Ekskalasi Global Perang Rusia dan Peran Indonesia
Setyasih Harini
Mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional
Universitas Padjajaran
Perang lagi, perang lagi. Belum lama bahkan negara-negara masih sibuk dengan perang melawan musuh yang tidak nyata, Covid-19, sekarang justru musuh yang tampak telah menghantui negara tetangga yang beda benua, Rusia vs Ukraina.
Media massa saat ini baik internasional sampai lokal heboh dengan invasi yang dilancarkan oleh Rusia ke Ukraina. Kamis 24 Pebruari 2022 menjadi hari bersejarah bagi banyak negara yang harus menyaksikan serangan pasukan Rusia masuk ke wilayah negara tetangganya, Ukraina. Ketegangan yang terjadi diantara dua negara tetangga yang sekaligus eks-Uni Soviet tersebut terjadi setelah Rusia mengakui kemerdekaan dua wilayah timur Ukraina, yaitu Donetsk dan Luhansk. Pengakuan Rusia diberikan kepada kedua bagian negara tetangganya tersebut tidak lain karena kesetiaan primordial yang masih melekat pada Rusia. Tak disangsikan lagi, tanggal 21 Februari 2022 menjadi “hari kelahiran” Donetsk dan Luhansk sebagai embrio baru negara suatu hari nanti.
Dunia pernah menorehkan sepak terjang Rusia Ketika masih menjadi “tuan” bagi negara-negara Uni Soviet. Tergulingnya Tsar Nikolas II sebagai penguasa Rusia melalui Revolusi Bokshevik 7 November 1917 oleh Vladimir Lenin menjadi tonggak berdirinya Uni Soviet secara resmi pada Desember 1922. Sejak saat itulah, Lenin menjadi pemimpin yang kemudian diteruskan oleh Josef Stalin pada tahun 1924. Rusia di bawah Stalin mengalami masa yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan aksi eksternal Stalin, melakukan invasi guna menggabungkan secara paksa negara-negara kecil yang ada di sekitar Rusia ke dalam Uni Soviet. Upaya tersebut telah dilakukan Rusia sejak tahun 1939 melalui penandatanganan pakta non-agresi dengan Nazi Jerman. Pakta ini selanjutnya menjadi jalan pembuka aksi Soviet dengan dipimpin Rusia untuk menguasai bagian wilayah-wilayah bagian timur seperti Polandia, negara-negara Baltik dan Bessarabia.
Kilas Balik Hubungan Luar Negeri Rusia-Ukraina
Awal yang kecil berubah menjadi ekskalasi global. Perang ini dimulai ketika bulan Januari tahun lalu (2021), Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy mendesak Presiden Amerika Serikat, Joe Biden untuk merestui bergabungnya Ukraina dalam North Atlantic Treaty Organization (NATO)/Pakta Pertahanan Atlantik Utara, sebuah organisasi internasional bentukan negara-negara blok Barat (istilah yang dipakai sejak Perang Dunia II dan dilestarikan hingga sekarang) dengan anggota Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa. Jelas, bahwa inisiasi Ukraina untuk bergabung dengan NATO tidak lain untuk mencari perlindungan dari negara-negara besar seperti AS dan sekutunya yang berbeda ideologi dan musuh “klasik terselubung” Rusia.
Bagi Rusia, tindakan Ukraina dianggap mengkhianati “persaudaraan” yang selama ini disematkan pada hubungan luar negeri kedua negara. Rusia yang pernah menjadi pemimpin Uni Soviet dengan Ukraina sebagai salah satu anggota secara otomatis “tidak independen sepenuhnya”, meskipun telah berdiri sebagai negara merdeka dan berdaulat. Secara politis dan sosial Ukraina terbelah menjadi dua kubu. Pemilihan presiden Ukraina tidak melulu murni dilakukan dan didukung warga negara. Intervensi politik telah dilakukan oleh Rusia dalam pemilihan presiden, salah satunya terjadi pada pencalonan Viktor Yushchenko yang akhirnya terpilih sebagai Presiden Ukraina pada tahun 2005. Terpilihnya Yushchenko sebagai presiden menjadi lampu merah dalam hubungan kedua negara mengingat selama kepemimpinannya Ukraina mendekat ke Uni Eropa. Baru pada tahun 2010 hubungan kedua negara mereda setelah Viktor Yanukovych terpilih sebagai Presiden baru Ukraina yang pencalonannya didukung oleh Rusia.
