Mengupas UU TPKS, RKUHP, RUU Masyarakat Adat, dan RUU PPRT
Poskita.co – Perempuan dan masyarakat adat masih menjadi kelompok rentan di berbagai aspek kehidupan. Kerentanan perempuan dan masyarakat adat dari pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia dan praktik penindasan, perlu menjadi kekhawatiran bersama. Rancangan KUHP yang seharusnya mengintegrasikan beragam UU menjadi sebuah regulasi yang mengedepankan HAM, justru masih menunjukan aturan-aturan zaman kolonial yang sudah tidak relevan dan cenderung melemahkan demokrasi dan asas HAM.
Diskusi “Menilik Kembali (R)UU Untuk Rakyat” adalah sesi kedua dari empat rangkaian Pra Konferensi menuju Konferensi SDGs dan Sidang Umum INFID yang mengupas dalam UU dan RUU untuk akar rumput seperti UU TPKS, RUU Masyarakat Adat, RKUHP, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
Upaya untuk menghadirkan kebijakan bagi rakyat memang telah diinisiasi oleh pemerintah. Beberapa tahun terakhir, kemajuan mengenai niat baik itu telah mengemuka dalam bentuk beberapa undang-undang, baik yang sudah maupun belum disahkan. Salah satu terobosan besar adalah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang telah disahkan.
INFID merilis hasil sementara riset mengenai dukungan publik mengenai UU TPKS dalam diskusi ini. AD Eridani, Senior Program Officer INFID menjelaskan “Di tahun 2022 ini, kami berkolaborasi dengan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) melakukan program bernama SETARA2030. Karena basis INFID adalah lembaga advokasi kebijakan berbasis bukti, di tahun ini melakukan 2 riset: riset kualitatif tentang operasionalisasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan riset kuantitatif mengenai persepsi dan tingkat dukungan warga kepada UU TPKS”.
Penelitian dilakukan di 20 kota/kabupaten di 18 provinsi dengan total 1200 responden. Kota dan Kabupatennya dipilih berdasarkan penyebaran geografis serta kasus kekerasan seksualnya dan merupakan domisili dari 84% penduduk di Indonesia. Riset ini menemukan bahwa, lebih dari 50% responden mengetahui pengesahan UU TPKS, dan 98% merasa bahwa UU TPKS dibutuhkan oleh masyarakat. “Dukungan terhadap UU TPKS sangat tinggi. Bahkan lebih dari setengah responden setuju dengan hukuman dalam UU TPKS. Yang setuju pada rehabilitasi dan dihilangkannya proses damai juga tinggi, yaitu 75%. Kita bisa bilang UU TPKS sudah memenuhi kebutuhan masyarakat”, tutur Alfindra Primaldhi, Ketua tim riset kuantitatif SETARA dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI).
Akan tetapi, ini bukan tanpa catatan. Menurut Dio Ashar, anggota tim riset kuantitatif SETARA yang juga Direktur IJRS, banyak responden yang keberatan soal poin kontrasepsi dalam UU TPKS. Implementasi kontrasepsi belum disosialisasikan dengan terang ke masyarakat. Ini menjadi catatan bagi pemangku kebijakan soal bagaimana mengedukasi poin kontrasepsi dapat menjadi efektif dan terang di masyarakat.
Capaian-capaian UU TPKS juga perlu diselaraskan dengan aturan lainnya. “Misalnya di Peraturan Kapolri 88/2021 masih mengizinkan adanya upaya mempertemukan pelaku dengan korban kekerasan seksual. Nah, dengan adanya UU TPKS maka sudah tidak bisa lagi dilaksanakan”, tutur Maidina Rahmawati, tim riset kualitatif SETARA.
Persoalan keadilan tidak hanya menyinggung isu kekerasan seksual, melainkan juga menyinggung masalah masyarakat sipil dan masyarakat adat. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum dan Pidana (RKUHP) dan RUU Masyarakat Adat memiliki keterkaitan secara tidak langsung.
Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mengatakan, “Saat ini kita diramaikan oleh proses RKUHP yang terkesan ngebut. Tapi yang sebenarnya penting adalah tidak soal semata-mata KUHP kita berubah, melainkan soal apakah substansinya memenuhi nafas demokrasi atau tidak.”
