam memilah informasi yang benar, serta membangun komunikasi yang hangat agar nilai-nilai moral tetap menjadi fondasi dalam pertumbuhan mereka.
Bukan Nostalgia, Tapi Solusi Masa Kini
Sebagian orang mungkin menganggap ajaran Ki Hajar Dewantara sebagai warisan masa lalu. Namun jika ditelisik lebih dalam, pemikirannya justru menjadi solusi masa kini. Misalnya, pendekatan pendidikan berbasis proyek yang diterapkan di Finlandia ternyata sejalan dengan prinsip among: pembelajaran yang bermakna, kolaboratif, dan membentuk karakter. Kita pun bisa menerapkannya di Indonesia dengan nuansa lokal: gotong royong, silih asih, dan hormat pada orang tua. Bahkan untuk menjawab tantangan teknologi seperti AI dan metaverse, Ki Hajar Dewantara mengajarkan keseimbangan lewat prinsip Tri Hayu: sejahtera secara fisik, mental, dan spiritual.
Akhir Kata: Mendidik Hati, Bukan Sekadar Mengisi Otak
Pendidikan karakter tak bisa diukur hanya lewat rapor. Ia tumbuh dalam sikap anak saat membantu temannya, menghormati gurunya, atau menolak mencontek di ujian. Semua itu berawal dari budi pekerti yang ditanamkan sejak dini, melalui teladan, kebiasaan, dan lingkungan yang mendukung. Maka, mari kita hidupkan kembali warisan Ki Hajar Dewantara, bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai pijakan membangun masa depan yang lebih beradab. Karena seperti kata beliau, “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberi dorongan.
Pendidikan karakter adalah tanggung jawab kita bersama, baik di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Mari kita mulai dari diri sendiri!

editor: cosmas