ASWGI: Tingkatkan Ketahanan Keluarga yang Responsif terhadap Gender

Spread the love

Dari kiri ke kanan: Elisabet Titik (dosen Satya Wacana), Dr. Ratna Saptari, Dr. Ida Sabelis

 

Salatiga, Poskita.co

Perlindungan kepada anak harus diberikan secara terpadu dengan orangtua/keluarga, masyarakat, pemerintah dan akademisi.  Selain itu, meningkatkan ketahanan keluarga yang responsif terhadap gender.

Demikian garis besar hasil Kongres ke-3 Asosiasi Pusat Studi Wanita dan Gender Indonesia  (ASWGI), di Salatiga, seperti dikatakan Ketua Asosiasi Studi Wanita dan Gender Indonesia Prof. Emi Susanti  dari Prodi Sosiologi,  Universitas Airlangga, Surabaya.

“Anggota ASWGI harus aktif mengajukan proposal penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang perspektif gender dan anak.  Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan SDM anggota asosiasi, serta memotivasi anggota agar mampu bersaing memperoleh jabatan sebagai reviewer dikti, mengupdate isu dan permasalahan gender dan anak,” kata Prof Emi Susanti di UKSW Salatiga kepada poskita.co.

Sebagian peserta saat Rakornas ASWGI  di Salatiga

 

Tujuan penyelenggaraan konferensi ASGI di antaranya meningkatkan publikasi ilmiah, memperluas jejaring penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, update isu permasalahan gender dan anak, serta meningkatkan kapasitas kelembagaan dan SDM dosen pemerhati gender dan anak.

Melalui kongres ASGI diharapkan mampu mempengaruhi pemerintah lokal dan nasional, memperkuat negosiasi, sinergi dan advokasi, serta meningkatkan komunikasi dengan mitra nasional dan internasional.

 

Hebatnya lagi, kegiatan kali dengan menggelar seminar internasional dan academic writing, dengan menghadirkan DR Ida  Sabelis (associate professor) dari progdi sosiologi  Free University Amsterdam, Netherland; DR Ratna Saptari dari Progdi Sosiologi dan budaya Universitas Leiden dan DR Paul Thomas dari Universitas Monash, Australia.

Turut hadir Syamsiah Ahmad, pegiat gender yang pernah bekerja di PBB, Sri Danti dari KPP-PA, DR Darsono Sudibyo, asisten kementerian bidang kesetaraan gender dan perlindungan anak.

DR Ratna Saptari, Amsterdam (kiri) dan S. Rini dosen Unisri Surakarta

 

 

Syamsiah menjelaskan perlunya membangun kerjasama antara PT Pusat Studi Wanita dan Anak dengan NGO, pengoptimalan yang bersinergi dan ketulusan antara laki-laki dan perempuan.  Selain itu, mempersempit gender gap di daerah.

Sri Danti menyatakan agar ada penguatan program 3 ends, yaitu akhiri kekerasan pada anak, akhiri kesenjangan ekonomi pada perempuan, dan akhiri eksploitasi sexual dan pelecehan pada perempuan.

Darsono Sudibyo  mengusulkan perlunya pemberdayaan kelompok difable dan lansia perempuan. Lansia perempuan yaitu lansia muda usia 60-70 tahun, madya 71-80 tahun, dan paripurna  di atas usia 81 tahun.  Akan diupayakan program di seluruh  kementerian yang responsif pada gender.

DR. IDA SAbelis (kiri) dari Amsterdam University

 

 

Ida  Sabelis dari Amsterdam, menyatakan perlunya  membentuk penguatan  keterampilan dan pendampingan pada perempuan difable.

“Komunikasi pengetahuan  dalam lingkungan akademi harus ditingkatkan,” kata Ida Sabellis.

Vero Setya