Erasmus memandang, perubahan KUHP seharusnya benar-benar menegakkan perspektif ‘dekolonialisasi’, sebab KUHP adalah produk hukum pemerintah Hindia-Belanda yang sekarang usianya lebih dari 100 tahun. Konteks hukum KUHP lahir dari situasi sosial hierarkis dan diskriminatif masa kolonialisme Hindia-Belanda. “Kalau kita merevisi KUHP namun memelihara substansi lama dengan bentuk baru, maka kemajuan hukumnya di mana?”, tanya Erasmus.
Relasi terkait feodalisme dalam KUHP dengan dampaknya pada Masyarakat Adat juga menjadi salah satu bahasan yang diangkat Erasmus. “Kalau dicermati, KUHP juga secara eksplisit menyebut ‘sesuai hukum masyarakat yang berlaku’. Masalahnya baris ini adalah definisikan oleh Pemda dan jaksa. Dengan kata lain, di sinilah negara dapat memaksakan kehendaknya ketika sengketa lahan dengan masyarakat adat. Hukum adat jadi lebih inferior daripada hukum negara”, ujar Erasmus.
Padahal, Indonesia mustahil berdiri tanpa kolaborasi masyarakat adat di masa pra-kemerdekaan. Masyarakat adat jelas butuh perlindungan sebab di dalamnya ada satu kesatuan perihal pengetahuan lokal, praktik hidup, beserta tanah dan hutan mereka. Oleh karena itu, RUU Masyarakat Adat penting bagi keberlangsungan mereka.
“Tapi bukan rahasia umum kalau di daerah konflik lahan tambang atau perkebunan sering mencaplok hutan adat.” kata Devi Anggraini, Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN). RUU Masyarakat Adat memang syarat bergesekan dengan jejaring ekonomi politik di Indonesia.
Sejumlah poin dalam RUU Masyarakat Adat masih menjadi sorotan, di antaranya adanya bab evaluasi yang memungkinkan pemerintah meninjau ulang keberadaan masyarakat adat, sementara keberadaan masyarakat adat sudah ada sebelum NKRI berdiri. “Siapa yang bisa mengevaluasi keberadaan masyarakat adat? Negara? Kita (masyarakat adat) yang lebih tau bagaimana negara ini dibentuk… Di lain sisi, kita juga perlu memasukkan perspektif gender ke dalam RUU Masyarakat Adat. Perampasan, eksploitasi, dan sejenisnya bermuara ke kemiskinan, dan yang dirugikan paling banyak lagi-lagi perempuan”, tegas Devi.
Mengenai eksploitasi dan penindasan, Eva Kusuma Sundari dari Institute Sarinah, meneropong pada isu perlindungan pekerja rumah tangga (PRT). RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah perangkat hukum untuk menyajikan perlindungan sosial bagi pekerja rumah tangga.
“PRT dalam budaya kita sering dimaknai dalam kacamata gotong royong. Tapi gotong royong seperti apa kalau saudara sesama manusia kita sendiri diforsir kerjanya tanpa upah layak dan tanpa jaminan sosial?” tanya Eva.
Lebih jauh, Eva menegaskan, “Indonesia apakah bebas dari perbudakan? Tidak. Perempuan, 76% berpeluang untuk menjadi budak. Ini adalah suatu tantangan peradaban, namun perbudakan dilanjutkan atas nama gotong royong. Kemiskinan pada masa pandemi juga naik, di mana korbannya juga perempuan. Ternyata dalam sektor informal, itu juga ada gender pay gap. Tukang kebun yang mayoritas laki-laki mendapat bayaran yang lebih banyak dari PRT. PRT yang hanya menerima 30-40% UMR, seharusnya berhak atas perlindungan sosial. Namun selama pandemi tidak ada sama sekali.”
Eva melihat bahwa RUU ini dulunya sempat mendapatkan dukungan di parlemen, tetapi kini tidak. Menurut Eva, budaya feodal kita masih terjadi tanpa sadar. “Kita seakan enggan kehilangan ‘ke-ndoro-an kita”, tegas Eva. Karena mindset feodal ini, RUU PPRT macet selama dua tahun di meja DPR. “Harus ada rekognisi dan definisi, karena kalau tidak ada, mereka tidak akan terproteksi walau sudah terjaring untuk masuk dalam SAKORNAS.” tutup Eva.
Cosmas/*