Memaknai Sumpah Pemuda di Era Revolusi Industri 4.0
Setyasih Harini, SIP MSi
FISIP Hubungan Internasional
Kerbau dungu, itulah gambaran kebodohan yang sering muncul dalam cerita fabel anak-anak. Mengapa kerbau memberi ilustrasi yang berkonotasi negatif padahal binatang ini sering digunakan tenaganya oleh petani untuk membajak sawah. Yah, begitulah, kerbau identik sebagai binatang yang malas belajar. Arti penting belajar bukan sekadar dimaknai sebagai aktivitas membaca, berhitung atau menghapalkan sesuatu namun lebih mendalam daripada itu semua sebagai sebuah pengalaman yang menjadi serpihan cerita dalam kehidupan manusia. Manusia yang bertumbuh dari bayi, anak, remaja, dewasa dan lansia merupakan perjalanan roda kehidupan yang tidak dapat dihindari. Setiap cungkil peristiwa menjadi sebuah pengalaman tersendiri.
Saat ini seluruh manusia yang mendiami wilayah Indonesia diajak untuk menengok kembali sebuah momen perjalanan kehidupan bangsa yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Pada tahun itu, seluruh pemuda dari berbagai elemen dan latar belakang bersatu untuk mengajukan sebuah janji suci guna membangun kehidupan baru yang lebih baik. Waktu itu, keanekaragaman yang ada di bumi Pertiwi menjadi sebuah energi baru yang digelorakan oleh para pemuda laksana anak panah yang melesat menuju pada satu tujuan persatuan bangsa. Itulah api semangat yang agung dari para putra-putri bangsa yang berani menyuarakan persatuan walau di bawah deraan dan himpitan peluru dari koloni asing.
Kembali muncul pertanyaan dalam benak penulis, mengapa pemuda yang harus menggelorakan sumber daya baru bagi pembangunan sebuah bangsa. Dalam berbagai literatur menyebutkan bahwa pemuda sebagai agent of change (agen perubahan), dan itu memang benar nyatanya. Ketika negara ini masih bergumul dengan penjajahan, para pemuda inilah yang berani membebaskan diri dari belenggu fanatisme kedaerahan melalui organisasi-organisasi kepemudaan yang nasionalis. Perjuangan rakyat yang semula cenderung kultural diperbaharui menjadi nasional dengan mengedepankan pada kekuatan negosiasi politik sebagai senjata baru dalam berdiplomasi dengan kekuatan Barat. Perjuangan ini sekaligus membutuhkan kotra- ideologi terhadap kolonialisme yakni dengan etno-nasionalisme dan religio-nasionalisme.
Sekilas kita bisa melihat kembali beberapa organisasi kepemudaan yang semula masih menjunjung egosentris kedaerahan menjadi nasional seperti Tri Koro Dharmo pada tahun 1915 yang berubah menjadi Jong Java, Jong Soematranen Bond (1917), Jong Islamieten Bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Roekoen dan Pemoeda Kaoem Betawi. Pada tahun 1926-an bermunculan organisasi kepemudaan yang lebih nasionalis diantaranya Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) dengan tokoh-tokohnya Sigit, Soegondo Djojopoespito, Soewirjo, S. Reksodipoetro, Moehammad Jamin, A. K Gani, Tamzil, Soenarko, Soemanang, dan Amir Sjarifudin. Ada perbedaan mendasar sehingga relatif lebih nasionalis mengingat keanggotaannya mayoritas para pelajar yang berasal dari berbagai daerah. PPPI inilah yang memprakarsai dilaksanakannya Kongres Pemuda II.
Rangkaian pertemuan para pemuda dari berbagai latar belakang daerah tersebut berlanjut sampai pada tanggal 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam kesempatan itu, Soegondo Djojopoespito sebagai salah satu anggotanya memiliki keyakinan dan harapan untuk lebih memperkuat memperkuat semangat persatuan bagi para pemuda. Gagasan tersebut kemudian diperkuat oleh Moehammad Jamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Penekanan dari kedua tokoh tersebut pada upaya memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, serta pendidikan.
