Sejarah Terulang, Tradisi Suci Penobatan Raja Baru Keraton Surakarta Digelar di Hadapan Jenazah Ayahanda
SOLO, POSKITA.co – Dalam suasana duka mendalam pasca mangkatnya Sri Susuhunan Pakoe Boewono XIII, gema sumpah sakral menggema di hadapan pusara sang ayahanda Putra Mahkota, KGPAA Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram, dengan lantang mengucapkan ikrar kesetiaan dan kesanggupan untuk meneruskan takhta Kasunanan.
Berdasarkan informasi yang diterima Poskita.co dari Humas Keraton Surakarta, di hadapan keluarga besar Karaton, abdi dalem, sentana, dan masyarakat yang memadati pelataran Sasana Sewaka, ia memekikkan sumpah yang menandai lahirnya raja baru.
“Mundhi dhawuh Sabda Dalem Sampéyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakoe Boewono Tigawelas lumantar Kintaka Rukma Kekeraning Sri Nata Kasunanan Surakarta Hadiningrat,
INGSUN Kanjeng Gusti Pangéran Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Naréndra Mataram,
ing dina iki, Rebo Legi, patbelas Jumadilawal tahun Dal sèwu sangangatus sèket sanga, utawa kaping lima Nopèmber rong èwu selawé, hanglintir kaprabon Dalem minangka SRI SUSUHUNAN Karaton Surakarta Hadiningrat, kanthi sesebutan SAMPÉYANDALEM INGKANG SINUHUN KANGJENG SUSUHUNAN PAKOE BOEWONO PATBELAS.”
Pekik sumpah tersebut menjadi saksi sejarah baru bahwa tahta Karaton Kasunanan Surakarta tidak pernah kosong. Sumpah yang diucapkan di hadapan jenazah Sri Susuhunan Pakoe Boewono XIII itu bukan hanya tanda penerimaan tanggung jawab, melainkan pula perwujudan adat yang telah turun-temurun dijaga dalam tradisi keraton.
Dalam sejarah panjang Kasunanan Surakarta, penobatan di tengah suasana duka bukan hal baru. Proses hanglintir kaprabon atau pengambilan tahta di hadapan jenazah raja sebelumnya telah terjadi di masa lalu, menandakan kesinambungan kepemimpinan dan keluhuran adat yang tak boleh terputus.
Suasana menjadi haru saat Sri Susuhunan Pakoe Boewono XIV, menyalami dan memeluk saudara usai prosesi pengucapan sumpah. Tangis keluarga dan abdi dalem bercampur dengan getar kebanggaan, karena di tengah duka yang mendalam, Surakarta tetap memiliki penerus sah yang akan menjaga marwah dan martabat Karaton.
Sebagai kakak tertua dari Sri Susuhunan Pakoe Boewono XIV, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Timoer Rumbaikusuma Dewayani memberikan pernyataan resmi mewakili keluarga besar Karaton. Ia menegaskan bahwa langkah sang adik untuk mengambil sumpah di hadapan jenazah ayahanda adalah bentuk penghormatan dan pelestarian adat yang sudah berjalan sejak zaman leluhur.
“Apa yang dilakukan Adipati Anom, Kanjeng Gusti Pangéran Adipati Anom Hamangkunegoro, adalah sesuai dengan adat Kasunanan. Dulu juga pernah terjadi di era para leluhur rajasebelumnya. Sumpah di hadapan jenazah ayahanda adalah simbol kesetiaan, bukan pelanggaran adat. Justru inilah cara kita menjaga kontinuitas kepemimpinan di Karaton,” ujar GKR Timoer dengan suara bergetar namun tegas.
Ia menambahkan, dengan diucapkannya sumpah tersebut, Kasunanan Surakarta tidak mengalami kekosongan kekuasaan. Segala prosesi adat dan tanggung jawab pemerintahan Karaton tetap berjalan sebagaimana mestinya, di bawah pimpinan raja baru, Pakoe Boewono XIV.
Prosesi sakral ini menjadi momentum penting bagi masyarakat Surakarta, khususnya para abdi dalem dan pecinta budaya Jawa. Banyak yang menilai bahwa jumenengnya Pakoe Boewono XIV menjadi babak baru bagi pemulihan marwah Karaton yang sempat diguncang berbagai polemik di masa lalu.
Dalam pandangan sejumlah tokoh budaya, kehadiran raja baru di usia muda membawa harapan untuk menghidupkan kembali tradisi, membuka ruang dialog budaya, dan memperkuat posisi Karaton sebagai pusat spiritual dan kebudayaan Jawa.
Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri sejak 1745 dan telah melahirkan tiga belas raja sebelum kini memasuki masa kepemimpinan Pakoe Boewono XIV. Dari generasi ke generasi, tradisi sumpah jabatan dan prosesi hanglintir kaprabon menjadi simbol bahwa Karaton selalu memiliki penjaga kelangsungan budaya, meski zaman terus berubah.
Kini, di tangan raja muda yang baru naik takhta itu, masyarakat Surakarta menaruh harapan besar: agar warisan luhur leluhur tetap lestari, adat tetap tegak, dan Karaton terus menjadi pusat peradaban yang menuntun nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. (Arya)

