Kondhangan
KOLOM
Listia Suprobo
Pegiat Pendidikan di Perkumpulan Pappirus
Kon-dhangan (agar terasa ringan/bahasa Jawa). Awalnya saya tulis kon-dangan sesuai pengucapan dalam bahasa ibu saya di Banyumas. Tapi orang jawa biasa dengan othak-athik mathuk (logika permainan bahasa mencocok-cocokkan), saya tulis dengan setrip dan menambah partikel huruf ‘h’ sehingga kata ‘dhangan‘ memiliki makna ‘ringan, mudah, tidak parah.
Mengapa saya tulis demikian, karena kon-dhangan sepertinya terkait dengan hajatan orang Jawa kadang menyebut ‘duwe gawe‘ (punya kegiatan yang tidak biasa, kegiatan besar), biasanya terkait dengan siklus hidup yang menyertakan adanya upacara atau selamatan khususnya untuk beberapa hal yang di dalamnya ada peresmian. Pemberian nama karena kelahiran, sunatan bagi anak laki-laki, pernikahan, kematian.
Berbagai bentuk upacara (yang dalam proses inkulturasi di beberapa daerah melahirkan doa selamatan) menjadi harmonisasi atas perubahan (jumlah person, perubahan atau pengukuhan identitas, atau melepas warga) atau menjaga stabilitas dalam hubungannya dengan lingkungan alam. Laku yang diupayakan dengan penuh kesadaran diri dan relasi-relasi.
Karena kegiatan besar, hajatan butuh banyak sumberdaya, yang dalam masyarakat komunal dengan kesadaran diri dan relasi ini akan melibatkan banyak warga, baik dalam bentuk gotong royong sukarela, maupun sumbangan yang akan diingat oleh yang punya hajat sebagai ‘tabungan/titipan’ yang akan dikembalikan saat penyumbang suatu saat punya hajat. Tapi pengembalian ini tidak mengikat, pengembalian sesuai kemampuan….
Demikian othak athik mathuknya, ..😀
Sumbangan menjadi sangat bermakna dalam kelompok masyarakat yang secara ekonomi pas-pasan. Dan dulu umumnya orang hidup pas-pasan, sehingga ‘menyumbang’ di sini hampir benar-benar bermakna tabungan. Beda dengan saat ini di mana banyak orang punya simpanan di bank, sehingga ada kalanya di desa ada pengumuman ‘tidak menerima sumbangan’, karena ini syukuran, silakan datang tidak perlu bawa kado atau amplop meskipun keluarga ini sebelumnya nyumbang di banyak hajatan tetangga. Tapi jarang terjadi, seringnya tuan rumah menghitung jumlah pengeluaran dan pemasukan yang minimal harus seimbang.
Awal kata ‘kon‘ ( kon-dhangan) pasti bukan dari bahasa Latin kan?. Agak dekat juga dengan ‘Kowe‘ (‘kamu’ ketika disingkat) Kon-dhangan (dengan huruf h). Ketika dipisah mudah dipahami pengguna bahasa Jawa, bermakna ‘supaya/ agar’ ….ringan, mudah.
Dalam masyarakat sekarang, kon-dhangan lebih dipahani sebagai pesta yang diselenggarakan tidak harus untuk peresmian, dan sering terasa sebagai upaya menjaga pengakuan sosial tentang posisi atau tingkat kesejahteraan. Pengakuan di jaman ini tampaknya dianggap sangat penting dan tidak mudah didapat sehingga untuk itu orang berani membayar sangat mahal yang kadang tidak ada hubungannya dengan kemanfaatan secara pribadi setelah acara berlangsung. Meski sudah diselenggarakan dengan mahal, karena sebagai pemenuhan atas kebutuhan pengakuan, bila ada kekurangan sedikit bisa jadi bahan pergunjingan. Ini pergeseran ketika makna hajatan justru menjadi sesuatu yang tidak substansial tentang keutamaan nilai-nilai hidup, tapi pada kesan-kesan akan hal-hal yang bersifat instrumental.
Sampai di sini, penambahan huruf ‘h’ dalam pengucapan, rangkaian pemaknaan sebuah peristiwa ‘gawe,’ lebih mudah saya pahami.**