Satu hari berikutnya yakni Minggu, 28 Oktober 1928, Gedung Oost-Java Bioscoop, menjadi saksi biksu diadakannya pembahasan yang lebih serius antara Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro mengenai pentingnya pendidikan kebangsaan bagi anak baik dalam lembaga formal maupun lingkungan keluarga. Anak sebagai generasi penerus juga perlu mendapat pendidikan secara demokratis bahkan Soenario menjelaskan pentingnya pendidikan nasionalisme dan kepanduan (baca: kepramukaan) agar lebih disiplin dan mandiri. Akhir dari kongres tersebut adalah keluarnya keputusan yang sekaligus sebagai janji suci yang terdiri dari:
Pertama,
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Sumpah para pemuda tersebut menunjukkan adanya proses Indonesianisasi yang memacu pada perjuangan radikalisme baru dalam bidang politik. Perjuangan ini sekaligus menandai integrasi nasional yang semakin membahana dalam jiwa juang para pemuda. Proses integrasi nasional seperti ini dengan meminjam istilah dari Coleman dan Rosberg bahwa budaya politik yang dikembangkan para elit baru justru berawal dari adanya gap pendidikan yang diciptakan oleh penjajah. Elit baru dengan pendidikan baru yang lebih tinggi daripada masyarakat pada umumnya menjadi penggerak nasionalisme dan pembangunan. Untuk itulah diperlukan integrasi nasional secara vertikal (elit-massa) dan horisontal (teritorial). Integrasi dalam dimensi vertikal dimaksudkan untuk menjembatani celah perbedaan yang dapat terjadi antara elit dengan massa dalam rangka pengembangan proses politik agar masyarakat lebih berpartisipasi. Sementara integrasi dalam dimensi horisontal bertujuan untuk mengurangi diskontinuitas dan ketegangan kultur kedaerahan dalam kerangka penciptaan masyarakat yang melek politik dari heterogen menjadi homogen. Di sini homogen lebih mengacu pada penyatuan tujuan bersama dari berbagai latar belakang masyarakat.
Menurut hemat penulis, saat ini pemuda Indonesia khususnya Surakarta (Solo) mengalami sebuah tantangan atau mungkin penyakit baru sebagai dampak dari kemajuan teknologi. Ada ruang segar bagi para pemuda untuk mencoba berpindah dari sosio-kultural sendiri ke bagsa lain (semacam dislokasi) yang hilirnya pada hegemoni budaya K-Pop dan Westernisasi. Generasi muda semakin banyak yang melupakan identitasnya sebagai orang Solo yang dikenal dengan kesopanan tutur kata dan perilaku serta kehalusan budi. Penghormatan terhadap orang tua atau yang dituakan semakin terlindas oleh hingar bingar kultur baru. Komunikasi di balik balutan busana tidak lagi mencerminkan “ajining diri” (kualitas kepribadian) namun sebagai bentuk pembebasan diri dari ikatan kultur. Untuk mengantisipasi meluasnya penyakit tersebut diperlukan gagasan bersama dengan merevitalisasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai filter terhadap penyebaran virus tersebut.
Salah satu nilai-nilai kearifan lokal yang bisa memberi pengajaran secara fisik maupun mental dalam proses penajaman pengetahuan dan evolusi yang dialami pemuda adalah Serat Wedhatama. Serat Wedhatama merupakan puisi yang dinyanyikan dalam bahasa Jawa yang terdiri dari tembang Pangkur, Sinom, Pocung dan Gambuh. Keempat tembang tersebut berisi tuntunan dan anjuran tentang kebaikan dan nilai-nilai moral bagi kehidupan. Sebagai hasil karya dari KGPAA Mangkunegoro IV, Serat Wedhatama khususnya dalam Tembang Pangkur berisi nasihat bagi anak-anak dan kaum muda diantaranya “Hidup hanya sekali, jangan sampai tercabik-cabik nalarnya akibat gemerlapnya dunia karena tujuan hidup itu sederhana maka turutilah ajaran agama yang suci. Anak muda, janganlah hanya mengandalkan pada orang tua tapi belajarlah pada hakikat tata krama sebagai cerminan dari dalam jiwa ragamu.”
Dalam tembang macapat Pangkur tersebut secara tidak langsung memberikan nasihat kepada anak muda untuk mempelajari budayanya sendiri sebagai sebuah identitas. Identitas yang berakar pada budaya lokal menjadi sangat penting dalam menapaki kehidupan baru selama berprosesnya Revolusi Industri 4.0. Konstruktivisme yang hendak dibangun dalam “zaman” baru tersebut menuntut adanya inovasi, kreativitas dan jika memungkinkan terwujud dan tercipta dalam hitungan waktu yang cepat. Sehingga evolusi dan revolusi menjadi sebuah rangkaian yang hendaknya diwujudkan oleh anak muda dalam ikatan jiwa dan karya guna mengisi pembangunan nasional yang lebih bermartabat.
Editor: Cosmas