Ali Kalora Terdesak dan Turun Gunung

Spread the love

OPINI

Oleh: Stanislaus Riyanta
Pengamat terorisme

Ali Kalora dan beberapa anak buahnya kembali berulah. Kelompok Ali Kalora diduga kuat memutilasi seorang penambang emas di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Jenazah korban ditemukan warga pada Minggu (30/12) sekitar pukul 11.00 Wita di Desa Salubanga, Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong. Ali Kalora adalah pemimpin Mujahidin Indonesia Timur setelah pemimpin utamanya, Santoso, tewas tertembak dan orang keduanya, Basri, tertangkap.

Aksi yang dilakukan kelompok Ali Kalora dengan memutilasi penambang emas dan menembaki anggota polisi saat mengevakuasi korban mutilasi tersebut bersifat sporadis. Ali Kalora menggunakan gaya hit and run karena keterbatasan sumber daya yang dimilikinya. Diperkirakan jumlah kelompok Ali Kalora yang masih bertahan kira-kira 3-7 orang dengan perbekalan senjata jenis M-16 sejumlah 2-3 pucuk dengan amunisi yang sudah mulai terbatas.

Kelompok yang kerap kali melakukan aksi teror di sekitar Poso dan Parigi Moutong ini bisa bertahan hidup hingga sekarang karena menjalankan prinsip gerilya dengan sumber logistik yang diperoleh dari masyarakat dengan cara pemaksaan dan ancaman. Walaupun tidak menutup kemungkinan ada simpatisan yang menjadi pendukung logistik secara sukarela. Tanpa adanya akses logistik ini, Ali Kalora tidak mungkin dapat bertahan di hutan dan pegunungan dalam waktu yang lama, meskipun sumber makanan dalam kondisi darurat bisa diperoleh dari hutan.

Aksi mutilasi terhadap penambang emas yang dilakukan oleh kelompok Ali Kalora adalah indikasi bahwa kelompok tersebut sudah sangat terdesak sehingga harus melakukan cara-cara yang ekstrim dan keji untuk bertahan hidup. Selain itu kelompok Ali Kalora juga mempunyai kebutuhan untuk eksis guna menunjukkan kepentingan kelompoknya.

Pengejaran yang dilakukan oleh Satgas Tinombala harus diimbangi dengan memutus pasokan logistik terhadap kelompok Ali Kalora. Simpatisan Ali Kalora yang diyakini sudah terdeteksi oleh aparat perlu ditangani sesuai dengan ketentuan hukum. Meskipun memburu Ali Kalora tidak mudah karena kondisi geografis yang cukup sulit, namun dengan pemutusan rantai logistik akan membuat kelompok Ali Kalora  semakin sulit untuk bertahan hidup.

Operasi untuk mengikis dan menyapu kelompok Ali Kalora patut dipertimbangkan untuk dilakukan lebih masif. Peran intelijen untuk mendeteksi keberadaan kelompok Ali Kalora, terutama ketika berinteraksi dengan masyarakat untuk keperluan akses logistik, harus lebih tajam. Tidak mungkin kelompok Ali Kalora mampu terus bertahan hidup di hutan tanpa adanya logistik yang diperoleh dari masyarakat. Titik lemah inilah yang harus dimanfaatkan.

Dengan kondisi yang semakin terdesak, maka kesempatan untuk memberantas kelompok Ali Kalora semakin besar. Senjata dan amunisi yang terbatas, serta penutupan akses logistik akan semakin membuat kelompok tersebut dalam titik kritis. Penangkapan kelompok Ali Kalora akan menjadi anti klimaks dari eksistensi kelompok radikal Mujahidin Indonesia Timur.

Jika kelompok Ali Kalora belum bisa ditanggulangi, maka kelompok ini diperkirakan akan menunjukkan eksistensinya lagi dengan memanfaatkan momen Pemilu. Konsentrasi aparat pengamanan pada saat Pemilu akan menjadi celah yang menguntungkan bagi kelompok Ali Kalora untuk melakukan aksi-aksi yang menguntungkan tujuan kelompoknya. ***