Secara sosial, tidak semua warganegara mendukung pemerintahan sah Ukraina yang berdampak pada bergejolaknya hubungan luar negeri dengan Rusia. Pada tahun 2013 terjadi krisis nasional yang disebabkan oleh protes massa terhadap kebijakan luar negeri Ukraina untuk berintegrasi ekonomi dengan Uni Eropa. Satu tahun berikutnya, parlemen Rusia melengserkan pemerintahan Viktor Yanukovych dan lahirlah dua kubu: pro Uni Eropa (didukung oleh masyarakat dan politikus dari daerah daratan pedesaan dan kota) dan pro Rusia (didukung masyarakat dan politikus dari sekitar Semenanjung Krimea). Krimea merupakan wilayah perbatasan yang memiliki letak geopolitik yang strategis bagi Rusia menuju Eropa Timur dan Timur Tengah. Posisi tersebut menjadi keuntungan bagi Rusia sehingga ketika terjadi konflik internal dengan pemerintah Ukraina, secara langsung Rusia akan memberi bantuan dan perlindungan kepada warga Krimea.
Cerita lama itu, oleh Rusia dibuka kembali saat ini. Dengan dalih, ingin menyelamatkan, melindungi, menjaga stabilitas, perdamaian, dan keamanan bagi masyarakat Donetsk dan Luhansk, Rusia melakukan penyerangan ke Ukraina. Titik tolak dari serangan kali ini diawali dengan keinginan Presiden Ukraina untuk mengikuti jejak negara-negara eks-Uni Soviet yang telah bergabung ke dalam NATO seperti Lithuania, Latvia, dan Estonia. Namun lagi-lagi, tidak semua warga Ukraina mendukung pemerintahan sah sekarang terutama dari wilayah Donetsk dan Luhansk yang pro-Rusia. Meski dunia mengecam keras, termasuk kepala negara Indonesia dengan statemen untuk segera menghentikan perang, namun Rusia pantang mundur.
Peran Indonesia sebagai Presidensi G-20
Bagi Indonesia yang berposisi netral pada setiap konflik eksternal harus pintar-pintar untuk menempatkan posisi, terlebih saat ini telah berhasil menjadi Presidensi G-20. Sesuai dengan tujuan awal pembentukan Forum Kerjasama G-20 untuk mencari solusi atas kondisi ekonomi global yang dilanda krisis keuangan global maka Indonesia tertantang untuk berada di tengah-tengah konflik memanas yang terjadi antara Rusia dan Ukrania. Pertama, sebagai negara besar di Kawasan Asia Tenggara, secara politik Indonesia memiliki kemampuan untuk melakukan negosiasi dengan negara-negara lain guna mendukung dan membawa kasus Rusia-Ukrania ke Majelis Umum PBB. Presiden Joko Widodo dapat mengutus Menteri Luar Negeri (menlu) untuk melakukan shuttle diplomacy, menggandeng para menlu dari berbagai negara untuk memperlancar maksud tersebut. Kedua, perlu diakui bahwa Rusia merupakan negara pemasok minyak utama dunia. Secara ekonomi, mau tidak mau Indonesia memanfaatkan jaringan bisnis (business to business/ B to B) diantara kedua negara mengingat pergerakan minyak global juga ditentukan oleh perang ini. Sebab, kenaikan harga minyak global akibat perang tersebut dapat berdampak pada peningkatan inflasi di Indonesia. Secara moneter, perang tersebut dapat menekan The Fed untuk meningkatkan suku bunga acuan yang dapat mengganggu pemulihan ekonomi nasional.
Dengan demikian, konflik Rusia-Ukraina bukan hanya berdampak pada negara-negara Kawasan Eropa Timur namun dampaknya akan dirasakan oleh banyak negara. Pertama, panasnya hubungan kedua negara akan semakin mengkhawatirkan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang saat ini masih berjuang untuk bangkit dari pandemi Covid-1;.kedua, konflik geopolitik Rusia dan Ukraina jelas mengganggu ekspor impor dari berbagai negara terutama peran Ukraina sebagai pengikat kedua belah pihak; ketiga, perang ini jika tidak segera dihentikan juga dimungkinkan menjadi embrio bagi pecahnya Perang Dunia III mengingat Rusia merupakan negara anggota tetap PBB yang memiliki hak veto. Selain kekayaan alam dan persenjataan yang dimiliki Rusia, negeri ini juga memiliki “follower yang setia” yakni China yang juga memiliki hak veto. Dapat disinyalir kubu pertahanan Dewan Keamanan PBB akan terbelah menjadi dua yakni pro-barat (Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris) berlawanan dengan pro-timur (Rusia dan China).
Kita tunggu kiprah Indonesia sebagai pemegang kendali G-20 untuk dapat mempersatukan negara-negara pendukung perdamaian agar negara-negara yang masih berjuang untuk bangkit dari pandemi Covid-19 dapat menikmati kehidupan aman dan sejahtera. ***
Editor: cosmas