Saatnya Bimbingan Konseling Diefektifkan di SD
Oleh: Eny Agung Krismiyarti, S.Pd
Guru SD N 03 Waru Kebakkramat, Karanganyar
Pegiat Sosial Bidang Pendidikan Agama untuk Anak
Pemerhati Masalah Konseling Pastoral
Dunia pendidikan kembali dikejutkan dengan adanya kekerasan yang terjadi di sekolah, bahkan sudah terjadi di Sekolah Dasar. Di Matraman, Jakarta Timur kekerasan terhadap pelajar Sekolah Dasar menjadi sorotan media sosial.
Siswa tersebut menderita luka di wajah akibat kekerasan yang dilakukan oleh gurunya sendiri. Sebenarnya masih banyak kasus yang terjadi, mulai dari bullying yang dilakukan oleh temannya sendiri, maupun oleh orang yang lebih dewasa, pelecehan seksual, kasus intoleransi maupun diskriminasi.
Menurut data KPAI, dalam delapan tahun terakhir, kasus seperti ini cenderung meningkat, meski di tahun 2017 sempat turun menjadi 116 kasus, namun di tahun 2018 meningkat menjadi 127 kasus. Siapakah yang harus bertanggungjawab dengan kondisi tersebut? Guru, orang tua, tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM, dinas pendidikan, komite sekolah, semua yang terlibat dalam dunia pendidikan haruslah mencermati dan melakukan tindakan.
Dari sisi sekolah, dengan melihat data tersebut dapat dibuat sebuah hipotesis bahwa penyelenggaraan pendidikan, khususnya di Sekolah Dasar tidak hanya gencar dilakukan dari sisi akademis dengan sejumlah sistem dan strategi dan regulasi, namun secara utuh, peserta didik berhak medapatkan layanan Bimbingan Konseling yang terpadu dan berkelanjutan.
Menurut PP No 28 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Dasar, pada pasal 25 ayat 1 mengatakan bahwa bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan. Sedangkan pada ayat 2 mengatakan bahwa bimbingan diberikan oleh Guru Pembimbing.
Secara lebih spesifik, dalam SK Mendikbud No 025/O/1995 diatur bahwa bimbingan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bidang bimbingan pribadi, bimbingan social, bimbingan belajar, dan bimbingan karir melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Tugas guru pembimbing ini adalah memberikan layanan orientasi dan informasi, layanan penempatan/penyaluran, layanan kesulitan belajar, layanan konseling perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok. Untuk mendukung tugas-tugas tersebut dilakukan dengan instrumentasi bimbingan konseling, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah dan alih tangan kasus
Namun bila kita mencermati fakta di lapangan, bimbingan dan konseling hanya menjadi perhatian para pendidik yang berada di jenjang SMP dan SMA. Sangat jarang, bahkan hampir tidak ada jabatan Guru Bimbingan Konseling yang bertugas di Sekolah Dasar. Padahal pada kenyataannya, penyimpangan perilaku anak, tidak hanya terjadi di jenjang SMP dan SMA.
Seiring perkembangan jaman, maka masalah-masalah sosial, pribadi, belajar dan karir sudah menjadi bagian dari keseharian anak-anak Sekolah Dasar. Menurut Prayitno (2001), bahwa status bimbingan dan konseling di SD wajib dilaksanakan oleh guru kelas dan menjadi salah satu komponen penilaian kinerja guru kelas. Itu artinya bahwa guru kelas wajib memberikan layanan bimbingan konseling sekaligus mengampu proses belajar mengajar secara akademis.
Sudah saatnya guru kelas juga harus mengefektifkan bimbingan dan konseling di SD, melihat semakin meningkatnya kasus penyimpangan perilaku baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Tidak menutup kemungkinan, ada beberapa kendala yang harus dihadapi oleh guru kelas yaitu:
- Terbatasnya kompetensi guru kelas di bidang psikologi, khususnya bimbingan konseling
- Belum adanya kurikulum bimbingan konseling, sehingga tidak adanya waktu khusus bimbingan konseling kelompok/ di dalam kelas
- Struktur kelembagaan yang belum tersedia di SD, sehingga tidak ada perencanaan, pelaporan maupun supervisi yang jelas.
- Dari segi infra struktur, tidak adanya ruangan khusus bimbingan dan konseling, sehingga tidak ada juga tempat untuk menyimpan data-data/rekam perilaku peerta didik.
- Belum adanya komunikasi berkelanjutan antar institusi, jenjang SD dengan SMP maupun dengan jenjang yang lebih tinggi.
Untuk mengatasi kendala tersebut, pihak sekolah bisa melakukan beberapa langkah, di antaranya:
- Peningkatan kompetensi guru kelas dengan diklat bimbingan konseling, baik yang diadakan pada KKG maupun workshop dengan mendatangkan para ahli yang berkompeten di bidangnya.
- Mengalokasikan waktu khusus di luar jam pelajaran, misalnya pada hari tertentu yang tidak padat jadwalnya, untuk diadakan bimbingan kelompok di dalam kelas.
- Mengefektifkan komunikasi antara guru kelas dengan kepala sekolah, kepala sekolah dengan pengawas sekolah, dengan tujuan agar layanan bimbingan konseling bisa direncanakan, dilaksanakan dan disupervisi secara berjenjang.
- Menyediakan ruang khusus untuk bimbingan atau bisa menggunakan ruang UKS dalam hal keterbatasan infra struktur.
- Mengadakan komunikasi dengan sekolah yang dengan jenjang lebih tinggi (SMP maupun SMA)
- Membuat rekam perilaku siswa yang didokumentasikan dalam sebuah file khusus, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan bisa mempergunakannya sebagai dasar penanganan kasus.
Pendidikan agama saja belum cukup untuk mencegah dan menangkal penyimpangan perilaku. Perlu dilengkapi dengan pengetahuan di bidang psikologi, yang tidak mungkin dilaksanakan di keluarga maupun lembaga agama.
Yang paling memungkinkan adalah di sekolah, yang bisa difasilitasi oleh pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Selain itu peran orang tua masih diperlukan, yaitu dengan selalu berkomunikasi dengan pihak sekolah mengenai perilaku siswa di sekolah dan di rumah.
Para tokoh agama, LSM, Komite Sekolah perlu bersatu padu dalam program ini, dengan mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan program bimbingan konseling di SD. Semoga…
Foto: Dok Pribadi dan internet
Editor: Cosmas